Satu bulan yang lalu …
“Ayah dan Bunda belum cukup untuk Kak Leo?” Adel mengikuti ke sana kemari langkah Leo yang sejak tadi sedang bersiap. Merapikan rambutnya di depan cermin setelah memasang dasi dan juga vestnya.
Leo masih pada kegiatannya. Tidak menghiraukan Adel yang ia tahu tengah memasang wajah marahnya di sana. Leo tau Adel marah dan sangat tidak menyukai apa yang akan Leo lakukan setelah ini. Tapi ini adalah keharusan yang Leo lakukan. Tidak ada yang bisa menghalanginya termasuk itu adalah Adel sekalipun.
“Kak, lihat aku!” Adel memotong langkah Leo yang akan berlalu dari depan cermin. “Aku juga nggak cukup untuk kakak? Kami belum cukup untuk kakak?”
Leo menatap adiknya itu. Mengulurkan tangan dan mengusap kepala Adel penuh sayang.
“Kamu tau seberapa besar rasa sayang kakak ke kamu, Adel,” ujar laki-laki itu.
Adel menggeleng. “Kalau kakak sayang, kenapa kakak masih begini?”
Leo menghela napasnya. Menarik tangan dari kepala Adel dan mengambil tas kerjanya sebelum kemudian keluar dari kamarnya. Dia sudah terburu-buru.
Leo tahu Adel kecewa padanya. Ayah dan Bundanya juga pasti akan kecewa kalau saja tahu apa yang Leo lakukan di belakang mereka. Tetapi Leo tidak memiliki pilihan lain. Ini adalah hal yang harus dilakukannya. Tidak ada siapa pun yang bisa menghalanginya termasuk itu ayah, bunda, atau bahkan Adel.
Laki-laki itu melangkah menuju basement untuk menuju kendaraannya. Turun dari lift dan mencari mobilnya. Bukan mobil yang Leo lihat, laki-laki itu justru berpapasan dengan Nasa yang baru saja keluar dari mobilnya. Leo mendekat, menghampiri gadis itu dan tersenyum sebisanya.
“Berangkat seperti biasa?” tanya Leo.
Nasa mengangguk dengan datar. Dia baru saja mengambil barangnya yang ketinggalan di mobil. Gadis itu memerhatikan Leo yang terlihat rapi tidak seperti biasanya. Penampilan yang Nasa lihat seperti dua bulan lalu di depan apartemennya.
“Mau ke yayasan?” tanya Nasa.
Leo menggeleng. “Ada urusan di tempat lain.”
Nasa mengangguk saja. Berhenti bertanya basa-basi yang pasti basi sekali. Lagi pula dia tidak ingin tahu ke mana Leo akan pergi dengan pakaian serapi ini kecuali ke yayasan.
“Nasa maaf, sepertinya aku nggak bisa masak makan siang untuk kamu nanti,” kata Leo.
Wajah Nasa terlihat hendak protes. Namun pada akhirnya hanya cemberut saja. Dua bulan ini dia sudah terbiasa memakan makanan Leo baik itu sarapan ataupun makan siang, ataupun makan malam. Bahkan tadi pagi Leo masih membawakan sarapan ke unit apartemennya.
Nasa kecewa. Namun ya, Leo pasti memiliki kesibukan lain selain hanya memasak makanan untuknya, kan? Jadi ya sudah. Nasa pun hanya mengangguk saja walau sedikit tidak ikhlas.
“Ini kunci dapur.” Leo mengulurkan sebuah kunci yang baru saja laki-laki itu ambil dari saku celananya. “Di kulkas ada choco cake untuk kamu. Tapi jangan dimakan sekaligus ya. Untuk siang atau nanti malam aja. Kamu juga baru sarapan tadi.”
Nasa langsung menerima kuncinya. Baiklah, tidak apa-apa jika tidak makan siang buatan Leo karena pria itu masih cukup mengingat membuat kue coklat kesukaannya. Apalagi, dua minggu lalu terpaksa Nasa harus puasa makan makanan manis karena sakit giginya kumat.
“Aku nggak tahu pulang kapan. Bisa jadi nggak pulang. Kamu bisa langsung masuk aja untuk ambil makanan,” kata Leo lagi.
Nasa mengangguk. Gadis itu bersiap melangkah pergi sebelum kemudian tangan Leo justru meraih lengannya.
“Kenapa?” tanya Nasa. Melepaskan tangan Leo dari lengannya.
“Sorry.” Leo menarik tangannya. Dia ingat jelas Nasa tidak pernah suka disentuh sembarangan.
“Nasa,” panggil Leo.
“Hm?”
“Ada hal yang harus aku lalui hari ini. Bisa kamu yakinkan aku bahwa semuanya akan baik-baik aja?”