Cintami Evelin, yakin kini dirinya adalah wanita dewasa. Ia bukan lagi remaja ataupun mahasiswi naif yang hanya tahu tentang mengejar cinta. Ia sudah berusia dua puluh delapan tahun, dan sudah lepas dari bayang-bayang cinta masa lalunya. Karena itu hari ini dia memberanikan diri untuk mengambil keputusan yang kemungkinan besar ia tahu sejak awal mungkin akan dia sesali. Bertemu mantan pacar.
Tapi dia sudah banyak persiapan, dia yakin dirinya akan baik-baik saja. Semua sudah berlalu, lima tahun, bukan waktu yang singkat untuk menata hati. Meski sedikit gugup, ia melangkahkan kaki memasuki lobi rumah sakit sendirian karena rekannya sedang sibuk mencari parkiran mobil.
Akan tetapi sekarang dia malah berdiri termangu di tengah lobi. Tatapan lurus ke satu arah. Tempat dimana ada seorang pria yang mengenakan jas dokter sedang berdiri di depan sebuah ruangan sambil fokus menatap layar ponsel. Tak perlu didekati, tak perlu ditegaskan penglihatannya. Tami tahu itu adalah Kavi Praditto. Mantan pacar satu-satunya. Yang ia kira, sudah berhasil ia lupakan.
Pria itu berdiri di sana, terdiam, hanya menunduk. Tapi seketika Tami seperti lupa cara bergerak, lupa cara menghirup nafas untuk mengisi paru-parunya dengan oksigen. Otaknya mendadak malfungsi. Pikirannya seketika kosong. Ia mematung di tempat, dengan pandangan yang tak bisa dialihkan kemanapun.
Padahal ia sudah mempersiapkan hari ini dengan matang. Berhari-hari diam-diam dia melatih cara bersikap agar terlihat anggun dan acuh tak acuh, ia mempersiapkan berbagai ekspresi yang akan ditampilkan di depan kaca, mempertimbangkan dengan seksama gaya pakaian yang akan menjadi image-nya dalam pertemuan ini.
Dengan mengenakan blazer biru dongker yang melapisi t-shirt putih polos yang bagian ujungnya dimasukkan ke dalam celana jeans-nya. Rambutnya kelihatan dijepit asal dengan jedai hitam polos, padahal ditata sedemikian rupa agar rapi. Ia ingin menunjukkan penampilan yang menunjukkan sisi kasual-cuek, sekaligus cukup profesional dan tak kelihatan ‘terlalu berusaha’.
Tapi kini tubuhnya yang membeku, menjatuhkan seluruh kepercayaan diri yang susah payah ia bangun, terlalu dalam sampai ke inti bumi. Karena ia sadar ia tak akan mampu bersikap santai, tak mampu profesional, apalagi pura-pura sudah melupakan seorang Kavi.
Ia yang berdiri di sana, bagaimana bisa sosoknya tetap sama? Matanya yang bulat seperti anak anjing, bibirnya yang sedikit tebal dan lebar, giginya yang berbaris rapi, kulitnya yang bersih dan rambutnya yang sedikit kemerahan. Lima tahun tak pernah Tami lihat secara langsung, bagaimana semuanya kelihatan masih sama? Tami terpana, lagi-lagi ia terpesona dengan sosok itu. Seakan lima tahun yang telah berlalu tak pernah ada. Seakan tak pernah ada kejadian lima tahun lalu yang membuatnya patah hati teramat sangat, sampai tak bisa jatuh cinta pada pria lain.
Akal sehatnya seketika hilang, ada dorongan kuat untuk mendekat, untuk menatap wajah tampan itu lebih lekat, untuk memegang tangannya lalu memeluknya seperti yang dulu sering ia lakukan.
Ia tiba-tiba saja teringat dengan pertemuan pertama mereka. Saat daftar ulang di awal tahun ajaran di SMA. Kavi yang menggunakan jaket hoodie berwarna hitam itu menyambanginya yang baru saja keluar dari lobi sekolah. “Sorry, ruangan tata usaha sebelah mana?” tanyanya. Suaranya bukan suara pria yang dalam atau teramat maskulin, tapi entah mengapa terkesan teramat lembut dengan nada sedikit mengayun di akhir kalimat.
Kalau saja tubuhnya tak setinggi itu, kalau saja dia menggunakan masker, Tami mungkin akan mengira dia perempuan. Tapi begitu Tami mendongak, menatap wajah itu untuk pertama kalinya, senyum ramah yang mengembang dan tatapan sendu yang tenang itu, membuatnya terpesona.
“Di sana.” Tunjuk Tami, sedikit gugup, padahal dia belum pernah gugup saat menghadapi pria. Dia tumbuh besar dengan dua kakak laki-laki, dan selalu banyak berteman dengan lawan jenis saat SD dan SMP. Tapi tak ada satupun yang membuatnya gugup.
“Thank you!” balas Kavi ramah sambil berlalu.
Setelahnya selama setahun penuh, setiap kali tak sengaja bertemu, Tami diam-diam memperhatikan. Sosok Kavi ia kenal sebagai pacar dari Raina, seorang siswi di sekolahnya yang sifatnya Tami kagumi dan keberadaannya Tami jadikan idola. Pasangan idola itu, seperti pasangan main character dalam drama romantis dan Tami menjadi penonton setianya. Ia selalu memperhatikan keduanya dari kejauhan, dalam diam, mengidam-idamkan.
Kemudian saat di kelas sebelas dan dua belas Tami akhirnya bersahabat dekat karena sekelas dengan Raina, di matanya, Kavi berubah menjadi tak lebih dari sekedar mantan pacar Raina. Setelah mendengar cerita dari Raina bagaimana mereka putus dan menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri kesulitan apa yang terjadi pada Raina setelah putus dari Kavi. Sosok Kavi di mata Tami jadi agak sedikit jahat. Tampan, tapi menyebalkan.
Di akhir masa SMA, titik balik perasaan Tami pun terjadi.
Saat itu, ia kebingungan karena Raina tiba-tiba menghilang tanpa kabar, bahkan Yiran, pacar Raina saat itu, sampai frustasi tak tahu dimana keberadaan gadis itu. Tami curiga dengan satu orang yang gelagatnya seperti sedang menyembunyikan sesuatu. Kavi, mantan pacar Raina itu, seperti tahu dimana keberadaan Raina tapi tak mau memberitahu siapapun.
Jadi Tami membuntutinya, ia bersembunyi di balik tembok, menyipitkan matanya dan terus memperhatikan Kavi yang keluar dari ruang guru sambil membawa dua lembar kertas di tangannya. Lalu segera mempercepat langkahnya, berlari mengejar Kavi yang terlihat berjalan ke arah lobi sekolah. Tanpa memanggil, tanpa peringatan, ia langsung merebut dua kertas yang ada di tangan Kavi dan membaca dengan cepat nama yang ada di masing-masing lembaran surat keterangan kelulusan itu. Dugaannya benar, satu punya Kavi, satu punya Raina.