AS YEARS GO BY

Arisyifa Siregar
Chapter #2

2. Perasaan Asing

Mia sudah mengenal Tami sejak SMA, dia dulu adalah ketua kelas yang cukup baik dalam memahami karakter semua siswa di kelas yang diaturnya. Tami, Raina, Duna, ketiga bersahabat itu, sedikit banyak sudah ia tahu wataknya. Tapi dengan Tami, dia sudah bekerja sama selama beberapa tahun. Bisa dibilang juga Mia tahu betul bagaimana kisah cinta Tami dan Kavi, meskipun hanya dari sudut pandang cerita Tami tentunya. Walau begitu dia sangat paham alasan Tami tiba-tiba marah dan memilih kabur seperti yang ia lakukan saat ini.

Tadi, di depan sebuah ruangan, ia melihat Kavi tengah mengobrol dengan seorang wanita yang mengenakan gaun merah. Wanita yang menggendong seorang anak kecil perempuan berusia sekitar dua tahun itu, meski hanya sekilas melihat wajahnya, Mia tahu betul itu siapa.

Dia Lisa, primadona yang cukup terkenal di SMA dulu. Teman dekat Kavi yang menurut gosip di sekolah menjadi penyebab hancurnya hubungan Kavi dan Raina saat kelas sepuluh. Dan tentunya, berdasarkan cerita Tami padanya, wanita itu juga yang menjadi salah satu penyebab Tami putus dengan Kavi lima tahun lalu.

Sambil terus mengejar langkah Tami ke arah parkiran, Mia membatin. Kenapa dari semua hari, Lisa harus muncul di sana hari ini.

“Tam!” Seru Mia. “Sorry banget gue tahu sekarang lu kesel banget tapi lu udah janji sama gue buat gak kayak gini!” Suara Mia sedikit menggema di basement.

Langkah Tami langsung terhenti, ia menengok bengis, “Tapi lu tahu gue kesel sama lu, dari semua dokter yang ada di rumah sakit ini, kenapa lu harus milih Kavi!” Ia memaki Mia, padahal dia tahu sendiri tak seharusnya Mia yang kena imbas dari emosinya.

Sambil menaikkan kacamatanya, Mia menarik nafas dalam. Ia tak mau terpancing emosi. Karena sama sekali tidak lucu kalau mereka sekarang bukannya rapat, malah bertengkar di parkiran. “Tapi lu juga udah tahu kalau bakal ketemu Kavi, lu sendiri yang dari kemarin bilang sanggup.”

“Ya, ya gue, ah!” Tami menendang udara saking frustasinya. Tak bisa mendebat perkataan Mia karena memang benar begitu adanya.

“Lu sendiri yang bilang ke gue kalau lu bisa profesional, bisa nyelesain proyek ini tepat waktu. Bisa pastiin semuanya lancar.” Cecar Mia, emosinya merembes, sedikit kelepasan.

Tertohok dengan ucapan Mia, Tami tertunduk.

Ia terlalu malu untuk mengakui, kalau dia malu pada Mia karena telah terang-terangan menunjukkan sikap tak profesional seperti ini. Dan lebih-lebih malu pada dirinya sendiri, karena bisa-bisanya dia sempat berpikir untuk melupakan sakit yang ada di hatinya, berpikir ingin mengejar Kavi lagi, padahal begitu melihat Kavi bicara dengan Lisa, gemuruh di dadanya langsung membombardir ketenangan yang susah payah ia jaga selama ini. Ia langsung gila, langsung sulit mengontrol diri seperti yang terjadi sekarang.

Melihat Tami sudah agak tenang, Mia mendekat dan memegang bahunya pelan. “Bisa kita meeting sekarang?” tanyanya. “Lu tau sendiri hari ini jadwal padat.” Suaranya lembut, tapi jelas ada penekanan.

Tami mengangguk lemah. “Sorry,” ucapnya masih teramat malu.

Mia mengangguk mafhum. “Nanti lu diem aja, gue yang lead meeting-nya.”

Thanks!” ucap Tami pelan. Mengikuti langkah Mia menuju ruang pertemuan yang sudah ditetapkan.

Ia menarik nafasnya dalam, menetapkan hati, dirinya tak boleh goyah lagi. Tak boleh berpikir seperti tadi. Bagaimanapun juga dia bukan lagi Tami yang dulu, yang naif dan hanya tahu bagaimana caranya mengejar cinta Kavi, mendapat perhatiannya, membuat Kavi memandangnya. Ia tak boleh menjadi seperti itu lagi. Sekarang ia harus menunjukkan kalau dia punya harga diri. Kalau dia sudah dewasa, lebih kuat, dan tegas.

Jadi Tami mulai mengangkat kepalanya, meninggikan dagunya, memasang tatapan tajam yang acuh tak acuh, seraya kakinya melangkah di belakang Mia, mendekati Kavi dan Lisa yang kelihatan agak kaget dengan kedatangan mereka.

“Hai, Kav!” sapa Mia. “Hai, Lisa.”

Lisa membalas sapaan dengan anggukan canggung. Nampak tak terlalu bisa mengingat sosok Mia, namun begitu beralih ke Tami, matanya membulat kaget. Wajahnya mendadak tegang. Ia langsung mengecek ekspresi wajah Kavi.

“Tunggu di dalem ya,” pinta Kavi ke Mia, sambil menunjuk ruangan yang ada di belakangnya.

Lihat selengkapnya