AS YEARS GO BY

Arisyifa Siregar
Chapter #3

3. Hanya Gadis Naif

Sambil mengendarai mobilnya, Mia bersusah payah untuk tak mendenguskan kesal.

Sepanjang rapat Kavi secara terang-terangan terus-menerus menatap Tami, kelihatan jelas tak menyimak sama sekali penjelasannya. Sedangkan Tami, bertahan dengan sikap dinginnya yang Mia tahu dibangun dengan sekuat tenaga, tak mengangkat pandangannya sedikitpun dari layar laptop, pura-pura sibuk padahal tak ada yang urgent untuk dikerjakan. Keduanya sama sekali tak fokus dengan isi rapat, tak ada yang mendengar penjelasan panjang lebar yang sedang dia sampaikan.

Meskipun kesal, Mia tetap melakukan briefing seperti yang semestinya, ia berpikir, apapun yang terjadi, rapat itu memang harus dilaksanakan sesuai rencana. Walau tak bisa dipungkiri, ada rasa kesal menyaksikan suasana canggung yang menyebalkan tadi.

Dan alasan ia sejak tadi tak mendeguskan kekesalannya, karena Tami yang duduk di sampingnya sambil menyandarkan kepala dan memejamkan mata itu, sedang memijat dahinya frustasi, kelihatan jelas ia jauh lebih tak nyaman dengan keadaan di ruangan tadi ketimbang Mia sendiri.

“Lu baik-baik aja, Tam?” tanya Mia khawatir, setelah lebih diperhatikan wajah Tami kelihatan agak pucat.

Tangan Tami turun dari dahi sambil matanya membuka perlahan. “Dibilang nggak apa-apa ya nggak, dibilang kenapa-napa juga nggak,” jawabnya ambigu, memang begitulah keadaannya.

“Kavi sama Lisa…” ucap Mia ragu.

 “Nggak usah!” Potong Tami.

“Ha? Kenapa?” tanya Mia tak langsung paham.

“Nggak usah jelasin mereka ke gue,” jelas Tami. “Gue gak mau tau!”

“Oh!” Mia menelan ludah. “Oke.” tambahnya, memilih menutup mulut selama sisa perjalanan. Kalau dipikir-pikir memang baiknya ia tak ikut campur dalam urusan percintaan rumit dua orang ini. Meski khawatir, dan tak ingin Tami sedih. Ia lebih berharap Tami bisa menyelesaikan perasaannya sendiri, bagaimanapun juga ia sudah dewasa dan tahu mana yang harus dan tidak harus.

Tak lama kemudian mereka sampai di kantor. Jam makan siang sudah lewat, tapi mereka tak punya waktu untuk membeli makanan dan mengisi perut karena harus buru-buru menghadiri rapat dengan investor. Tami keluar dari mobil dengan perut keroncongan, juga kepala yang pusing karena tiba-tiba merasa stres.

“Tami!” panggil seorang cowok dengan badan tinggi dan lumayan berisi, yang menunggunya di tengah lobi. Sekarang cowok itu berlari kecil, menghampiri sambil membawa tentengan di kedua tangannya dengan senyum lebar menghiasi wajah. Tubuhnya besar, tapi senyum dan gerak badannya seperti anak kecil yang kegirangan.

“Kak Julian?” Tami ikut tersenyum lebar. Bukan karena Julian, tapi karena dia tahu betul yang ada di tangan sahabat kakaknya itu adalah makanan dari restoran yang dikelolanya. Makanan yang sangat sesuai dengan seleranya dan tak pernah membuatnya bosan.

“Kebetulan ada kerjaan sekitar sini, aku sengaja mampir karena mikir pasti kamu gak sempet makan siang lagi.” Terang Julian tanpa diminta, ia menyerahkan tas makanan di tangannya ke Tami yang wajahnya jadi sumringah karena harum makanan.

“Makasih ya, Kak!” ucap Tami kemudian, menoleh ke Mia yang berdiri di belakangnya. “Tapi aku buru-buru, ada meeting.” Jelasnya buru-buru, merasa tak enak hati hanya menerima makanannya tapi tidak menemani orangnya makan siang.

Julian tersenyum sambil mengangkat kedua telapak tangannya di udara, “Nggak apa-apa. Aku juga mau lanjut kerja lagi, jangan lupa makan ya!” Ia mengelus kepala Tami singkat. “Aku pergi dulu ya! Bye!” Pamitnya sambil berjalan menjauh, kelihatan jelas segera pergi karena tak mau membebani Tami dengan perasaan tak enak hatinya.

“Makasih, Kak!” ucap Tami lagi sambil melambaikan tangan.

Di sebelahnya, Mia melirik tentengan di tangan Tami dengan tatapan curiga. “Lu jadian sama dia?”

Lihat selengkapnya