Tami mengetuk pintu rumah Raina. Butuh sekitar tiga menit hingga akhirnya sahabatnya itu membukakan pintu. “Sorry gue lagi masak!” ucap Raina sambil membuka celemeknya dan kemudian mengajak Tami duduk di ruang tamu.
Melihat Tami yang langsung merangsek masuk dan membanting tubuhnya duduk bersandar di sofa dengan air muka kurang baik, Raina pelan-pelan menghampiri. “Kenapa?” tanyanya sambil duduk mendampingi.
“Gimana kabar debay?” tanya Tami sambil mengelus perut Raina yang mulai membuncit. Tak langsung menjawab pertanyaan Raina.
“Baik, Tante.” Sahut Raina pura-pura mewakili jawaban anaknya yang ada di dalam perut. “Eh, lu kenapa?” tanyanya lagi.
Tami melirik ke arah pintu pembatas ruang tamu dan ruang lainnya, “Yiran kemana?” bukan menjawab dia malah menanyakan keberadaan suami Raina.
“Di kantor, lagi ada produk baru yang mau diluncurin jadi dia lagi sibuk-sibuknya. Lu kenapa?” Raina kembali bertanya, penasaran dengan ekspresi Tami yang tak biasa.
“Mertua lu?” Tami malah bertanya hal yang lain lagi.
“Nggak ada, lagi keluar kota. Ada apaan sih?” Desak Raina tak sabar.
“Arrrrggggh!” rintih Tami ketika merasa leluasa karena di rumah ini tak ada siapa-siapa selain Raina. “Gue ketemu Kavi kemarin!” erangnya sambil melirik Raina.
Melihat Raina tak terkejut, Tami langsung duduk tegak dengan mata melotot, “Respon lu mencurigakan, lu udah tau gue ketemu Kavi?” terkanya, mata bulatnya semakin membesar.
Raina menggeleng, “Gue udah tau lu bakal ketemu Kavi,” ia mengoreksi.
“Gue pernah ketemu dia di rumah sakit itu beberapa bulan lalu, dan pas lu bilang ada proyek di Rumah Sakit Pelita gue langsung mikir jangan-jangan kalian bakal ketemu.” Terangnya jujur.
Menyadari Tami kelihatan kesal, Raina buru-buru menepuk-nepuk paha Tami, “Sorry, gue bingung gimana mau bilangnya ke lu tentang Kavi. Tapi…” ia terdiam ragu-ragu.
“Kenapa?” Tekan Tami.
“Yiran ngundang dia ke acara kita. Lu nggak apa-apa?” tambahnya kemudian.
“Nggak apa-apa,” jawab Tami buru-buru. Meski sebenarnya ia merasa terganggu dengan fakta ia nanti akan bertemu Kavi sepanjang hari saat acara baby shower yang sekaligus juga bisa dianggap resepsi pernikahan Yiran dan Raina yang sempat tertunda itu. Tapi ia memahami keadaan yang ada, Yiran memang tak punya banyak teman, dan Kavi bisa disebut salah satu cowok yang masuk jajaran orang terdekat dalam hidupnya.
Mereka sudah menunda resepsi pernikahan mereka selama tiga tahun karena covid19 melanda. Tami tak ingin mengganggu kebahagiaan Raina hanya karena masalah dirinya sendiri.
“Lu gimana?” tanya Raina hati-hati. “Setelah ketemu Kavi perasaan lu gimana?”
“Jujur,” ucap Tami berat, “campur aduk.” Ia kembali merebahkan kepalanya di bahu sofa.
“Emmm,” Raina menggumam ragu. “Lu nggak mau tanya Kavi langsung tentang kejadian lima tahun lalu? Waktu gue ilang tiga tahun, kalau Yiran gak nanya gue duluan mungkin gue juga gak akan pernah bisa jelasin ke dia apa alasan gue sebenernya.”
Tami menggeleng. “Lu kan beda, lu emang ngilang tiba-tiba tanpa kabar, makanya Yiran butuh penjelasan lu buat tau alasannya, kalau Kavi kan jelas, dia pergi kuliah ke luar negeri tanpa ngobrolin dulu sama gue, diem-diem berangkat dan di bandara yang nganter Lisa, pakai pelukan lagi. Penjelasan apa lagi yang butuh gue denger dari dia?”