Tami masuk ke dalam rumah tepat jam sebelas malam. Badannya lelah, otot-otot terasa pegal karena seharian di kantor ia memaksakan dirinya untuk terus sibuk agar bisa melupakan masalah yang membebani pikirannya. Tapi mungkin karena pikirannya yang terus berputar keras, energinya seperti terkuras habis oleh kegetiran dan kekhawatiran yang ia pendam. Ia sangat ingin segera berbaring dan melupakan semua beban di kepala, menutup mata, dan berharap keesokan hari membawa kelegaan baru.
Namun, saat ia berjalan perlahan ke arah kamarnya dan melewati dapur, tatapannya terpaku pada sesuatu. Lampu dapur yang biasanya menyala cerah selama malam ini padam, menciptakan suasana gelap dan sepi yang aneh. Ketika matanya mulai beradaptasi dengan kegelapan, ia melihat sesuatu yang membuatnya terperanjat.
Di tengah kegelapan dapur ada Duna sedang berdiri di depan bak cuci piring. Piyama putih dan rambut panjangnya yang masih kelihatan asing untuk dilihat, sosoknya terlihat menyeramkan di dalam kondisi pencahayaan yang minim.
Hampir menjeritkan umpatan, Tami buru-buru menepuk-nepuk dadanya menenangkan diri. “Bisa gak sih nyalain lampu!” keluhnya ketus.
“Terlalu terang.” Sahut Duna, meletakkan gelasnya di bak cuci.
Tami tak menyahut.
“Katanya lu ketemu Kavi?” tanya Duna tiba-tiba.
Tangan Tami mengepal kencang. Ia bertahan untuk tak menengok. Meski penasaran Duna tahu dari siapa. Dan menduga itu dari Raina. Lalu penasaran kapan Duna dan Raina bertemu, apa yang mereka bicarakan, Tami tak ingin bertanya.
“Lu nggak niat balikan lagi kan sama dia?” tanya Duna saat Tami mulai mendekat ke pintu kamarnya.
Rahang Tami mengejang. “Bukan urusan lu mau gue balikan lagi sama dia atau nggak!” Jawabnya sinis, masih tanpa menoleh.
Duna menggeleng kepala. “Lu lupa gimana lu nangis berhari-hari pas dia pergi gitu aja?”
Mendengar perkataan Duna, hati Tami terasa teriris. Bagaimana dia bisa lupa momen itu.
Dulu saat dia patah hati karena putus cinta dengan Kavi, Raina sedang fokus dengan skripsinya, sehingga hanya Duna satu-satunya tempat Tami meluapkan semua kekesalan dan rasa sakitnya. Pagi, siang, malam, dia menelpon Duna berjam-jam. Padahal dia sendiri tahu, Duna adalah orang yang paling menentang hubungannya dengan Kavi. Tapi saat itu Duna tak sekalipun mengucap ‘gue bilang juga jangan pacaran sama dia’ ke Tami. Ia hanya diam, ia benar-benar menjadi pendengar yang baik.
Karena bagaimanapun juga, sejak mereka bertemu di usia dua belas tahun, Duna adalah pendengar setia Tami. Hingga sejak kemarin, saat ia bertemu lagi dengan Kavi, Tami diam-diam sangat ingin berkeluh kesah dengan Duna, ingin menumpahkan seluruh kegelisahannya, tapi hubungan mereka saat ini sangat jauh dari kata normal. Dan Tami masih sangat teramat marah tiap kali mengingat bagaimana Duna dan kakaknya menyimpan rahasia besar darinya. Karena itu lah dia merangsek ke rumah Raina.
Melihat Tami tak menjawab, Duna kembali bertanya. “Lu masih suka sama dia?”
Mata Tami melotot penuh emosi. “Nggak!” Ia akhirnya menengok.
“Ck!” decak Duna sambil melipat tangan di depan perut. “Makin lu bilang nggak makin gue nggak percaya. Lu nggak inget dulu lu…”
Tami melirik kesal, “Lu sadar gak sih?” Potongnya. “Lu gak pantes buat ngomong kayak gini sama gue? Apa hak lu buat nge-dikte gue kaya gini? Lu emang tau apa soal perasaan gue? Sadar diri lu!”
Ia tahu kata-kata yang dia keluarkan begitu pedas dan menyakitkan, tapi ia tak bisa menahan rasa sakit yang ada di dalam hatinya, tiap kali Duna, yang tanpa menyelesaikan masalah antara mereka lebih dulu, malah membuka pembicaraan lain, malah berkilas balik tentang hubungan mereka dulu, seolah tak memikirkan seberapa Tami membenci hal itu.
Mulut Duna langsung mengatup rapat. Matanya berkedip cepat, entah mengapa ia terlihat seperti orang yang sejak tadi bicara sambil mabuk namun setelah dibentak akhirnya sadar.
“Ch!” cibir Tami kembali menghadap ke pintu kamarnya. “Gak usah ikut campur urusan gue, gue juga gak pernah ikut campur urusan lu!” tekannya sinis. Masuk ke dalam kamar dan menutup pintunya dengan kencang.
Ia menyalakan lampu tidur dan melempar tasnya ke atas meja rias, membanting tubuhnya berbaring di kasur dan menatap langit-langit dengan dada naik turun karena emosi. Ia menarik nafas panjang dari hidung dan menghembuskannya perlahan dari mulut. Berusaha memadamkan api amarah yang berkobar hebat di benaknya.
Lagi-lagi ia menyakiti Duna dengan ucapannya, namun ia tak tahu, bagaimana cara mengungkapkan kekesalannya ke Duna, bagaimana cara mengungkapkan betapa dia ingin Duna mengatakan yang sebenarnya sebelum membahas hal-hal lain. Meskipun ujung-ujungnya, bukan hanya Duna, dirinya sendiri lebih tersakiti. Kata-kata yang ia lemparkan, bak bumerang yang akhirnya kembali lagi dan menancap ke dada sendiri.
Ia merogoh saku celananya dengan yang masih sedikit gemetar karena amarah tersisa dan mengeluarkan ponselnya. Pikiran dan perasaannya, tak bisa berbohong seperti mulutnya, meski baru saja mengatakan dengan lantang kalau dia sama sekali tak menyukai Kavi lagi, tangan Tami malah membuka akun Instagram Kavi yang selama ini diam-diam sering ia intip. Kegiatan yang seperti otomatis dikerjakan tiap kali ia sedang berdiam diri tanpa kesibukan.
Di layar ponselnya, terpampang deretan foto dan cerita Kavi yang tersembunyi di balik dunia maya, foto-foto yang penuh misteri keseharian dan keindahan rupanya, sekaligus membuat hati Tami berdebar kencang karena rasa penasaran dan kecemburuan yang tersembunyi di dalam setiap keseharian yang Kavi tampilkan.
Matanya menatap foto terbaru yang diunggah. Potret bersama tiga temannya. Kavi berdiri di ujung, tersenyum tipis dengan wajah yang sebagian tertutup bayangan topi yang ia kenakan.
Tami kembali menghela napas. Ia menurunkan tangannya, meletakkan ponsel di atas kasur, tak ingin berlama-lama memandangi foto itu. Semakin lama ia menatap, semakin kuat daya tarik Kavi menggerogoti hatinya, dan ia benci betapa mudahnya ia kembali terpesona. Benci betapa lemah pertahanan dirinya.
Tapi tetap saja ia penasaran akan satu hal.
Selama ini, tak pernah sekalipun ada unggahan Kavi yang memperlihatkan sosok Lisa. Dan sayangnya, Tami pun tak pernah berhasil menemukan akun pribadi perempuan itu. Dua hari belakangan ini, pikirannya terus bergelut, menimbang-nimbang kemungkinan yang ada, dan akhirnya, ia mulai merasa yakin bahwa kemungkinan Kavi dan Lisa menikah sangat kecil.
Meski tetap saja ada celah. Tetap ada kemungkinan mereka menikah diam-diam.
Dan makin ia menduga-duga, makin benang-benang pikirannya makin kusut.
Selama lima tahun terakhir, Tami tak pernah melihat sedikitpun jejak Lisa dalam hidup Kavi, setidaknya di dunia maya. Padahal Lisa adalah salah satu alasan utama hancurnya hubungan mereka. Jadi selama lima tahun ini Tami tak pernah benar-benar terusik dengan status hubungan antara Kavi dan Lisa. Tapi setelah kenyataan pahit kembali menghantam dua hari lalu, saat Tami melihat mereka mengobrol. Akrab. Nyaman. Seolah tak ada jarak, seolah selama ini mereka masih terhubung tanpa putus. Seolah, semua yang telah berlalu belum benar-benar selesai dalam hidup mereka. Seolah hanya dirinya yang tersingkir dari kisah itu, menjadi satu-satunya orang yang tersingkir. Ia merasa marah, penasaran, sakit hati, campur aduk.
“Arrrgh!” gerutunya dengan kedua kaki memukul permukaan kasur dan kedua tangan merenggut rambut di kepalanya dengan kencang. Ia benci pada dirinya yang tak bisa berpikir jernih kalau sudah berhubungan dengan sosok Kavi. Bagaimana bisa dirinya tetap sama seperti dulu? Bagaimana bisa kehadiran Kavi bisa mengacak-acak kehidupan yang sudah ia tata dengan susah payah selama lima tahun terakhir?
Ponselnya bergetar, ia meraihnya dan melihat notifikasi yang muncul di layar.