Sepanjang rapat, tak sekalipun Tami merasa nyaman dengan keadaan.
Kavi yang duduk di seberangnya, menatap terang-terangan terus menerus tanpa henti, tanpa upaya menyembunyikan sorot matanya sedikit pun, tanpa memperdulikan pandangan orang lain terhadap sikapnya. Pandangannya tajam, penuh kewaspadaan, seolah Tami sedang menyimpan rahasia besar yang wajib ia bongkar. Rasanya seperti Tami punya hutang ratusan juta yang jatuh tempo dalam hitungan menit, dan akan kabur kalau tak diawasi.
Mia dan beberapa anggota tim lainnya sedari tadi saling melirik, bingung menangkap dinamika aneh yang sejak tadi mengganggu ritme diskusi mereka. Suasana yang mestinya profesional dan akrab karena bagaimanapun juga mereka sudah saling mengenal, malah terasa kaku dan janggal.
Tapi entah kenapa dia tak berani mengganggu, pun tak bisa bertanya ke Kavi, karena tatapan keras yang ada di mata Kavi terlalu menyeramkan untuk ditembus.
“Gue ke toilet dulu,” bisik Tami ke Mia. Tanpa menunggu respons, ia berdiri dan segera melangkah keluar ruangan, menjauh dari tekanan tak kasat mata yang mencengkram dadanya sejak pagi.
Begitu masuk ke toilet, Tami langsung menghampiri wastafel. Ia menyalakan kran dan mencuci tangan dengan gerakan cepat. Dahinya berkerut. Beberapa detik kemudian, ia menutup kran dan menatap cermin.
Bayangan wajahnya menatap balik dari permukaan kaca. Namun pikirannya jauh dari pantulan itu.
Kavi hari ini terasa aneh. Terlalu aneh.
Tadi pagi, dia memepetinya saat melewati akses masuk kantor, numpang lewat sebelum pintu otomatis menutup kembali. Tak seperti tamu biasa yang seharusnya menukar KTP untuk dapat akses masuk.
Dan alasannya?
“Dompet gue ketinggalan di mobil,” katanya. Begitu mudah, begitu enteng. Tapi bagi Tami, itu justru yang membuat semuanya mencurigakan.
Kavi yang ia kenal dulu, setidaknya sampai lima tahun lalu, tak mungkin ketinggalan dompet. Pribadinya selalu tertib, terencana, dan rapi. Ia akan memeriksa barang-barang penting berkali-kali sebelum turun dari mobil. Bahkan untuk sekedar pulpen pun, dia selalu tahu letaknya ada di mana. Kalaupun benar dompetnya tertinggal, Kavi pasti akan kembali ke parkiran untuk mengambilnya. Tapi dia malah memilih mengekor di belakang mantannya untuk bisa masuk ke gedung kantor. Sesuatu yang sangat bukan Kavi. Terlalu anomali.
Lalu keluar lift, Kavi menarik pergelangan tangannya dan bertanya dengan nada frontal soal hubungannya dengan Julian.
Padahal Kavi yang ia kenal selalu memikirkan segalanya dengan hati-hati. Dia bukan tipe yang bicara atau bertindak sebelum menimbang semua kemungkinan. Bahkan saat emosi, Kavi akan menahannya dulu. Mengendapkan, meredam, lalu menyampaikan dengan waktu dan cara yang sudah ia rancang sedemikian rupa.
Hari ini, dia bertindak impulsif. Bicara tanpa filter. Bergerak tanpa kendali.
Terakhir, dan yang paling mengganggu, Kavi adalah sosok penuh kestabilan dan gengsi. Ia tak akan pernah menunjukkan perasaannya secara terang-terangan. Selalu mengunci rapat isi hatinya. Bahkan kepada orang-orang terdekatnya. Dia sangat pintar menyembunyikan apa yang sebenarnya ia rasakan. Kegusarannya tak akan bisa dilihat dengan mudah.
Itulah Kavi yang Tami kenal. Setidaknya, dulu. Sampai lima tahun lalu.
Tapi Kavi yang ia temui hari ini terasa seperti orang asing. Tindakannya sulit ditebak. Perkataannya tak bisa diprediksi. Semua gerak-geriknya membuat Tami bingung, cemas dan marah. Apa mungkin orang bisa berubah sampai sebeda itu? Tami tak yakin, tapi apa yang terjadi hari ini terlalu sulit untuk diabaikan.
Namun yang paling menyebalkan dari semuanya adalah, reaksi dirinya sendiri.
Karena justru di tengah kebingungan itu, setelah anomali yang Kavi tunjukkan, jantungnya berdebar lebih cepat. Dada kirinya bergetar hebat. Ada sensasi hangat yang menyengat, membuncah begitu saja, seolah tak tahu diri.
Merasakan genggaman tangan Kavi tadi, perasaan yang sudah lama mati suri, tiba-tiba hidup kembali. Menyadari terus menerus ditatap oleh Kavi, pertahanannya luluh lantak. Karena dulu, tak peduli seberapa banyak Tami berusaha, seberapa menyedihkannya ia minta diperhatikan. Kavi sama sekali tak pernah menaruh perhatian pada Tami sebanyak yang ia lakukan hari ini.
Pintu toilet terbuka.
Tami yang mudah kaget langsung terperanjat, lalu menghela napas lega saat melihat Mia masuk. Tapi kemudian ia sadar akan sesuatu.
“Kok lu ke sini juga?” tanyanya heran, sebab seharusnya dua orang penting dalam rapat tak meninggalkan ruangan di saat bersamaan.
“Udah pulang orangnya,” sahut Mia sambil masuk ke bilik toilet.