AS YEARS GO BY

Arisyifa Siregar
Chapter #7

7. Ketidaknyamanan Meresahkan

Lagi-lagi Tami sampai di rumah hampir tengah malam. Sudah terbiasa masuk ke dalam rumah yang keadaannya sudah gelap gulita karena memang sengaja menunda-nunda untuk pulang ke rumah.

Ia melangkah santai ke arah kamarnya. Berusaha tak menimbulkan suara yang membangunkan pasutri paling ‘dibenci’ yang tinggal serumah dengannya. Pikirannya sudah penuh, sakit di kepalanya makin menjadi setelah sikap Kavi hari ini dan Julian yang terus-terusan mengirimkan chat. Ia tak ingin menambah beban pikiran dengan melakukan interaksi apapun dengan Tria atau Duna.

Tapi nampaknya hidup belum bosan mempermainkannya. Apapun yang dihindari, malah muncul di depan mata.

“Malem mulu lu pulang!” tegur Tria tiba-tiba.

Tami terperanjat dan hampir memekik. “Gak istrinya gak suaminya!” keluhnya ingat betul baru kemarin dia dikagetkan oleh Duna. “Bisa gak sih jangan ngagetin orang!” protesnya.

“Ya elunya aja yang kagetan, gue kan nanya biasa.” Balas Tria sambil menenggak air minum di gelas yang dibawanya. “Katanya, lu ketemu Kavi?” tanyanya sambil berjalan mendekat.

“Ck! Bocor banget mulutnya!” umpat Tami karena jelas Tria pasti dengar tentang hal ini dari Duna. Dari pembicaraan mereka kemarin yang berakhir dengan saling tarik urat.

“Ngomong apa dia sama lu?” tanya Tria lagi.

Alis Tami naik sebelah, “Kavi? Ngomong apaan maksud lu?”

Melihat ekspresi Tami yang nampaknya masih tak tahu apapun, kecemasan Tria pun hilang. “Nggak ada! Tidur lu!” sahutnya acuh tak acuh sambil berjalan keluar dapur. “Satu lagi, kalau ngomong sama Duna yang sopan, gimana juga dia kakak ipar lu!” tekan Tria, lalu masuk ke dalam kamarnya.

“Ch!” cibir Tami. Memandang ke pintu kamar Tria yang berseberangan dengan kamarnya dengan kesal. “Makin lama makin ga betah gue tinggal di sini,” gerutunya sambil masuk ke dalam kamar.

Ia melempar tasnya ke atas kasur, lalu duduk diam di tepi ranjang. Punggungnya sedikit membungkuk. Matanya menatap kosong ke lantai, memori yang sejak pagi tadi terus ia usir jauh-jauh, muncul begitu saja di waktu yang tak tepat ini.

Bagaimana Kavi menarik tangannya. Bagaimana suara lelaki itu terdengar begitu jelas dan frontal, menuntut jawaban soal hubungannya dengan Julian. Bagaimana tatapannya itu terus menerus ditujukan untuk Tami.

Tami memejamkan mata. Tangannya perlahan menyentuh dada. Di balik lapisan kain tipis bajunya, ia bisa merasakan detak jantungnya yang tak biasa. Lebih cepat, lebih dalam, seperti ingin memberitahu bahwa tubuhnya masih bereaksi pada Kavi meskipun pikirannya tak mengizinkan.

Ia menghela nafas panjang, seolah ingin menetralisir perasaan yang kembali mengguncang. Ia tahu, tak seharusnya jantungnya berdebar untuk seseorang yang dulu pernah ia perjuangkan, dan kemudian ia lepaskan dengan susah payah.

Namun tubuhnya berkata lain.

Dan senyum kecil yang muncul tanpa sadar di sudut bibirnya pun jadi bukti yang tak bisa dibantah, ada bagian dari dirinya yang diam-diam menikmati semua ini.

Debarannya. Tegangan itu. Bahkan kebingungan yang datang bersamanya. Sensasi yang sudah lama tak pernah ia rasakan ini, menempati seluruh permukaan kulitnya.

Tapi meskipun menyenangkan. Tami tak ingin larut. Ia tak ingin jatuh pada khayalan kosong yang mungkin hanya akan mempermalukan dirinya sendiri lagi dan lagi.

Ia ingin menikmati perasaan ini sejenak, kemudian setelah dirasa cukup, ia akan buru-buru menepis setiap pikiran yang membisikkan bahwa sikap Kavi hari ini adalah tanda. Tanda bahwa perasaan itu masih ada. Bahwa mungkin, ada sisa yang belum benar-benar habis. Karena bagaimanapun juga dia bukan Tami yang dulu. Bukan gadis naif yang menyambut cinta tanpa ragu, tanpa rencana.

Ia sudah terlalu banyak belajar, bahwa hati bisa rapuh oleh harapan, dan waktu terlalu berharga untuk dihabiskan pada perasaan yang tak pernah pasti arahnya. Kini, ia lebih hati-hati. Lebih selektif. Lebih realistis. Ia akan diam-diam menikmati, dan diam-diam melupakan perasaan ini, sebelum ada satu orangpun yang tahu.

Karena di usianya sekarang, cinta bukan lagi soal siapa yang paling membuat jantung berdebar, tapi siapa yang paling bisa dipercaya untuk tidak menghancurkannya lagi. Ia tak akan mampu jika harus merasa kecewa lagi seperti yang ia alami lima tahun lalu.

Lamunannya terganggu oleh getaran ponsel, ia mengeluarkan ponselnya dari saku dress-nya dan membaca notifikasi di layar. Menjadi kebiasaannya selama beberapa tahun terakhir, untuk tak langsung membuka notifikasi dan hanya membaca potongan-potongan pesan di bilah pemberitahuan yang muncul di layar depan. Tak ingin langsung diketahui sudah membaca pesan dan membuat si pengirim pesan menunggu balasannya. Terlebih akhir-akhir ini, rasanya ia ingin sekali mematikan tanda pesan sudah dibaca di chat-nya, kalau saja tidak memperdulikan perasaan orang lain yang mengirimkan pesan.

Orang yang dimaksud ini, Julian, yang lagi-lagi chat masuknya membuat Tami kebingungan harus balas apa. Cowok ini terus menerus menanyakan kabarnya, terus menanyakan apa mau berangkat kerja atau pulang kerja bersama esok hari. Sesuatu yang seharusnya disyukuri olehnya yang sudah lima tahun menjomblo, tapi malah disesali karena terasa tak menyenangkan seperti yang ia duga.

Beruntung ia belum menjalankan niatnya untuk memberi ruang pendekatan dirinya dan Julian. Belum apa-apa dia sudah menyesal, karena ternyata dirinya memang tak mampu melihat Julian dengan perasaan romantis.

Ia pun meletakkan ponselnya di atas kasur, bergerak ke kamar mandi dan membasuh wajahnya, sambil menimbang-nimbang harus menolak dengan cara apa. Tak ingin menyakiti perasaan Julian yang kalau ditimbang-timbang memang tak pernah melakukan kesalahan atau berbuat tak mengenakkan padanya. Karena jelas masalahnya ada pada dirinya sendiri, yang sedang tergoyahkan oleh Kavi, bukan Julian yang perhatian dan kebaikannya sempat menggodanya.

Sekembalinya dari kamar mandi, Tami menarik nafas dalam-dalam dan kembali duduk di pinggir kasur sambil meraih ponselnya, berniat untuk membalas pesan Julian dan menolak dengan beralasan ada dinas luar yang tak searah dengan restoran Julian. Saat ia menyadari ada chat lain yang masuk ke ponselnya saat ia tinggalkan tadi.

Matanya seketika melebar, berkedip berkali-kali dan memastikan ia tak salah lihat.

Kavi mengirimkan pesan, “Weekend ini ada waktu? Bisa ketemu?”

Ia mendekap mulutnya yang terbuka lebar, kemudian memijat dahinya yang mendadak tegang. Apa-apaan semua ini.

Lihat selengkapnya