Tami duduk di kursi besi di luar minimarket dua puluh empat jam yang ada di komplek rumahnya. Di hari minggu yang sepi ini, dia melamun sambil sesekali menyesap kopi kalengan yang ia letakkan di atas meja besi di hadapannya.
Tak peduli seberapa berusaha ia menyingkirkan pikirannya tentang Kavi selama beberapa hari ini, nyatanya bayang-bayang chat Kavi yang mengajaknya bertemu terus muncul di benaknya. Ia berusaha keras menahan tangannya agar tak membalas, ia bahkan sengaja sering menempatkan ponselnya jauh dari jangkauan. Agar dia tak melihat chat itu lagi untuk kesekian puluh kalinya.
Muka bulatnya membengkak karena makan mie instan sebelum tidur semalam, rambut coklat ikalnya yang belum dikeramas selama tiga hari terakhir di kuncir asal dengan karet dapur. Mata besarnya dikelilingi lingkaran hitam karena terlalu banyak begadang. Tubuh ringkih karena kurang istirahatnya, bersandar lemah di kerasnya kursi besi yang ia duduki.
Hari minggu ini terasa melelahkan.
“Lagi ngapain, Tam?” sapa seseorang yang suaranya sangat ia kenal.
Tami menoleh dan melemparkan senyum canggung sambil mengenakan tudung jaket abu-abunya menutupi kepala. Ia mempertegak duduknya dan mengawasi Julian yang bergerak duduk di hadapannya dari sudut mata.
“Lembur terus akhir-akhir ini ya?” tanya Julian menelisik wajah kelelahan Tami yang terlihat jelas.
Melemparkan tawa kaku, Tami langsung merasa tak enak karena beberapa waktu kebelakang ia terus mengacuhkan chat dari Julian dan selalu mengatakan lembur kalau diajak pulang bersama.
Tami memang lembur, tapi meskipun tak lembur ia akan menggunakan alasan itu untuk menjaga jarak dengan Julian.
Dan Julian pun bukannya tak peka, ia sadar kalau sikap Tami padanya sedikit berbeda akhir-akhir ini. Ia sadar Tami sering canggung di hadapannya dan berusaha menjaga jarak. Tapi bagi dirinya yang sudah menyukai Tami diam-diam sejak lama, hal ini justru dipandang positif. Karena berarti kini Tami mulai melihat sosoknya sebagai seorang pria, bukan teman kakaknya, bukan kakak tetangga, bukan orang yang sudah seperti keluarga. Dan itu membuatnya cukup senang.
Saat ini pun ia merasa yang sama, saat di hadapannya Tami sedang bergerak gelisah dan menghindari tatapannya, terlihat malu karena penampilannya yang berantakan dan kelihatan belum mandi. Bibir Julian tersungging.
“Malam ini ada acara gak?” tanya Julian tiba-tiba membuat mata Tami mengerjap kaget.
Menggigit bibirnya ragu, Tami tak bisa mengacuhkan pertanyaan Julian karena ini bukan di chat. Pun tak bisa berbohong, karena dia pembohong yang payah jadi gelagatnya pasti tertangkap jelas oleh Julian yang tengah memandangnya dengan seksama.
“N-nggak ada sih.” Sahut Tami terbata.
“Kita dinner bareng, aku jemput jam enam ya,” kata Julian sambil beranjak dari kursinya. “Sampai ketemu nanti malam!” ujarnya dengan senyuman santai.
Tami membalas dengan senyum setengah, menunggu sosok Julian masuk ke dalam minimarket dan tak terlihat lagi di balik rak barang, baru ia menghela nafas berat dan bangkit dari tempat duduknya, berjalan kembali ke rumah.
“Hhaaaahh, dia bahkan gak nunggu jawaban gue dulu.” Gerutu Tami.
Nampaknya hari minggu ini terus menjadi lebih dah lebih melelahkan daripada hari-hari sebelumnya.
***
“KAVI!”
“KAV!”
“KAVI!”
Kavi melihat bagaimana Tami memanggilnya penuh semangat di setiap waktu selama tiga tahun. Senyum cerianya, sikap blak-blakan nya, matanya yang berbinar penuh keberanian dan semangat. Mendengar dan melihat semua itu seperti kebiasaan yang menempel pada kesehariannya. Ia adalah secercah cahaya yang tak pernah Kavi kira akan menyinari sisi kelam dalam hidupnya.