Tami duduk di bangku coffee shop, menyedot kopi susunya sambil termenung. Di seberangnya Astrid mengawasi ekspresi Tami yang terlihat jelas sedang banyak pikiran. Ragu untuk bertanya, tapi sudah beberapa menit mereka saling berhadapan tanpa ada obrolan apapun. Sebagai junior sepertinya sudah saatnya sekarang dia menunjukkan tata krama.
“Jadi cuti, Mbak?” tanya Astrid membuka obrolan.
“Em.” Angguk Tami. “Mau healing gue.”
Tadi pagi akhirnya dia menagih voucher resort yang Mia janjikan, memutuskan untuk mengajukan cuti yang selama ini selalu ia tunda-tunda karena terlalu enggan meninggalkan pekerjaan. Dilihat dari ekspresi terkejutnya tadi pagi, sepertinya Mia sempat lupa dengan sarannya terhadap Tami waktu itu, karena beberapa hari kebelakang memang Tami sudah tak pernah mengeluh tentang Kavi, dan fokus ke pekerjaannya.
Astrid membuka mulutnya hendak kembali bertanya, tapi langsung menutupnya lagi karena merasa sungkan. Tami menangkap gelagat tak nyaman itu, ia pun berdecap merasakan pahitnya kopi di bibirnya sambil melirik junior-nya yang pendiam ini.
“Lu punya pacar gak?” tanya Tami santai, sambil meletakkan gelas kopinya di atas meja.
Astrid mengangguk. “Ada.”
“Lu yang lebih suka atau dia yang lebih suka?” kedua alis Tami mengangkat.
Kali ini kedua pundak Astrid mengangkat, ia tersenyum tak yakin. “Kayaknya sama.”
Tami menghela nafas berat sambil menyandarkan punggungnya di kursi. “Gue gak pernah ngerasain begitu.” Gumamnya tiba-tiba, memutar-mutar gelas kopinya.
Tubuh Astrid maju sedikit, ia menunjukkan ketertarikan “Bukannya Mbak punya mantan, yang waktu itu datang ke kantor, yang dokter, mantan Mbak Tami katanya.”
Melempar lirikan ke sudut mata, Tami hendak bertanya darimana Astrid tahu, tapi segera ia mengurungkannya, karena bagaimanapun berita seperti itu yang paling digandrungi dan paling cepat menyebar di lingkungan kerja.
“Em,” Tami mengiyakan sedikit terlambat. “Tapi kayaknya selama pacaran dulu cuma gue yang suka dia.”
“Kok bisa? Emang kenapa bisa mikir gitu?” Astrid tak biasanya tertarik dengan urusan orang lain, gadis pendiam dan penyendiri itu sejak lama memang mengidolakan sosok Tami sebagai role model nya di kantor, jadi apapun yang berhubungan dengan Tami membuatnya benar-benar tertarik.
“Lu pernah nggak, ngerasa dikejar-kejar sama cowok?” pertanyaan Tami berganti lagi. “Gue gak pernah, lu bisa liat, gue cewek rata-rata, gak manis gak cantik kaya cewek-cewek populer di sekolah atau kampus gue. Jadi gak pernah ada cowok yang ngejar gue. Gue pun sebenernya ga tertarik-tertarik amat buat pacaran. Sampe gue jatuh cinta sama dia, si mantan.” Tami berhenti sejenak. Menyedot lagi kopinya dan melemparkan pandangan ke jendela.
“Gue sempet ragu, gue sempet nyerah, tapi akhirnya gue nekat ngejar dia, itu pun butuh setahun.” Sambung Tami. “Sampai akhirnya dia nerima gue dan kita jadian.”
“Wow!” Astrid tercengang.
Menyunggingkan senyum pedih sebagai tanggapan dari ekspresi Astrid, ia yang merasa hal itu bukan pencapaian membanggakan melainkan menyedihkan, kini ia kembali memandang ke gelas kopinya. “Tapi selama hampir dua tahun pacaran, gue nggak pernah ngerasa dia beneran suka sama gue.”
Tersedak kaget, Astrid batuk dan menutup mulutnya dengan tisu. “Kenapa gitu?” tanyanya dengan mata merah.
“Coba lu bayangin! Dia gak pernah gandeng tangan gue duluan, gak pernah nyium gue duluan, gak pernah paham waktu gue marah itu karena sikap dingin dia ke gue padahal dia selalu ramah dan hangat ke orang lain, gak pernah terbuka tentang dirinya kecuali gue coba nyari tau sendiri.” Beber Tami, rasa frustasi karena kejadian kemarin malam membuatnya bahkan tidak ragu-ragu lagi untuk menceritakan pengalaman pribadinya ini, ia benar-benar perlu berbicara dengan seseorang yang hanya mendengarkan tanpa mengintervensi seperti Astrid sekarang. Cewek ini hanya terdiam, meskipun tatapan matanya berubah menjadi iba.
“Selama ini gue ngerasa gue ngebohongin diri gue sendiri, dengan pemikiran sampai sekarang gue gak paham alasan sebenarnya kenapa kita putus lima tahun lalu, padahal, gue tau, sejak awal dia emang gak pernah suka sama gue.” Tami menatap Astrid sambil tersenyum tipis. “Itu pasti alasannya.”
Mengedip lambat, Astrid menggigit bibirnya. “Jadi, sekarang gimana? Apa yang bikin Mbak Tami kepikiran?” Dia paham cerita Tami barusan hanya intro dari kelengkapan cerita yang sebenarnya sedang mengusik benak Tami.