Kavi berdiri di depan ruang rapat, padahal biasanya begitu selesai rapat ia buru-buru pergi meninggalkan kantor, namun kali ini ia dengan sabar menunggu Mia keluar dari dalam ruangan, dengan kedua kaki bergerak resah. “Tami kemana?” Tanyanya buru-buru saat Mia muncul di hadapan.
Bergeming sejenak, sudut mata Mia berkedut. Ia merasa terhimpit oleh kedua ‘mantan’ yang sedang terjebak antara masa lalu dan masa kini ini. Dua-duanya temannya. Dua-duanya seperti punya alasan sendiri atas tindakan mereka. Namun justru itu yang membuatnya susah menentukan posisi dan sikap. Ia tak benar-benar tahu dengan jelas apa yang sedang terjadi, dan sejauh apa dia harus membantu atau mengacuhkan.
“Kenapa emang?” Ia balik bertanya, tak seperti dirinya yang biasanya terbuka dan mudah memberikan informasi pada Kavi. Sesuatu yang sejak sekolah selalu mereka lakukan dulu, sebagai sesama ketua kelas dari kelas masing-masing, berbagi informasi sudah menjadi keharusan yang tak tertulis dalam aturan. Kavi adalah orang yang biasanya dengan mudah membuat kata-kata informasi meluncur keluar dari mulut Mia.
Alis Kavi naik sebelah, menangkap ada yang tak biasa dengan sikap Mia kali ini. “Gue ada bikin salah sama lu?” Tanyanya hati-hati.
Ekspresi wajah Mia yang sebelumnya agak merengut seketika berubah lebih santai, karena ia merasa tak enak hati. Bagaimanapun juga dia bukan Tami, jadi tak seharusnya ia merasa sekesal ini terhadap pertanyaan Kavi barusan.
“Nggak.” Ia berdehem. “Dia cuti.” Sambungnya, akhirnya menjawab pertanyaan Kavi.
Padahal sudah berusaha terlihat biasa saja, nyatanya di mata Kavi, Mia masih ketus. “Tapi dia baik-baik aja, kan?” Kavi tak berusaha menyembunyikan kekhawatiran yang muncul diwajahnya.
“Em.” Sahut Mia dingin, bergerak meninggalkan Kavi yang masih berdiri di tempat sambil memandang punggung Mia dengan bingung.
Baru beberapa meter berjalan, Mia melangkah balik. “Lu masih ada rasa sama Tami?” Tanyanya dengan nada suara rendah. Padahal sudah memutuskan untuk tak ikut campur, tapi melihat gelagat resah Kavi, ia gerah ingin bersuara.
Kavi bergeming, tak bisa memberi jawaban.
Mia berdecak kesal. Sadar dirinya sudah berekspektasi terlalu banyak pada sosok Kavi. “Lu tuh pinter dan hebat dalam berbagai hal Kav, kecuali masalah perasaan!” Gumamnya dengan tatapan mengejek. “Kalau lu gak paham sama perasaan lu sendiri, saran gue jangan ganggu Tami. Biarin dia sendiri.”
Mata Kavi melebar, fokusnya tertuju pada kalimat terakhir Mia. “Dia sendiri? Bukannya dia punya pacar?”
Alis Mia naik ke tengah dahi, kaget sekaligus heran dengan tanggapan Kavi. Sedetik kemudian masam benar-benar hilang dari wajahnya, kini dia tahu alasan selama Kavi selama ini maju-mundur tak jelas. Sepertinya cowok ini sudah salah paham terhadap status Tami. Entah apa yang membuat dia berpikir itu, tapi tiba-tiba saja Misa menjadi maklum dengan keragu-raguan sikap Kavi. Meski begitu, dirinya sudah bertekad untuk tetap netral diantara keduanya. Tak ingin mendorong ke arah manapun hubungan mereka.
“Mending lu pikirin dulu sekarang, lu mau apa, kalau kemauan lu udah jelas, baru lu temuin Tami lagi.” Ungkapnya dengan nada suara jauh lebih ramah dari sebelumnya. “Bye!” Pamitnya lalu berbalik badan dan kembali ke dalam ruang kerjanya.
Kavi masih berdiri di tempat yang sama. Masih mencerna perkataan Mia barusan. Antara lega sekaligus gelisah mendapati fakta tersirat dari ucapan Mia tentang yang Tami saat ini masih sendiri.
Itu berarti dia tidak berpacaran dengan Julian? Tapi bukan berarti itu tak akan terjadi dalam waktu dekat kan? Karena dari interaksi mereka malam itu, dari suasana restoran, dari cara Julian menatap Tami sambil berbicara serius. Bisa jadi status mereka akan segera berubah. Atau malah sudah berubah?
Ponselnya bergetar di saku, ia mengeluarkannya dan mengecek notifikasi yang masuk sambil berjalan keluar area kantor. Ada chat dari Luna, ia mengirimkan foto seorang perempuan yang tampak di depan meja resepsionis sebuah hotel.
“Kav, ini mantan lu bukan? Mukanya familiar kayak gue pernah liat dimana, terus gue inget kalau pernah liat dulu di kafe lu dulu.” Tulis Luna.
Langkah Kavi terhenti, ia langsung memperbesar foto yang Luna kirim. Meski tak terlalu jelas dan hanya tampak samping yang kelihatan, ia langsung yakin kalau itu memang Tami. Ia melempar pandangan ke pintu ruangan Mia, menimbang-nimbang haruskah mengkonfirmasi ke Mia tentang keberadaan Tami, tapi ia masih belum yakin akan memberi jawaban apa atas pertanyaan Mia tadi, jadi ia terdiam sejenak dan kembali menatap layar ponsel.
“Kakak emang lagi dimana?” Balas Kavi sambil kembali berjalan ke arah lift.
“Di resort di Parangtritis.” Balas Luna, dibaca Kavi pintu lift terbuka. Ia terus menatap ponselnya sambil berjalan di ke arah parkiran.