AS YEARS GO BY

Arisyifa Siregar
Chapter #12

12. Cuplikan Rahasia

Tami menyeret kopernya dengan digelayuti rasa enggan untuk pulang dan kembali beraktifitas lagi seperti biasa. Benaknya penuh dengan rasa muak terhadap hiruk pikuk kota Jakarta yang tiap hari dikelilinginya, setelah hampir seminggu matanya hanya melihat birunya laut dan hijaunya perbukitan yang memanjakan pikiran.

Mengesampingkan perasaannya yang agak hampa karena setelah mengantar ke rumah sakit, keesokan harinya ia benar-benar tak melihat Kavi lagi sampai pulang, Tami akhirnya bisa menata pikiran dan mood-nya di sisa cuti. Ketimbang tenggelam dalam kekecewaan tentang perasaan semunya yang gagal mendapat lampu hijau karena Kavi hanya ingin menjadi teman, Tami memilih menjernihkan pola pikirnya, menerima kalau memang itu yang terbaik, dan tak akan ada bisa yang lebih baik lagi daripada hubungan stabil bernama ‘pertemanan’

Saat tubuhnya sudah sepenuhnya pulih, Tami yang tak tahu apakah Kavi benar-benar sudah meninggalkan resort lebih dulu karena perkataannya, memilih tak ambil pusing, ia menyempatkan diri berlarian tiap pagi di pinggir pantai dan membuat video kenang-kenangan untuk dilihat kalau-kalau ia stres menghadapi tumpukan pekerjaan yang sudah menunggu untuk ditangani nanti. Meskipun tak bisa dibilang baik-baik saja, hatinya sudah jauh lebih lega, dan pikirannya jauh lebih ringan ketimbang saat kemarin dia berangkat liburan.

Tapi ternyata, dia lupa sesuatu. Masalah hidupnya bukan cuma pekerjaan, dan Kavi. Banyak variabel lain yang masih menunggu penyelesaian.

Dan ini dia.

Begitu keluar dari terminal bandara, mata Tami mengerjap tak percaya, langkah sempat terhenti sejenak saat mendapati sosok Julian sedang berdiri sambil melambaikan tangan ke arahnya. Tami tak mengira cowok itu akan benar-benar datang menjemputnya di bandara pada dini hari begini. Padahal dia sengaja mengabarkan jam kedatangannya waktu Julian tanya, karena memang tak ingin Julian menjemputnya. Ternyata logika mereka bertabrakan.

Menurut Julian, karena dini hari, justru dia harus menjemput Tami.

Sekarang Tami merasa dipaksa kembali lebih cepat ke realita, seperti terdesak untuk menyelesaikan masalah lainnya yang kemarin dia tinggal kabur. Pernyataan cinta Julian, dilihat dari sorot matanya yang memancarkan ketulusan dan penuh pengertian itu, cowok itu menunjukkan ia sabar menunggu.

Namun makin Julian pengertian, makin dia memberi waktu untuk berpikir. Makin Tami merasa bersalah.

“Gimana liburannya?” tanya Julian sumringah langsung mengambil alih gagang koper dari tangan Tami dan membawanya.

“Seru.” jawab Tami datar, mengekor Julian menyeberangi terminal dan berjalan ke arah barisan mobil yang ada di pinggir jalan.

Sepanjang langkahnya, Tami terus menunduk. Baru sadar betapa bodohnya dia selama liburan kemarin, tak meluangkan waktu sedikitpun untuk memikirkan bagaimana cara menjawab pernyataan cinta Julian. Ia sedang memukul dahinya sendiri saat tersadar akan sesuatu yang terlihat tak biasa.

 “Kak Julian bawa mobil?” tanyanya.

Julian tersenyum dan mengangguk, ia membuka bagasi mobil dan memasukkan koper Tami. “Sengaja beli, karena kedepannya aku gak mau kamu kehujanan atau kena panas kalau terus naik motor.” Ungkapnya santai.

Rahang Tami hampir jatuh saking kagetnya mendengar ucapan Julian barusan. Ia tidak bodoh dan tak bisa pura-pura bodoh, ucapan Julian tadi jelas kode keras terhadap hubungan mereka yang sekarang sudah tak bisa dibilang ‘kenalan biasa’ lagi. Dibalik senyum samar yang tersungging di bibir Julian saat membukakan pintu mobil untuk Tami itu, ada petunjuk bahwa dia benar-benar berharap segera dijadikan kekasih.

Kepala Tami seketika kesemutan, rasanya ingin kembali masuk ke dalam terminal, melakukan penerbangan lain, liburan lebih lama, dan tak perlu merasa tak enak hati seperti ini. Tapi ia tak punya pilihan lain, selain masuk ke dalam mobil Julian, dan duduk dengan perasaan tak nyaman yang harus berusaha keras disembunyikan.

Julian pun seperti biasa, tak terlalu terobsesi untuk melakukan obrolan basa-basi. Ia fokus mengemudi, karena ia juga berpikir Tami saat ini sedang lelah. Namun saat sudah keluar tol dan tak sampai setengah jam lagi mereka akan sampai ke rumah Tami, Julian merasa harus mengambil tindakan.

“Sabtu ini, setelah acara baby shower Raina kamu ada rencana?” tanyanya, setelah melirik Tami dan memastikan kalau gadis ini tidak sedang tidur.

Tami tak langsung menjawab, ia tahu kemana arah pembicaraan ini, dan apa tujuan Julian menanyakannya. Meski tak sempat berpikir banyak, dan belum benar-benar yakin dengan perasaannya, ada satu hal yang Tami pahami. Cepat atau lambat, ia harus menjawab pernyataan cinta Julian. Ia tak bisa berlama-lama menghindar. Karena bagaimanapun juga Julian adalah orang yang terlalu baik, terlalu berharga untuk diperlakukan kurang bertanggung jawab oleh dirinya.

“Nggak ada, soalnya bakal sampai akhir acara juga disana.” Jawab Tami, mengisyaratkan sebagai partner yang akan menemani Tami datang ke acara itu, Julian tak perlu khawatir, karena sampai malam Tami akan ada bersamanya.

Memainkan jemarinya di kemudi, Julian mengangguk paham. Ia lalu menarik nafas pelan dan menengok dengan senyum lebar yang agak berlebihan. “Boleh aku ajak ke suatu tempat abis acara?” Ia jelas gagal menyembunyikan rasa gugup yang ada dalam dirinya saat mengatakan pertanyaan barusan.

Lagi-lagi Tami tak langsung menjawab.

Dalam beberapa saat keheningan itu, dia memastikan lagi perasaannya pada Julian.

“Boleh.” Jawab Tami kemudian. “Jemput aku jam lima.” Sahutnya sambil melempar pandangan ke luar jendela. 

Julian tersenyum lega. Ia tak banyak berharap, tapi tetap saja ia akan berusaha perlahan-lahan meluluhkan hati Tami. Jadi dia akan mengajak Tami untuk makan malam yang lebih romantis lagi daripada saat dia menyatakan perasaannya beberapa waktu lalu. Sejak awal menyadari perasaannya pada Tami, ia sudah bertekad untuk selalu memperlakukan Tami seperti ratu. Memberi semua yang dia bisa.

***

Rabu pagi ini adalah waktu yang sudah diantisipasi sejak akhir pekan kemarin.

Pertemuan lanjutan antara Kavi dan Tami yang membuat Mia teramat waspada.

Tapi sekarang ia yang menggerakkan matanya bolak balik ke kanan dan kiri sisi meja rapat, tak percaya akan melihat harmoni kesinambungan yang sangat baik di percakapan antara kedua orang itu. Rapat kali ini, akhirnya benar-benar terasa seperti diskusi formal. Bukan lagi ajang adu kuat antara dua orang yang pernah menjadi kekasih.

Hari ini mereka bersikap santai namun tetap profesional, pemilihan katanya tak jarang kaku namun tetap lugas dan penuh percaya diri. Berbanding terbalik dengan pertemuan-pertemuan sebelumnya yang berakhir antiklimaks dan terasa mencekik. Hasil diskusi kali ini nampaknya akan seperti masterpiece.

“Oke kalau begitu next meeting kita bisa mulai bahas tentang mapping antara gejala penyakit sama poliklinik yang bisa dituju, ya!” Mia menutup meeting dengan wajah sumringah, ia benar-benar puas karena sampai akhir meeting, harmoni menyenangkan itu benar-benar terjaga. Sampai-sampai ia bangun dari kursinya sambil tersenyum lebar.

Setelah bangkit dari kursinya Kavi melempar pandangan ke Tami dengan hati-hati. Hari ini Tami terlihat cukup bugar, raut wajahnya terbilang cerah. Dengan mengenakan cardigan ungu muda, celana dan baju putih dengan rambut digerai santai, penampilannya kelihatan jauh lebih segar daripada terakhir kali Kavi melihatnya.

“Lu dateng kan ke acara Raina lusa?” tanya Kavi, ia sengaja berhenti di hadapan Tami yang sedang beranjak sambil menutup laptopnya.

Mia langsung berlagak sibuk merapikan dokumen di tangannya, padahal sengaja berlama-lama karena ingin tetap berada di dalam ruangan untuk mencuri dengar obrolan Kavi dan Tami. Sebenarnya dia penasaran kenapa tiba-tiba dua orang ini terlihat akur.

“Em.” Angguk Tami sambil mengangkat laptopnya dan berbalik badan. “See you there!” sambungnya, terdengar ramah dan abai di waktu bersamaan.

“Mau bareng?” sergah Kavi buru-buru.

Tami berhenti sejenak dan menoleh, “Thanks, tapi gue bareng temen.” Tolaknya dengan senyum singkat, mengedikkan dagu pamit sambil lalu.

Kavi bergeming di tempatnya berdiri, tergelitik dengan kata ‘teman’ yang Tami sebut tadi. Ia menengok ke Mia, yang terhentak kaget karena tertangkap basah tengah menguping. “Dia bareng lu?” tanya Kavi..

“Nggak, gue kan bareng suami gue!” geleng Mia. “Lagian mana mungkin dia bilang bareng temen kalo temen yang dimaksud itu gue? Gue aja ada disini.” Paparnya.

Lihat selengkapnya