AS YEARS GO BY

Arisyifa Siregar
Chapter #14

14. Terungkapnya Rahasia

Berjalan keluar rumah dengan penuh emosi, masih memakai gaun pesta tanpa membawa baju ganti. Tami yang bergerak tanpa tujuan akhirnya tiba di depan rumah Tian. Ia sudah masuk ke dalam pagar, namun tak bisa mengetuk pintu rumah ataupun memanggil Tian untuk meminta izin masuk seperti yang ia niatkan sebelumnya.

Karena samar-samar dari tempatnya berdiri, dia mendengar suara tangisan bayi dari dalam rumah. Anak Tian dan Amanda, Rafael, baru berusia tiga bulan. Mereka tampaknya masih disibukkan dengan tangisan bayi di malam hari. Pasti kurang istirahat dan sangat kelelahan. Tami berpikir kalau dia menumpang di rumah ini beberapa hari sampai menemukan tempat tinggal baru, ia akan menjadi gangguan dan merepotkan. Belum lagi bayang-bayang akan Tian yang akan terus-terusan ceramah, nanti yang ada Amanda akan tambah pusing dan sakit kepala. Tami tak sampai hati membuat repot kakak iparnya itu.

Akhirnya dia memilih berbalik, berjalan kembali ke jalan utama. Kemudian berdiri di pinggir jalan sambil menatap kosong aspal jalanan di bawah temaram lampu selama beberapa menit.

Hari ini benar-benar melelahkan dan menguras energinya. Tapi apa yang paling mengganggu benaknya sejak tadi adalah pikirannya tentang Kavi. Ia merasa bersalah sekaligus kesal karena baru mengetahui semuanya sekarang. Lalu teramat penasaran dengan alasan Kavi sekarang sampai mengungkapkan semua hal yang tak pernah ia ungkapkan dulu.

‘Kalau gue bilang gue suka sama lu’ ia ingat kata-kata Kavi tadi, jantungnya berdegup kencang, pipinya terasa panas.

Bagaimana kalau Kavi ternyata benar-benar punya rasa dengannya? Tapi buru-buru ia tepis pikirannya yang penuh harapan itu. Tak ingin kecewa kalau kenyataannya tak sejalan dengan perkiraannya. Ia masih mengingat bagaimana lelahnya menjalani cinta bertepuk sebelah tangan. Kini ia sudah lebih dewasa, dan ia tak punya tenaga untuk melakukan itu lagi.

Ia menghela nafas keras. “Kira-kira dia lagi ngapain sekarang?” Gumamnya sambil menatap ke langit malam. Meski ditampik jauh-jauh nyatanya otaknya terus terbayang-bayang semua sikap dan perkataan Kavi tadi. Seakan tak mau diatur, jantungnya pun terus berdetak dengan gelora yang selalu berusaha ia pendam.

Di tengah kegalauannya, ia terpikir apa hal yang paling penting untuk dia lakukan sekarang. Kemudian segara mengeluarkan ponselnya dari dalam tas dan menelepon Mia, satu-satunya orang yang ia tahu punya informasi yang ia butuhkan saat ini.

“Halo, Tam?” sapa Mia di ujung saluran, terdengar agak kaget menerima telepon Tami saat waktu sudah menunjukkan lewat jam sepuluh malam.

“Lu punya alamat Kavi?” tanya Tami tanpa membalas sapaan.

“Ha?” pekik Mia, sekarang nyata kalau dia memang kaget.

“Gue ada perlu buat ketemu dia,” terang Tami.

Hendak bertanya kenapa Tami tak menanyakan sendiri ke Kavi mengingat mereka sekarang sepertinya sudah bisa berkomunikasi dengan baik. Mia buru-buru mengurungkannya, karena tak mau banyak bertanya dan terlibat di hubungan dua orang mantan pacar yang rumit ini. “Setahu gue, dia sekarang tinggal di kliniknya.” Jawabnya kemudian.

“Di klinik?” tekan Tami heran.

“Iya, bentar gue cari alamatnya.” Beberapa saat percakapan mereka berganti keheningan, tak lama kemudian ia mengirim pesan ke ponsel Tami. “Dah gue kirim ya.”.

Thanks! Sorry ganggu malem-malem!” tutup Tami langsung memutus panggilan.

Tami membuka pesan dari Mia, menatap alamat klinik yang terlampir disana. Tak terlalu yakin kalau seorang Kavi benar-benar tinggal di klinik.

Kenapa tinggal di klinik bukan rumahnya?

Tami buru-buru menggeleng, saat ini bukan waktunya untuk bertanya-tanya. Saat ini rasa penasarannya sudah tumpah ruah, membanjiri pikira. Ia harus segera menemui Kavi untuk mendengar penjelasan dari Kavi, karena dia orang yang memulai untuk membuka semua rahasia yang sudah simpan lima tahun itu. Ada beberapa hal yang masih menjadi teka-teki dan Tami merasa, tak akan bisa tidur lelap malam ini kalau dia tak mendengar jawabannya. Apalagi mengingat-ingat Kavi selama ini sudah mencoba untuk membahas hal itu lebih dulu tapi selalu dicegah oleh dirinya sendiri.

Tanpa menunggu lagi, ia langsung memesan taksi online, menuju alamat klinik Kavi yang ternyata tak sampai satu jam dari rumah Tian.

Semula ia pikir ia bisa mencapai klinik yang bertempat di komplek ruko itu dengan mudah, karena lokasinya yang terjangkau, sampai ia mendapati hujan tiba-tiba turun dengan derasnya sampai membuatnya kebingungan untuk sampai ke tempat itu. Belum lagi ketika sampai di depan komplek ruko, ternyata pintu masuk areanya sudah di tutup oleh rantai. Taksi yang ia tumpangi tak bisa masuk, pun mengantarnya sampai ke depan klinik. Sang supir pun tak menyimpan payung didalam mobilnya yang bisa dipakai untuk mengantar sampai ke depan pintu.

Tami tak punya pilihan lain selain berlari dari depan pintu area ruko sambil mencari letak klinik Kavi. Di bawah guyuran hujan, dengan jarak tempuh sekitar tiga puluh meter.

Gaunnya mulai kuyup saat akhirnya ia sampai di depan pintu klinik yang lampu depannya paling benderang diantara deretan ruko lain, yang tampak juga sudah tutup operasionalnya. Ia coba mencari tombol bel di sekitar pintu, namun tampaknya memang tak ada. Tanpa pilihan lain yang lebih cemerlang, Tami akhirnya mengetuk-ngetuk pintu ruko dua lantai itu sambil memanggil Kavi. Namun selama hampir dua menit ia mengetuk, tak ada yang membukakan pintu. Tubuhnya mulai mengigil kedinginan.

Ia mendadak ragu Kavi ada di dalam, jangan-jangan informasi dari Mia salah, Tami buru-buru menelepon nomor Kavi di ponselnya. Kelewat terlambat, semesti nya ia lakukan sejak tadi.

Kavi yang baru kelar kamar mandi, memasuki kamar sambil mengeringkan rambutnya dengan handuk, bergegas meraih ponselnya yang berdering di atas kasur. Matanya terbelalak, ia buru-buru menjawab panggilan karena nama Tami yang muncul di layarnya.

“Lu lagi di klinik gak?” tanya Tami tanpa basa-basi.

“Iya.”Decit Kavi. “Kenapa?” Ia menggaruk tengkuknya bingung.

Lihat selengkapnya