AS YEARS GO BY

Arisyifa Siregar
Chapter #15

15. Curi-curi Kesempatan

Tami memandang dirinya di cermin kamar mandi di lantai dua ruko klinik Kavi. Ruangan yang luasnya tak sampai lima meter persegi ini penuh dengan aroma Kavi. Ditambah sekarang ia sedang mengenakan t-shirt dan celana milik Kavi. Aroma khas Kavi yang menguar dari pakaian ini, membuatnya gugup.

Sambil menutup, membuntal rambutnya yang basah setelah keramas dengan handuk Tami menghela nafasnya panjang. Sebelum datang ke sini ia sudah merasa sangat bersalah, sekarang setelah mendengar kisah Kavi ia makin-makin bersalah. Ia kesal dengan dirinya yang tak tahu apa-apa, juga dengan Kavi yang membuatnya sampai mengalami situasi seperti ini.

Meski begitu, ia bisa memaklumi alasan Kavi sebisa mungkin menutupi semuanya dari siapapun. Pasti berat menceritakan hal memilukan seperti itu. Apalagi untuk seorang laki-laki yang biasa dipandang sempurna oleh orang lain. Ia pasti malu, atau bisa saja gengsi, karena hal itu benar-benar bisa melukai harga dirinya.

Sambil memilin handuk di rambutnya dan melipat gulungannya di tengah kepala, Tami berjalan keluar kamar mandi.

Kavi rupanya sudah menunggunya. Ia berdiri canggung di tengah lorong, berusaha tak langsung menatap wajah Tami. Ia menelan ludah, mendadak gugup karena tak pernah melihat tampilan Tami yang seperti ini. Terlebih mengenakan pakaiannya miliknya yang kebesaran di tubuh Tami, membuat Tami kelihatan semakin imut. Tak munafik, hasratnya sebagai lelaki normal saat ini sedang bergejolak. Wajahnya merona sampai telinganya merah dan panas.

Tami tak kalah canggung, berada di hadapan Kavi dengan penampilan yang tak pernah ia tunjukkan selain ke keluarganya seperti ini, wajahnya pun memerah malu.

“Lu punya hair dryer?” celotehnya asal karena gugup, buru-buru meringis tertahan penuh malu karena sudah pasti Kavi akan menggeleng.

Dan pria itu sekarang memang tengah menggeleng.

“Iya pasti nggak punya sih, ya.” Imbuh Tami kikuk.

Kavi mengangguk-angguk sambil menggaruk tengkuk, “Lu tidur di dalem aja, di dalam ada tempat tidur.” Tunjuknya ke ruangan di seberang kamar mandi.

“Lu dimana?” tanya Tami canggung.

“Gue di bawah, di dalam klinik. Kalau ada apa-apa panggil gue aja.” Jelas Kavi sambil berbalik badan.

“Kav!” panggil Tami.

Kavi berhenti di ujung tangga dan menengok.

“Gue minta maaf.” Sesal Tami. “Maaf buat semuanya. Selama ini gue salah paham sama lu.”

Kavi tersenyum sambil menggeleng. “Gimana juga gue yang salah. Gue juga minta maaf atas semuanya,” Ia berhenti sejenak. “Terutama kejadian kurang ngenakin di tempat Raina tadi.” Ucapnya penuh sesal yang tulus.

Tami mengangguk. Bisa dibilang mereka sekarang impas.

“Udah jangan dipikirin, tidur aja sekarang, dah malem lu pasti capek. Bye!” Kavi berbalik badan lagi dan menuruni tangga.

Bye!” jawab Tami terlambat, dengan suara kecil tanpa nyali.

Saat Kavi sudah menghilang dari pandangan, ia membuka pintu di hadapannya, kamar berukuran sekitar tiga kali empat meter itu memiliki tempat tidur kecil di pojok.

Tami masuk perlahan sambil melihat ke sekeliling, kamar ini hanya dipenuhi oleh tumpukan buku-buku di lantainya, tak ada lemari atau pun rak tempat menyimpan barang. Ia hanya menemukan tiga koper besar yang berjajar di pojok. Tak menyangka sama sekali kalau selama ini Kavi tinggal disini. Terkejut sekaligus terpesona, menyaksikan bagaimana pria yang biasa hidup teratur dan tak suka mengambil resiko itu, tumbuh menjadi laki-laki mandiri.

Ia pun merebahkan badannya di kasur Kavi dan menarik selimut sampai ke pinggang. Berbaring miring sambil tersenyum.

Cukup sudah dengan keributan yang terjadi hari ini, ia akan beristirahat tanpa mencoba memikirkan bagaimana cara menghadapi hari esok, menghadapi Tria, Duna dan Julian tentunya. Sekarang yang terpenting adalah menikmati pengalaman untuk pertama kalinya tidur satu atap dengan Kavi. Masa bodoh dengan pikiran-pikiran ruwet yang tersisa di dalam kepalanya. Ia ingin beristirahat.

“Tenang Tami, masih ada hari esok yang bisa lebih baik dari hari ini,” ucapnya, lebih mirip mantra ketimbang asal bicara. Tepat jam dua belas malam, ia memejamkan matanya dan tak perlu waktu lama untuk langsung terlelap.

***

Lihat selengkapnya