AS YEARS GO BY

Arisyifa Siregar
Chapter #16

16. Mencari Saran

Mia menyapukan pandangannya ke deretan kantong belanja yang menyesaki kolong meja kerja Tami. Ia lalu melirik kerah dress Tami, saat gadis itu tak sadar sama sekali sedang diperhatikan karena sejak datang langsung sibuk menyelesaikan laporan mingguannya di depan laptop. Ia lalu mendekatkan wajah ke leher Tami dan berbisik. “Ikut gue!”

Tami bergidik kaget sekaligus merinding. Mata besarnya melotot bingung, ketika menengok ia melihat Mia tengah mengedikkan kepalanya memberi isyarat padanya ikut ke pantry.

“Ada apaan? Gue lagi kejar deadline submit report, nih!” keluh Tami bergerak resah.

Mia melipat kedua tangannya di depan perut, bergerak mendekat dengan tatapan penuh curiga. “Lu gak pulang ke rumah, ya?” tebaknya. “Ada apa tadi malem?”

Membelalak kaget, Tami reflek mundur selangkah. “Lu tau dari mana?” tanyanya ngeri.

“Baju lu, masih ada labelnya! Lu juga beli banyak baju!” Tunjuknya. “Tadi gue liat lu diantar ke sini sama Kavi. Ada apa antara lu sama Kavi sekarang?”

Sambil merogoh-rogoh belakang kerah bajunya dan menarik putus label yang Mia maksud. Tami mengkeret. “Apaan maksud lu? Kavi kenapa?” Kelitnya sembari terus menghindari tatapan Mia yang menusuk.

Bergerak makin mendekat, Mia menyudutkan. “Lu balikan sama dia? Lu tinggal bareng dia sekarang?”

“Nggak!” pekik Tami panik. “Gue cuma nginep sementara di tempat dia!”

Mia membelalak, tak disangka tuduhannya ternyata benar. “Lu nginep di rumah dia? Kenapa? Kenapa bisa?”

Wajah Tami menekuk sebal, “Emang gak boleh nginep di rumah temen?”

“Sejak kapan lu sama dia jadi temen?” Balas Mia.

“Sejak kita sepakat!” Tantang Tami.

Mia memicing matanya lagi, “Lu tau gak, dari sekian banyak hal di dunia ini, ada hal-hal yang gak boleh kita lakuin, salah satunya itu...” ia kembali mendekatkan wajahnya dengan ekspresi yang sengaja ia buat sebengis mungkin agar peringatannya tak dianggap sebagai candaan oleh Tami. “..balikan sama mantan!”

“Ch!” cibir Tami keras kepala. “Emang kenapa?” Adunya, tak gentar.

“Karena percuma, lu balikan sama orang yang sama, masalah lu bakal sama, putus lu juga bakal sama!” Tekan Mia, salah satu hal yang biasanya tak ia lakukan ke orang lain. Tapi Tami tak bisa dianggap sekedar orang lain. Dan ia benar-benar peduli dengan temannya ini. Ia mau Tami lebih berhati-hati agar tak terjerat rasa sakit yang sama lagi.

Kali ini Tami tak bisa menyahut, ucapan Mia membuatnya tertohok.

Meskipun dalam hatinya tetap merasa tak mau kalah dalam debat ini, kenyataannya di dalam dirinya ia mempunyai ketakutan yang sama seperti ucapan Mia barusan.

Tami takut untuk jatuh cinta lagi dengan Kavi, takut akan merasakan kedinginan dan kesepian seperti dulu, takut perpisahan akan berpisah dengan cara yang sama lagi. Walaupun bisa dibilang mereka putus karena adanya kesalahpahaman dan campur tangan pihak luar. Tapi semua waktu yang ia lewati dengan perasaan berat, kesedihan, dan amarah yang memenuhi dadanya itu semua nyata.

Melihat Tami yang mendadak bungkam dengan ekspresi penuh pertimbangan, Mia bergeleng heran. Bisa-bisanya temannya ini tadi dengan lantang melawan ucapannya, berdeklamasi kalau dirinya tak takut sama sekali untuk menginjak ranjau yang sama, tapi tiba-tiba gentar karena disinggung tentang masa lalu yang pahit itu.

“Terserah lu berdua gimana,” Tegas Mia bergerak ke arah pintu pantry tanpa menoleh. “Yang pasti jangan sampai ganggu kerjaan lagi.” Tekannya lalu meninggalkan ruangan.

Tami bergeming, perkataan Mia berhasil menghidupkan kembali peringatan siaga untuk membangun pertahanan dirinya yang sejak kemarin redup karena terlalu hanyut dalam suasana menyenangkan yang terjadi antara dirinya dan Kavi. Benar, kini ia harus lebih hati-hati, jika tak ingin membiarkan sakit yang menimpanya dulu, terulang lagi.

***

Mata Lucas bolak-balik ke kanan kiri mengikuti gerakan tubuh Kavi yang entah kenapa di matanya kelihatan lebih ceria dari biasanya. Wajahnya sumringah tak karuan, mengambil gelas, mengambil kopi, membuat kopi dan berjalan duduk ke seberangnya dengan gerakan penuh semangat diiringi senyum tipis dan gumaman senandung yang hampir tak terdengar jika saja pantry tak sesepi ini.

Mata Lucas menyipit curiga. Terang-terangan mengawasi Kavi yang tengah menyeruput kopinya lalu mendesah nikmat dengan ekspresi agak memuakkan. “Lu dapet pasien VIP?” celetuknya.

Kavi menggeleng sambil terus menyeruput kopinya.

Lihat selengkapnya