Tami melirik lagi dan lagi, ia merasa ada yang beda dari sikap Kavi pagi ini.
Semalam, saat dia memasuki klinik, ia melihat Kavi sedang duduk melamun di sofa. Dengan lampu temaram dan posisinya yang membelakangi, Tami tak bisa melihat dengan jelas bagaimana ekspresi Kavi saat itu, jadi dia hanya menyapa dengan senyum canggung, sambil dalam hati tak ingin terlalu percaya diri bahwa karena berpikir Kavi sengaja meluangkan waktu untuk menunggunya pulang.
Tapi Kavi hanya membalas sapaannya dengan anggukan kaku sambil langsung bangkit dari sofa. Tak ada basa-basi, seperti menanyakan kabar atau hal lainnya. Cowok itu hanya berjalan ke dalam ruang periksa sambil bilang. “Gue tidur duluan ya, lu istirahat.”
Menghilang di balik pintu tanpa menoleh sedetikpun.
Semestinya Tami tak perlu heran, karena saat pacaran dengan dulu, memang begitulah kebanyakan sikap Kavi padanya. Hal itu memang kebiasaan Kavi yang paling membuatnya tersiksa. Tidak tahu apa yang sedang ada di pikirannya, atau masalah apa yang sedang ia alami sampai bersikap dingin dan amat tertutup. Tami menghabiskan seluruh waktunya untuk menduga-duga apa yang terjadi dan menimbang-nimbang bagaimana cara menanggapinya.
Kalau saja dia belum tahu tentang kisah Kavi, tentang masa lalunya, tentang alasan cowok ini menutup diri sampai segitunya. Tami mungkin akan langsung berpikir Kavi bersikap seperti itu karena tidak menyukai keberadaannya. Tapi sekarang ia sudah tahu apa yang selama ini Kavi lewati, dan sudah bisa memandang lebih santai akan sifat Kavi yang tertutup itu. Jadi bisa lebih berhati-hati dan tak terlalu cepat mengambil kesimpulan. Oleh karenanya tadi malam dia memilih untuk tak terlalu ambil pusing dan langsung tidur karena kelelahan.
Akan tetapi pagi ini, Tami semakin yakin, bukan dirinya yang terlalu cepat mengambil kesimpulan, tapi memang sosok Kavi seakan kembali ke dirinya yang dulu Tami kenal. Kavi yang dingin dan tertutup karena tak ingin Tami tahu urusannya, bukan Kavi yang kelihatan hangat dan penuh inisiatif, yang sampai membuat Tami terlena kemarin.
Kavi terdiam sambil menyantap sandwich yang ia buat untuk sarapan pagi ini. Duduk di sana, di kursi yang sama. Posisi mereka sama persis seperti saat mereka menyantap nasi goreng pagi kemarin, tapi atmosfer yang mengelilingi mereka kali ini terasa sangat kontras dari sebelumnya. Tak ada kehangatan tawa atau tatapan akrab di sela-sela obrolan. Kavi hanya terdiam, seolah tak ada orang lain di depannya. Tami juga ikut terdiam, tak melontarkan pertanyaan apapun lagi.
Suasana ini membuat Tami kesulitan untuk tetap berpikir positif. Dirinya juga sudah membulatkan tekad untuk lebih berhati-hati dalam mengelola perasaannya pada Kavi. Apalagi sekarang dia menyaksikan dengan mata kepala sendiri bukti dari ucapan Mia kemarin.
Orang yang sama, kepribadian yang sama, akan menghadapi masalah yang sama dan berakhir sama.
Membangun benteng diri untuk pertahanan hatinya, agar tak terjerumus lagi pada cinta bertepuk sebelah tangan yang menguras tenaga adalah hal paling tepat untuk ia lakukan sekarang.
Ia bergerak bangun dari kursi tanpa bersuara, mengambil gelas lalu mengisinya dengan air dingin dari dalam lemari es. Di belakangnya, Kavi tetap tak berucap sama sekali. Hampir seperti manekin yang duduk diam di depan etalase toko.
Sambil menenggak isi gelasnya Tami berpikir, apa hal terbaik yang harus bisa dia lakukan pada saat seperti ini. Untuk menunjukkan ke Kavi bahwa dia tak terima diperlakukan seperti ini, tapi juga tak secara gamblang menunjukkan rasa sakit hati. “Hari ini gue mau cari rumah, kalau ada yang cocok, mungkin besok gue pindah.” Ucapnya kemudian.
Seperti tertampar perih di wajah, Kavi yang terlalu larut dengan pikirannya sendiri sejak obrolannya dengan Yiran semalam, kini tersadar. Mendadak panik, dan bingung menanggapi ucapan Tami. Matanya berkelebat dan mencari ide, buru-buru menengok. Untuk pertama kalinya menatap wajah Tami selama pagi ini berlangsung. “Mau gue temenin? Gue gak ada jadwal praktek di Rumah Sakit hari ini.” Sarannya.
Sudut mata Tami berkerut, cowok ini sejak kapan tingkahnya jadi aneh begini. Bolak balik menjadi pribadi yang ia kenal lalu menjadi asing dan begitu seterusnya. Ia menarik nafas pelan, merasa tak bisa menanggung kebingungan seperti ini lebih lama lagi. “Nggak usah,” tolaknya, terus mempertinggi tembok di antara mereka.
“Gue sama temen gue.” Imbuhnya lalu menenggak habis air di gelasnya.