AS YEARS GO BY

Arisyifa Siregar
Chapter #18

18. Emosi yang Tumpah

Hari sudah mulai gelap saat Tami memarkir mobil SUV Astrid di depan pagar rumahnya. Ia menarik nafas dalam-dalam sebelum turun. Meski enggan untuk memasuki rumah lagi setelah pergi dengan penuh emosi, ia harus tetap melakukan hal ini, karena semua barangnya masih berada di dalam kamar. Dan ia perlu semua itu untuk memulai hidup di tempat tinggalnya yang baru.

Ia membuka pintu perlahan, merasakan sisa-sisa udara lembab dari luar menempel di tengkuknya yang terulur resah, melongok keadaan di ruang tamu dan menemukan tak ada siapa-siapa di sana baru merasa nyaman untuk melangkah masuk. Sambil melemparkan pandangannya ke arah ruang tengah dan dapur, ia terus berjalan ke kamar. Tak ada siapapun yang terlihat. Tria pasti ada di kantor, karena ini masih jam kerja, dan Duna bisa jadi juga sedang kerja di salon, tapi mengingat pintu yang tak terkunci saat ia masuk tadi, buru-buru Tami mengoreksi pikirannya. Kemungkinan besar Duna ada di dalam kamar.

Karena itu dia bergegas masuk ke kamarnya dan menutup pintu perlahan agar tak menimbulkan bunyi yang memancing perhatian. Ia tak ingin berpapasan dengan Duna dan terlibat percakapan. Jadi tanpa mengulur waktu, ia langsung mengambil dua kopernya yang paling besar dan membukanya lebar di atas kasur.

Bergegas menyesakkan baju-baju, buku, foto, barang lainnya yang ia rasa ia perlu dibawa. Entah bagaimana bentuknya nanti di dalam koper, yang penting sekarang ia bisa menyiapkan semua barang bawaannya dalam waktu singkat, dan sebanyak-banyaknya yang bisa diangkut pindah.

Dan ternyata barang-barangnya lebih sedikit dari yang ia kira. Dua kopernya memang penuh sesak, namun tak banyak lagi barang yang bisa ditinggalkan di kamar ini. Ia menyapukan pandangannya ke sekeliling, menyampaikan pesan selamat tinggal lewat tatapan sendu ke kamar yang sudah ia huni sejak kecil dan memiliki banyak kenangan ini. Pahit getir terasa dalam dadanya, pada akhirnya ia benar-benar meninggalkan rumah ini, dani tak disangka, harus pergi dengan perasaan mengganjal seperti ini.

Tak ingin berlama-lama, ia langsung menurunkan dua koper beratnya dari kasur ke lantai, menyeret nya di kedua tangan dan berjalan ke arah pintu. Saat membuka pintu, matanya melebar, tubuhnya langsung mematung kaku.

Duna berdiri di hadapannya dan menatap penuh kesedihan, entah sejak kapan dia berdiri disitu. Sorot matanya dalam, ekspresi wajahnya kacau. Tami merasa setiap kali ia melihat Duna, makin Duna kelihatan berantakan.

“Lu bener-bener pergi?” tanya Duna melirik ke koper Tami.

“Lu kira gue gertak doang?” sahut Tami ketus, lalu melanjutkan langkahnya.

Duna mengikuti tepat di belakang, “Bisa diomongin baik-baik kan Tam? Gak usah harus sampai kabur kayak gini, gimana juga kan kita keluarga!”

Tami berhenti lagi, menoleh dengan mata berkilat bengis. “Omongin baik-baik lu bilang? Emang lu sama Tria pernah ngomong baik-baik dan terbuka sama gue?”

Duna memejamkan matanya sambil menahan nafas sekejap. Kemudian membukanya lagi dan melemparkan tatapan lebih sendu. “Please gak usah bahas hal itu dulu Tam, sekarang kita lagi bahas masalah lu.” Ia memohon.

Lihat selengkapnya