Kavi menunggu kaki bergerak gelisah, makin waktu berlalu makin ia takut Tami tak kembali. Ia khawatir Tami langsung pergi, tak mau menginjakkan kaki di klinik ini lagi setelah tersinggung dengan sikapnya tadi pagi.
Entah sejak kapan dirinya berubah menjadi penakut, penuh kekhawatiran dan pikiran-pikiran negatif yang tak bisa diatasi. Ia pun tak paham. Tapi yang jelas seharian ini ia merasa tak pernah tenang. Berkali-kali menimbang-nimbang perlu kah dia menanyakan kabar Tami lewat chat, apakah gadis itu sudah menemukan rumah yang cocok? Apa benar-benar tersinggung atau marah karena sikapnya? Namun tak ada yang dia lakukan, karena tak yakin mana tindakan yang benar untuk dilakukan, mengingat hubungan mereka yang sekarang yang masih tak jelas statusnya. Pun tak tahu bagaimana perasaan Tami terhadap dirinya. Takut salah gerak sedikit saja malah memperkeruh keadaan yang sudah buruk karena kebodohannya.
Sekarang ia duduk di sofa klinik yang menghadap ke arah jendela. Kedua ujung kakinya berjinjit, lututnya bergerak naik turun. Lalu saat mobil SUV merah berhenti di depan klinik, tubuhnya terlontar berdiri seolah duduk diatas pegas. Memanjangkan lehernya heboh, celingukan menunggu siapa yang turun dari sana. Mendapati Tami yang keluar dari pintu supir, ia buru-buru memakai sandalnya dan keluar sambil terus celingukan ke arah mobil.
“Lu ngapain?” tanya Tami, dahi berkerut.
“Diantar siapa?” tanya Kavi, terus menerus celingukan, sampai membuat Tami ikut menengok ke arah mobil.
“Sendiri, gue minjem mobil Astrid.” Sahut Tami datar, barulah Kavi berhenti celingukan.
“Kenapa?” tanya Kavi lagi.
“Kenapa apanya?” wajah Tami menekuk bingung.
“Kenapa minjem mobil Astrid, kan bisa minjem mobil gue?” sahut Kavi.
“Oh.” Tami baru paham, meski tak yakin memang Kavi yang bicara kurang jelas atau otaknya yang kelelahan karena menangis terlalu lama sepanjang jalan tadi.
“Tadi gue dari rumah Astrid, terus gue harus balik ke rumah ngambil barang-barang gue.” Dia menunjuk ke arah mobil. “Gue jadi pindah besok soalnya, jadi gue bawa semua kesini dulu, sebelum gue bawa ke tempat gue nanti. Sekalian barang-barang gue yang ada disini.” Paparnya tak bersemangat, tak punya tenaga untuk menengadah dan menatap wajah Kavi.
Kavi termangu, sadar doanya yang licik sejak kemarin ternyata tak terkabul. Pada akhirnya Tami benar-benar hanya sebentar menginap di sini. Akhirnya dia benar-benar akan pergi sebelum Kavi sempat memulai usaha apapun untuk mendapatkan hatinya. Ragu kedepannya bisa punya kesempatan lain untuk mendekati Tami dengan jarak sedekat ini.
“Oi!” tegur Tami dengan tatapan sayu, melambai-lambaikan telapak tangannya di depan wajah Kavi yang melamun. “Gue masih boleh nginep lagi disini malem ini?” tanyanya, tak menyimpan niat apapun dibalik pertanyaannya, karena ia merasa sama sekali tak punya tenaga kalau harus kembali ke apartemen Astrid sekarang. “Atau gue cabut sekarang aja?” sambungnya buru-buru, khawatir Kavi tak nyaman dengan keberadaannya.
“Disini aja!” tahan Kavi, kelewat lantang.
Alis Tami naik ke tengah dahi. Kavi entah mengapa terlihat begitu menggemaskan malam ini. Mungkin karena kacamata yang dikenakannya? Kacamata yang sejak dulu selalu menambah ketampanan Kavi di mata Tami setiap kali ia memakainya. Mungkin karena suaranya tiba-tiba sedikit melengking bersemangat sehabis dia berkata akan menginap lagi. Tapi Tami sedang berada dalam kondisi perasaan dan pikiran yang membuatnya tak bisa merasa terpesona.
“Oke!” balas Tami kemudian, dingin, melewati Kavi dan masuk ke klinik lebih dulu.
Menyadari raut wajah Tami yang tak bersemangat, lemas dan sedikit pucat. Mata Kavi berkelebat, ia pun langsung berbalik badan dan menyusul Tami yang saat ini ternyata sedang menaiki tangga ke lantai atas. Dengan langkah senyap Kavi mengekor, beberapa langkah dibawah, menjaga jarak nyaman antara mereka.
Namun matanya menangkap kaki lunglai Tami, salah berpijak di ujung anak tangga dan tubuh mungil itu bisa saja jatuh. Dengan langkah lebar, Kavi melompati beberapa anak tangga sekaligus dan langsung menangkap pinggang Tami dari belakang.
Tami menoleh kaget, mata besarnya membelalak dan melihat Kavi yang saat ini seperti sedang merengkuh pinggangnya. Dalam beberapa saat, mata mereka bertemu dengan otak yang mendadak kosong.
Lebih dulu sadar akan kecanggungan yang menyerbak tiba-tiba, Kavi buru-buru melepas tangannya dari pinggang Tami. “Lu nggak apa-apa kan?” tanyanya memastikan.
Menggeleng perlahan. Tami masih menatap wajah Kavi yang saat ini sedang melangkah naik ke anak tangga yang sama dengan yang ia pijak. Di tangga yang lumayan sempit ini mereka berdiri nyaris berhimpitan. Udara disekitar serasa menjadi hangat dalam sekejap, dipenuhi dengan nafas yang berhembus keluar dari tubuh keduanya yang mendadak lebih panas dari sebelumnya.
Kavi meneliti wajah Tami dengan seksama, di bawah temaram lampu tangga, ia memegang kedua pipi Tami dengan tangannya. Mendekatkan wajahnya ke wajah Tami dan menatap mata Tami tanpa henti.
Jantung Tami berdegup kencang hingga hampir meloncat keluar. Matanya yang sembab mengedip cepat sementara bibirnya yang kering terdiam kelu. Mengingat kejadian di lorong gedung di acara Raina, saat Kavi berusaha menciumnya. Apakah hal itu akan terjadi lagi?
“Lu lagi sakit?” tanya Kavi.
Seketika memukul mundur halusinasi Tami.
Ia menarik nafas panjang, mengisi kembali fokusnya yang hilang beberapa detik lalu. “Nggak.” Ia menurunkan kedua tangan Kavi dari pipinya.