AS YEARS GO BY

Arisyifa Siregar
Chapter #20

20. Cinta yang Kembali Bersemi

Tami membuka matanya perlahan, menyaksikan sinar matahari ternyata sudah memasuki ruangan lewat sela-sela tirai yang terbuka. Ia menggerakkan punggungnya yang terasa kaku lalu menyadari lengan Kavi masih ada di bawah lehernya. Ia menatap lengan yang dijadikan bantalan kepala olehnya semalam. Tersenyum, tak menyangka akhirnya cintanya berbalas. Untuk pertama kalinya dalam hidup, ia merasakan keajaiban yang dialami orang-orang.

Orang yang dicintai, juga mencintainya.

Merasakan kepala Tami di lengannya bergerak, Kavi ikut terbangun. Begitu matanya terbuka ia melihat belakang kepala Tami di depan wajahnya, wangi rambut Tami tercium dengan mudahnya. Ia tanpa sadar bergerak maju dan mengecup kepala Tami, sambil tangan kirinya melingkar di pinggang Tami dan memeluknya.

Tami tersenyum tapi terlalu malu untuk menengok dan melihat langsung wajah Kavi. Selepas bercumbu semalam, mereka tak membicarakan hal lain, hanya saling berpelukan cukup lama lalu Kavi berniat meninggalkan kamar dan menyuruh Tami untuk istirahat. Tapi Tami malah menarik lengan Kavi, menahannya pergi, memintanya untuk menemaninya sampai ia tertidur. Kavi mengiyakan, merebahkan badannya di samping Tami, dan entah kapan akhirnya mereka berdua tertidur pulas diranjang sempit ini.

Mengingat kejadian semalam, Tami tersipu malu. Wajahnya merona, pipinya menjadi merah muda. Sekarang ia bingung harus bersikap bagaimana. Karena meski tak melakukan apa-apa, ini kali pertamanya tidur seranjang dengan pria.

Terlebih, pria ini adalah orang yang sangat dicintainya.

“Mau sarapan?” bisik Kavi di telinganya. 

Tami bergidik geli sambil menahan tawa. Suara Kavi di telinganya terasa lembut dan mengguncang hati disaat bersamaan. “Em!” Angguknya kemudian.

“Aku siapin dulu, kalau kamu mau mandi, mandi dulu aja ya.” Anjur Kavi sambil bergerak bangun dan turun dari kasur. Berjalan ke arah pintu tanpa menengok.

Tanpa sepengetahuan Tami sebenarnya sejak tadi wajah Kavi juga merah sampai mirip tomat matang. Ia kikuk, tersipu, dan terus menerus tersenyum sejak matanya terbuka tadi. Masih tak menyangka akan mengalami momen seperti semalam.

Ternyata memang sederhana, pikirnya.

Mengikuti perasaan dan kemauan sendiri ternyata sangat sederhana. Selama ini sepertinya dia memang terlalu banyak berpikir sebelum bertindak, atau lebih tepatnya lebih menimbang-nimbang sebelum melakukan sesuatu yang menjadi kehendak, sekecil apapun hal itu. Kini ia kagum pada sosok Yiran, cowok yang selalu melakukan apapun yang ia mau, demi menunjukkan rasa cintanya ke Raina itu, ternyata patut dijadikan panutan.

“Ch! Yiran!” gerutunya sambil mengambil bahan makanan di dalam kulkas. “Emang gak salah minta saran sama itu orang!” Tawanya lalu mencuci sayuran.


Di dalam kamar mandi Tami memandangi wajahnya di kaca. Kedua sudut bibirnya tersungging, tak bisa berhenti tersenyum.

Hidupnya terbalik seratus delapan puluh derajat dalam semalam. Kemarin ia benar-benar merasa frustasi dan tersiksa, namun hari ini semua perasaan menyesakkan itu menguap di udara dan hilang seperti tak pernah benar-benar ada, yang tersisa hanya gelora asmara yang meletup-letup di seluruh aliran darahnya, membuatnya merinding, gugup dan bahagia.

Ia meraih sikat gigi dan menaruh pasta gigi di atasnya, memasukkan ke dalam mulut dan mulai membersihkan giginya, masih sambil senyam-senyum, masih sambil sesekali memejamkan matanya lalu mengerang kegirangan. Kedua kakinya bergantian menghentak lantai. Ia menahan dirinya untuk tak melompat-lompat di kamar mandi karena takut terdengar oleh Kavi di lantai bawah.

Setelah berkumur ia bergeleng dan berdehem, menepuk-nepuk pipinya sendiri, memaksa dirinya untuk berhenti tersenyum namun gagal. Lagi-lagi ia tersenyum, lagi-lagi mengerang kegirangan. Jadi daripada membuang waktu percuma untuk menyingkirkan sumringah yang menyarang diwajahnya, ia memilih untuk segera membersihkan badannya sambil bersenandung riang di bawah pancuran air. Bergegas mandi dan berdandan secantik mungkin, dan segera menemui Kavi yang sudah ia rindukan.


“Udah jadi nih sarapannya!” ujar Kavi saat mendengar langkah kaki memasuki pantry. Tapi saat menoleh ia malah melongo.

“Bikin sarapan buat aku, Dok?” tanya perawat yang berdiri di ambang pantry.

“Ah?” pekik Kavi bingung. Dalam hatinya mengumpat panik. “Mau sarapan, Mel?” sambungnya, mengangkat piring ditangannya dengan canggung. Ia tak tahu kalau ternyata yang masuk ke dapur adalah salah satu karyawan klinik, bukan Tami.

Melanie nyengir lebih canggung. Ia tahu, kedatangannya bukan yang Kavi harapkan. Dan makanan dipiring itu jelas bukan untuknya.

“Nggak, Dok! Makasih. Udah sarapan.” Tolaknya sopan lalu berjalan ke arah lemari es dan mengambil botol minumnya.

Ia menengok sekali lagi ke Kavi sebelum berjalan kembali ke arah pintu. “Nggak ada apa-apa kan, Dok?” tanyanya memastikan, heran melihat Kavi mematung dengan wajah kebingungan.

“Ah, nggak, nggak apa-apa, kok.” Kekeh Kavi kaku.

Lihat selengkapnya