AS YEARS GO BY

Arisyifa Siregar
Chapter #21

21. Alasan yang Dicari

Begitu membuka pintu rumah ia Raina langsung mendapati wajah Tami yang sedang nyengir lebar.

Sebenarnya dia memang tak marah, tapi pura-pura menunjukkan kemarahan pada Tami hari ini. Karena sebagai tamu penting di acaranya kemarin, sahabatnya ini malah kabur tanpa pamit, pun tak menghubungi berhari-hari setelahnya untuk menjelaskan apa yang terjadi. Tapi wajah sumringah Tami ini, sudah lama tak pernah ia lihat. Jadi dia memutuskan untuk tak menghukum Tami saat ini. Terlebih, diam-diam ia merasa bersalah, karena mungkin senyum di wajah Tami itu akan segera hilang karena perkataan yang mau ia sampaikan hari ini.

Awalnya Raina ingin bertemu dengan Tami untuk membahas kepergiannya di acara baby shower. Tapi tadi siang, setelah menemui Duna di rumah sakit. Pembicaraan itu nampak tak penting.

Tadi pagi, setelah menghubungi Tami, Raina menelpon Duna. Tapi secara mengejutkan Tria lah yang menjawab panggilannya. Suami Duna yang juga kakak Tami itu, suaranya terdengar putus asa. Dengan berat hati ia mengatakan membutuhkan bantuan Raina untuk bicara dengan Duna, yang semalam ternyata masuk UGD karena ‘percobaan bunuh diri’.

Rasa frustasi dan bingung Tria terpancar kuat dari wajahnya saat Raina menyambangi mereka di rumah sakit beberapa jam lalu. Tria merasa sangat bersalah karena meminta Raina yang dalam keadaan hamil untuk datang ke rumah sakit, tapi Raina justru merasa bersyukur dimintai bantuan. Ia tak tahu kalau selama ini keadaan Duna sampai begitu parah.

Begitu Raina memasuki ruangan, Duna langsung berderai air mata. Dengan wajah pucat, tubuh lemah, dan suara pelannya dia menceritakan kondisi hubungannya dengan Tami saat ini. Untuk pertama kalinya, Raina mengetahui apa yang sebenarnya sedang Duna hadapi, jadi meski bisa memahami kekecewaan yang Tami rasakan dan tidak sepenuhnya membenarkan apa yang Duna lakukan, begitu tahu keadaan Duna, Raina merasa harus segera membuat Tami memahaminya juga. Sebelum terlambat, sebelum Tami menyesal di kemudian hari.

“Yiran mana?” tanya Tami begitu masuk ke ruang tamu, pertanyaan konsisten di setiap kedatangannya.

“Lagi anter Mamanya ke dokter.” Jawab Raina sambil pelan-pelan mengikuti Tami duduk di sofa ruang tamu.

“Mertua lu sakit?” mata besar Tami makin lebar saat melontarkan kekhawatiran.

“Nggak,” Geleng Raina. “Cuma mau periksa mata aja, akhir-akhir ini udah gak enak kacamatanya.” ia duduk sambil menghela nafasnya panjang. Perutnya yang sudah makin besar membuat nafasnya semakin terengah tiap kali bergerak.

Saat duduk bersebelahan, Raina bisa melihat raut muka Tami yang berseri. Sudut matanya berkerut, ia mengambil bantal sofa dan mengganjal belakang pinggangnya, mengubah posisi duduknya agak menyerong, agar bisa menatap Tami lebih jelas. “Kayaknya lu lagi happy, ada sesuatu ya?”

Melirik sambil mengangkat sebelah bahunya genit, Tami kemudian mengangguk malu-malu. “Gue balikan sama Kavi.” Ungkapnya, kemudian menutup mulutnya yang tersenyum lebar dengan telapak tangan.

What?” Pekik Raina. “Serius? Kok bisa?” Sejenak ia lupa, dengan apa yang seharusnya ia sampaikan. Kabar ini terlalu besar untuk diabaikan.

Terkekeh sambil menurunkan tangannya, Tami lalu berdehem dengan wajah tersipu. “Terjadi gitu aja, dalam waktu singkat, banyak yang kejadian. Mulai dari gue akhirnya tahu apa yang terjadi lima tahun lalu, alasan Kavi kenapa selalu dekat sama Lisa, and everything, literally everything.” Ia menggeser tubuhnya, menyamakan posisi duduknya seperti Raina. “Gue bahkan tahu alasan kenapa kalian bisa putus dulu, ada apa dengan Kavi dan Lisa waktu itu, bener-bener semuanya.” Papar Tami penuh semangat.

“Waaa…” Raina mendadak speechless. “Waaah…” Banyak pertanyaan muncul dibenaknya namun ia tak ingin mengucapkannya. Ia memperhatikan raut wajah Tami, bagaimana ia tadi berucap dengan sangat bahagia, ada kelegaan, kegembiraan yang tersirat dari sorot matanya. Tak penting lagi masalah tentang masa lalu Tami atau masa lalunya dengan Kavi. Hal yang paling penting sekarang, sahabatnya ini akhirnya terlihat ceria setelah bertahun-tahun lebih banyak muramnya.

“Gue ikut seneng lu, serius!” ungkap Raina tulus, mengulurkan tangannya dan memeluk Tami.

Thanks, Na.” Kata Tami sambil memeluk balik. “Untung gue masih punya lu buat cerita bahas hal kayak gini.” Tambahnya jujur.

Ucapannya membuat Raina langsung teringat alasan dirinya memancing Tami datang menemuinya.

“Tam..” panggil Raina hati-hati. “Lu gak mau baikan sama Duna?”

Melepaskan pelukannya perlahan, senyum di wajah Tami memuai. Ia menatap mata Raina lekat-lekat, mencoba menebak apa yang sedang ada dalam pikirannya. “Lu tau sesuatu ya?” Tebaknya tepat sasaran.

Raina mengangguk. “Gue udah tahu tentang Duna.” Ia menarik nafas dalam-dalam, “Dia dah cerita sama gue.”

Tak merespon apapun, Tami masih terus menatap Raina sambil berusaha membalas perkataannya. Tapi ia kehabisan kata-kata, ia bingung bagaimana cara mengungkapkan perasaan yang sekarang sedang ia rasakan. Ia tak mengerti kenapa Duna menceritakan hal itu pada Raina. Ia bahkan tak paham mengapa sekarang ia merasa marah sekaligus muak, namun tak paham atas dasar apa.

Melihat Tami kelihatan memendam emosinya, Raina buru-buru menggenggam tangan sahabatnya itu. “Dia baru cerita sama gue tadi siang, gue juga baru tahu. Dan gue kaget banget.” Jelasnya berusaha menenangkan Tami. “Dia terguncang, Tam. Selama ini dia ngira lu gak tahu, rahasia yang ditutup rapat-rapat.”

Lihat selengkapnya