AS YEARS GO BY

Arisyifa Siregar
Chapter #22

22. Memberikan Ruang

“Wah!” Kavi terpana. Sambil mengangkat masuk kedua koper Tami, ia memasuki apartemen sambil menyapukan matanya ke sekeliling. Apartemen ini jauh lebih bagus dari perkiraannya. Ia mulai menimbang-nimbang harga beli dan harga sewanya. Mulai berpikir setidaknya beberapa tahun ke depan ia harus sudah punya tempat tinggal seperti ini.

“Tolong masukin kesini!” seru Tami dari ambang pintu kamar yang ada di sisi kiri ruang tamu, membangunkan Kavi dari lamunannya yang tiba-tiba sibuk melakukan perhitungan pendapatan dan pengeluarannya secara mendalam.

Ia segera menenteng koper Tami masuk ke kamar, tak ingin menyeretnya di lantai karena terasa sangat berat, takut lantainya rusak kalau ia kurang hati-hati.

“Wah!” Kavi kembali terkagum, melihat jendela kamar Tami yang memperlihatkan gemerlap lampu gedung di sekitar apartemen.

“Keren, kan?” pamer Tami. Lalu terkikik sambil berlari ke arah jendela.

Kavi tersenyum, meletakkan kedua koper Tami di atas kasur dengan hati-hati dan berjalan menyambanginya. Ia berhenti tepat di belakang Tami, melingkarkan kedua tangannya dan memeluk pinggang Tami dari belakang. Seketika wajah Tami merona maksimal. Ia belum benar-benar terbiasa merasa dihujani cinta Kavi seperti ini.

“Disini bagus,” bisik Kavi di telinganya. “Tapi gak ada akunya.” Tambahnya menggoda.

Wajah Tami langsung menekuk, menahan tawa. Ia membalikkan badannya dan menatap Kavi dengan dahi berkerut. “Sejak kapan kamu jadi gak tau malu kayak gini?” sindirnya.

Kavi tertawa sambil bergerak mundur, ia duduk di pinggir kasur dengan kedua tangan yang masih menggenggam tangan Tami. “Sejak ada cewek cantik yang tinggal di klinik aku, terus sekarang dia pergi, aku sendirian lagi.”

Bibir Tami melengkungkan senyum, ia menutup wajahnya dengan kedua tangannya yang masih digenggam Kavi. Mendengar Kavi mengucapkan kata-kata barusan, perasaannya benar-benar tak karuan. Ada rasa senang, rasa geli, rasa sesal, rasa gemas dan rasa tak enak hati dan rasa-rasa lain.

Melihat Tami tersipu sampai tak bisa berkata-kata, Kavi terkekeh, dia menarik tangan Tami perlahan. Mengajaknya duduk di sampingnya. Keduanya memandang ke arah jendela, menikmati pemandangan kelap-kelip lampu kota.

Tangan Kavi menggenggam lebih erat. Ia sebenarnya masih ingin tahu apa yang terjadi Tami selama beberapa hari ini. Alasan emosinya meledak, alasan tadi dia sampai ke klinik dengan mata yang lagi-lagi sembab. Sesungguhnya ia penasaran.

Tapi dia tak mau memaksakan rasa penasarannya. Tak ingin karena terlalu berusaha untuk menebus dosa-dosanya di masa lalu, perhatiannya malah terasa mengganggu, dan seakan-akan tak memberi ruang untuk Tami. Karena jika sudah waktunya, dan kalau dia memang perlu tahu, ia percaya, Tami pasti akan menceritakannya juga.

Tami pun bukannya tak tahu keresahan Kavi, ia bisa menerka dan memahami apa yang sedang ada dibenak Kavi saat ini. Namun ia masih belum siap mengungkapkan masalahnya, karena hal ini bukan hanya tentang dirinya, ini tentang Duna dan Tria, dan dia sendiri belum benar-benar meluruskan masalahnya dengan mereka berdua. Meski cemas, ia rasa Kavi akan mengerti, saat ia menjelaskannya nanti.

Ponsel di dalam saku Kavi bergetar, ia mengeluarkannya dan membaca chat yang masuk. Tami melirik wajah Kavi. Muncul garis-garis halus keresahan dalam ekspresinya. Ia menekan beberapa kali enter balasan dan memasukkan lagi ponselnya ke dalam saku. Matanya memandang lagi ke jendela di seberangnya, namun kali ini terlihat penuh dengan pikiran.

Meski sejujurnya penasaran juga, Tami memilih untuk tak terlalu banyak menduga. Ia harus belajar untuk tak terlalu ikut campur dengan perasaan dan pikiran orang lain. Belajar untuk memberi ruang dan membiarkan orang lain memutuskan sendiri apakah masalah mereka harus dibagi atau tidak.

Walaupun sebenarnya, mereka berdua sudah sama-sama terdiam dalam waktu yang cukup lama, membuat suasana di dalam kamar ini menjadi dingin dan membosankan.

“Besok ada kegiatan?” tanya Tami, mengisi kekosongan.

Kavi menoleh, sorot matanya langsung berubah penuh cahaya. “Nggak ada!” sahutnya bersemangat. “Mau jalan?” tawarnya kemudian.

Jelas Tami langsung mengangguk, karena itu alasan dia bertanya. “Jalan-jalan ke Kebun Raya gimana?”

Lihat selengkapnya