AS YEARS GO BY

Arisyifa Siregar
Chapter #23

23. Antara Komitmen dan Keadaan

Satu per satu, Tami memasukkan pakaian ke dalam mesin cuci, tenggelam dalam lamunan yang tak berujung. Ia berusaha sekuat tenaga untuk tidak membiarkan pikirannya terganggu, memegang teguh janjinya: memberi ruang pada Kavi, tidak ikut campur dalam kehidupan orang lain, dan tidak memaksakan diri untuk mengetahui hal-hal yang sengaja disembunyikan darinya. Namun, realitas menamparnya, membuktikan bahwa idealisme jauh lebih mudah diucapkan daripada dijalankan. Ia sulit tidur sepanjang malam, membolak-balikkan badannya di atas kasur, dihantui keresahan. Pikirannya terusik, rasa ingin tahunya berubah menjadi obsesi, dan api cemburu mulai membara perlahan. Ia tahu perasaan ini tak pantas, tetapi hatinya seolah tak punya kendali untuk memadamkan kobaran yang membakar jiwanya.

Tentu ia bisa memilih untuk menutup mata dan telinga rapat-rapat, hanya mengingat bagian-bagian yang paling membahagiakan dari kencan pertamanya dengan Kavi kemarin, dan ia pasti akan terus tersenyum hari ini. Secara keseluruhan, kencan mereka terasa begitu ringan dan menyenangkan. Dari semua kencan yang pernah ia lalui bersama Kavi, kencan kemarin adalah yang paling sederhana, tetapi juga yang paling romantis.

Mereka menghabiskan hampir sepanjang hari bersama. Pagi-pagi sekali, Kavi sudah menunggu di parkiran apartemen dengan kemeja hitam yang lengannya digulung sampai siku dan celana jeans berwarna coklat muda. Ia terlihat begitu mempesona, bahkan terlalu mempesona. Di sisi lain, Tami merasa penampilannya tidak ada apa-apanya, hanya mengenakan kaus putih dan celana jeans longgar, seolah kecantikannya tak sebanding dengan pesona Kavi.

Percakapan mereka mengalir tanpa jeda di sepanjang perjalanan. Tami berkisah tentang rentetan wejangan Mia saat tahu hubungan mereka kembali terjalin, juga tentang Raina yang kandungannya semakin membesar menjelang hari persalinan, dan berbagai kabar terbaru dari lingkar pertemanan mereka.

Kavi pun menimpali dengan antusias. Ia menceritakan dinamika hubungannya dengan Lucas, kesibukannya di klinik dan rumah sakit, hingga akhirnya melontarkan sebuah pengakuan: keputusannya untuk menyusul Tami ke Jogja kala itu memang sudah ia rencanakan. Pengakuan itu sukses membuat Tami terperangah, yang sesaat kemudian disusul oleh tawa yang lepas. Ia tak pernah menduga jika upaya Kavi untuk merebut hatinya telah dimulai jauh sebelum ia menyadarinya. Tindakan impulsif yang begitu kontras dengan karakter Kavi yang biasa ia kenal itu, benar-benar menghangatkan hatinya dan membuatnya merasa begitu istimewa.

Dengan jemari saling bertaut, keduanya menyusuri jalan setapak di Kebun Raya. Mereka mengisi galeri ponsel dengan potret kebersamaan, menikmati dinginnya es krim dan jajanan lain yang menggugah selera. Mereka bahkan sempat membentangkan tikar di atas hamparan rumput, bertukar obrolan ringan sambil mengamati lalu-lalang pengunjung lainnya.

Kencan pertama mereka terasa begitu ringan dan nyaris sempurna.

Nyaris, seandainya Tami bisa sepenuhnya mengabaikan insiden-insiden kecil yang terjadi di sela-sela momen manis itu. Detail-detail janggal itu, meski sepele, terlanjur mengusik benaknya, membuatnya sulit untuk sekadar mengingat kembali semua hal indah yang baru saja mereka ciptakan bersama.

Sepanjang hari, di balik senyum dan tawa yang coba ia tampilkan, Tami menangkap gurat keresahan yang samar di mata Kavi. Lelaki itu juga beberapa kali kepergok melirik ponselnya. Ia tampak membalas pesan dengan atensi yang terbelah, seolah-olah menyimak cerita Tami, tetapi responnya hanya berupa "Iya," yang diakhiri tawa ganjil sebelum buru-buru menyelipkan kembali ponselnya ke saku.

Setidaknya dua kali, saat Tami beranjak ke toilet dan ketika mengantri es krim, ia melihat Kavi terlibat dalam percakapan telepon yang intens. Raut wajahnya menegang, dan meski tak mendengar suaranya, insting Tami berteriak bahwa di ujung telepon itu adalah Lisa.

Tami sudah berusaha keras menepis semua itu, memaksa dirinya untuk fokus pada kencan mereka. Ia merasa cukup mengerti dinamika hubungan Kavi dan Lisa, bahkan bisa menerka samar-samar apa yang menjadi sumber kegelisahan Kavi. Namun, pemahaman itu justru menjadi bumerang. Di sanalah percik cemburu itu mulai membakar.

Ia tidak hanya cemburu, tetapi juga iri pada Lisa. Iri karena Kavi memilih berbagi beban itu dengannya, bukan dengan Tami yang kini ada di sisinya. Rasa ingin tahu tentang apa yang sebenarnya terjadi di antara mereka begitu menyesakkan dada, membuatnya serba salah dan bingung harus merespons seperti apa.


Astrid melangkah masuk ke ruang cuci sambil menenteng keranjang pakaian kotor, lalu berdiri di samping Tami yang tampak larut dalam lamunannya.

“Mbak, kok melamun!” tegur Astrid seraya menepuk pelan bahu Tami. Niat awalnya adalah untuk meledek dengan ceria, menanyakan detail kencan kemarin yang ia lewatkan karena sudah terlelap saat Tami pulang. Namun, melihat raut muram di wajah Tami, Astrid lekas menelan kembali pertanyaannya.

“Ah,” Tami sedikit tersentak, disusul tawa canggung. “Nggak, kok.” Ia menggeser tubuhnya dengan kikuk, kembali menyibukkan diri memindahkan pakaian dari keranjang ke dalam mesin cuci. “Sini, sekalian,” tangannya terulur mengambil alih keranjang milik Astrid.


“Kalau Mbak mau cerita, aku siap dengar, lho,” tawar Astrid hati-hati sambil mendekat. Ia tidak ingin mendesak atau terkesan mencampuri, hanya ingin memastikan Tami tahu bahwa ada telinga yang siap sedia untuk mendengar ceritanya.

Setelah menutup pintu mesin cuci dan menekan tombol start, Tami menoleh pada Astrid, menimbang-nimbang dalam diam. Layakkah kegelisahan ini ia bagikan? Tapi apa salahnya kalau bertanya tanpa perlu menjelaskan terlalu rinci tentang latar belakang Kavi. Ia hanya ingin memastikan hatinya. Hanya ingin meminta pendapat tentang bagaimana seharusnya dia merespon keadaan yang mengganggu pikirannya ini. Setelah beberapa jenak, ia pun memutuskan untuk bercerita. Tanpa membongkar detail atau membuka rahasia Kavi, hanya memaparkan garis besar dari apa yang memberatkan hatinya.

“Hmm,” Astrid berdehem pelan, menyerap cerita Tami. “Aku bisa mengerti kalau Mbak bingung. Posisinya kalian baru balikan, dengan riwayat masalah di masa lalu yang sumbernya adalah kesalahpahaman dan kurangnya keterbukaan. Kalau aku di posisi Mbak, aku juga pasti ragu harus bertanya atau diem aja.”

Tami mengangguk berulang kali, seketika merasa lega. Perasaannya ternyata wajar, dan Astrid mampu memahami dilemanya dengan tepat.

“Tapi begini, Mbak,” lanjut Astrid, menyandarkan tubuhnya ke dinding. “Menurutku, dalam sebuah hubungan, kita memang nggak perlu tahu semuanya. Setiap orang tetap butuh ruang privasinya sendiri,” tuturnya dengan nada bijak. “Namun, batas privasi itu berlaku selama nggak ada pihak yang merasa terganggu. Kalau sudah sampai di tahap salah satu pihak resah karena nggak tahu apa-apa, itu bukan lagi soal privasi. Itu sudah masuk ke ranah ketidakterbukaan. Dan itu, menurutku, itu bibit masalah.”

Lihat selengkapnya