AS YEARS GO BY

Arisyifa Siregar
Chapter #24

24. Fatamorgana Kebahagiaan

Begitu memasuki pintu restoran, Tami bisa langsung menemukan Duna, yang sedang duduk di meja di samping jendela. Saat bergerak mendekat, ekspresi wajah Tami berubah khawatir. Duna yang saat ini menunduk dengan wajah tertutup rambut, kelihatan sesekali menyeka wajah dengan punggung tangannya. Jelas, sahabatnya ini sedang menangis diam-diam.

Duna mengangkat tatapannya ketika mendengar Tami menarik kursi di hadapannya. Langsung berpaling menghadap ke jendela, menyeka asal wajahnya dengan kedua tangan. Memastikan tak ada satu tetespun air mata yang membekas di pipinya. Kemudian berdehem dan menatap Tami sambil tersenyum. “Hai,” sapanya dengan mata yang jelas terlihat sembab.

“Lu kenapa?” tanya Tami khawatir.

Diperjalanan menuju restoran tadi, dia merasa sangat bersemangat karena akhirnya bisa meluruskan masalahnya dengan Duna, terbayang kalau mereka akan bisa kembali bercanda dan saling menggoda. Tak mengira akan melihat Duna dalam keadaan seperti ini. Keadaan yang jauh lebih buruk dari yang bisa ia bayangkan.

Tami sudah menahan selama berhari-hari untuk tak menanyakan langsung keadaan Duna di rumah sakit sebelum pertemuan mereka ini terjadi, sesekali bertanya lewat Tria, dan kakaknya itu menjawab, “Baik-baik aja,” atau “Udah lebih baik,” tanpa embel-embel emotikon atau keterangan tambahan yang membuat Tami bisa meneliti perasaannya.

Dan setelah melihat dengan mata kepalanya sendiri. Tami yakin, selama ini Tria pura-pura tegar. Karena keadaan Duna, jauh dari kata baik-baik saja, wajahnya pucat dan lesu, tatapannya sayu, dan tubuhnya kurus ringkih. Padahal hanya berselang beberapa hari setelah pertemuan terakhir mereka, tapi keadaan Duna teramat parah, sampai-sampai Tami bisa saja tak mengenalnya kalau-kalau mereka berpapasan di keramaian.

Tami bisa menebak betapa hancur perasaan Tria saat ini.

“Lu sebenernya kenapa, Dun?” tanya Tami prihatin.

Menggeleng, Duna memaksakan diri lagi untuk tersenyum. “Nggak apa-apa, kok.” Ia bersikeras. Padahal siapapun yang melihat bisa tahu kalau dirinya kelihatan kacau. “Selamat ya, katanya lu balikan sama Kavi.” Sambungnya tulus, berusaha kelihatan senang, namun tak punya energi untuk benar-benar menampilkan kebahagiaan di wajah suramnya.

“Em.” Angguk Tami, masih mengamati Duna yang kelihatan mengkhawatirkan. Ia ingin mendesak, bertanya tentang apa yang sebenarnya terjadi, kenapa Duna katanya mencoba bunuh diri, apa yang membuat keadaannya menjadi mirip mayat hidup begini. Tapi semua ditahan di ujung mulut, buru-buru ditelan bulat-bulat. Dia sudah bertekad, untuk menjadi pribadi yang lebih baik, yang tidak memaksa keingintahuan.

“Gue mau minta maaf.” Tuturnya kemudian. “Selama ini gue egois pengen tahu semua masalah lu dan Tria. Berpikir lu gak mau cerita ke gue karena gak cukup percaya sama gue.” Ia menarik nafasnya dalam-dalam. “Maafin gue yang kekanak-kanakan.”

Tak bisa menahan air matanya untuk tak kembali mengalir, Duna mengulurkan tangannya menggenggam tangan Tami di atas meja. “Enggak,” gelengnya. “Gue yang salah gak mikirin gimana perasaan lu, maafin gue.”

Tami membalas genggaman Duna sambil mengusap-usap punggung tangannya. “Mungkin kalau dulu gue gak mati-matian nentang perasaan lu sama Tria, lu bakal bisa terbuka sama gue.” Ia ikut menangis. Didera sesal yang memporak-porandakan perasaan. “Gue nyesel udah egois sama lu. Gue gak tau kalau beban yang lu tanggung segede itu.”

“Nggak, kok. Lu nggak salah apa-apa,” Tampik Duna.

Ia kemudian menceritakan secara terang-terangan apa yang dirinya alami selama ini, hal-hal traumatis yang masih membuatnya kesulitan berkata-kata itu, akhirnya ia sampaikan ke Tami. Ia menjelaskan alasan dia memutuskan untuk menikah dengan Tria, betapa beratnya hari demi hari dia lewati dengan ketergantungan obat penenang dan obat tidur, dan bagaimana hal-hal itu begitu mencekik hingga sulit diungkapkan ke siapapun.

Ia juga menjelaskan apa yang terjadi lima tahun lalu. Tentang dirinya yang sebenarnya tidak tahu perihal situasi Julian, Tria dan Kavi. Yang ia tahu hanya, saat di acara lamaran Raina, Tami kelihatan begitu frustasi, setelah menerima berita Kavi yang akan pergi kuliah di luar negeri. Oleh karenanya setelah beberapa waktu kemudian, dirinya yang tak sengaja bertemu Julian di dekat rumah, mendapati cowok itu tahu tanggal keberangkatan Kavi, sedangkan setelah ia memastikan, ia tahu hal itu luput dari pengetahuan Tami, ia merasa perlu memberitahu. Berharap itu tindakan yang benar sebagai seorang sahabat, tak punya niat lain selain itu, sama sekali tidak berpikir kalau hal yang ia lakukan justru menjadi pemicu yang membuat kandasnya hubungan Tami dan Kavi.

Ia teramat menyesal akan keputusannya itu, dan akhirnya memilih untuk tak pernah membahas hal itu lagi di hadapan Tami. Bukan karena dia sengaja, apalagi membantu Tria dan Julian menyembunyikan rincian kejadiannya. Dia bahkan baru tahu belakangan, setelah Tami mengamuk ke Tria malam itu.

Mendengar kisah Duna seutuhnya, Tami menunduk dalam. Wajahnya berderai air mata, tangannya yang gemetar menggenggam tangan Duna lebih erat.

“Maafin, maafin gue yang gak tau apa-apa dan malah marah sama lu.”

Kebalikan Tami, Duna yang akhirnya menceritakan semua rahasia yang ia pendam itu, malah kelihatan lebih tenang. Ia tersenyum tipis, menepuk-nepuk tangan Tami yang menggenggam tangannya. “Gue yang minta maaf, udah bikin lu kesel banget.”

“Nggak apa-apa,” Tami mengangkat wajahnya, kini ia dengan jelas bisa memahami posisi Duna, dan satu-satunya orang yang lebih banyak salah disini adalah dirinya.

Dia salah paham dengan Kavi dan Lisa, dia juga mencerca Tria, Duna dan Julian atas perbuatan mereka, padahal semua tindakan mereka semata-mata hanya karena mengkhawatirkan dirinya. Padahal semua orang bersikeras menyimpan rahasia karena terlalu menyakitkan untuk dibagi.

“Nggak usah merasa bersalah lagi ya mulai sekarang.” Ucapnya di sela tangis. “Fokus aja buat mesra-mesra sama Tria.” Tambahnya, menyunggingkan senyum jenaka diantara tarikan nafasnya yang masih tersendat-sendat.

Duna menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan. “Lu pulang dong, balik lagi tinggal ke rumah.”

Bibir Tami mengerucut tak setuju. Walau kenyataannya ia memang keluar dari rumah karena pertengkaran mereka, namun tinggal mandiri sebenarnya satu hal yang memang sudah lama diidamkannya. Lagi pula ia tidak ingin mengganggu Tria dan Duna di rumah itu. Tanpanya, pasutri ini pasti bisa lebih leluasa untuk bermesraan. Sambil melepas genggaman tangannya, lalu sibuk menghapus air mata yang membanjiri pipinya tadi. Tami menggeleng.

“Nggak, gue seneng bisa mandiri. Lagian gue berharap kalian jadi lebih nyaman kalau ga ada gue.”

Bukannya tersenyum, raut wajah Duna malah makin gelap dari sebelumnya, ia terdiam, lalu menundukkan kepalanya dalam, menatap ke ujung meja di hadapannya lalu menggigit bibirnya. “Gue bakal pisah sama Tria.” Ucapnya pelan.

Membelalak kaget, Tami ikut menundukkan kepalanya, mengintip ke wajah Duna dan memastikan ekspresinya saat mengatakan hal itu barusan. “Apaan? Lu bilang apa?”

Lihat selengkapnya