AS YEARS GO BY

Arisyifa Siregar
Chapter #25

25. Ketiadaan yang Tak Bisa Diterima

Tami meninggalkan kantor dengan wajah berseri, ia pamit ke semua orang yang ia lewati dengan sikap ramah yang cerah. Menunjukkan kalau weekend yang ada di depan mata adalah hal sudah ia idam-idamkan. Senyumnya terlihat ceria, gerak langkahnya ringan. Padahal dia termasuk dari orang-orang terakhir yang ada di kantor malam ini. Tapi gelagatnya seperti menunjukkan meskipun dia merindukan hari libur, dia juga teramat sangat menyukai kesibukannya di kantor dan tak keberatan menghabiskan waktunya disini.

Semuanya terlihat normal, ia bahkan menyapa satpam gedung ketika menyeberangi lobi. Menyempatkan diri untuk menatap langit yang sudah gelap tanpa bintang, sebelum masuk ke taksi online yang dipesan.

Tapi begitu masuk ke dalam taksi, keceriaannya luntur.

Auranya berubah seratus delapan puluh derajat.

Wajahnya dingin, tatapannya kosong, matanya terarah ke luar jendela mobil yang mulai bergerak menjauh dari area gedung, tapi tak benar-benar memandang kemanapun. Bahkan mungkin tak akan ada bedanya dengan terpejam, matanya hanya terbuka, tanpa benar-benar melihat apa-apa.

Sepanjang jalan, ia diam seribu bahasa, suara radio bervolume sedang yang disetel oleh supir taksi, tak mampu memecah keheningan yang mengigit. Telinganya seakan tak mendengar apapun, seakan dunia disekitarnya sunyi, hening, dan terdiam bersama pikirannya yang sudah terlalu lelah. Bibirnya rapat, matanya berkedip lambat. Langit malam ini, sama kosongnya dengan hatinya.

Sekitar satu setengah jam perjalanan, ia akhirnya sampai di tempat tujuan. Turun dari taksi sambil mengucap terima kasih dengan nada datar kepada supir taksi, Tami kemudian melangkah pelan ke depan ruko.

Di depan pintu, ia menundukkan sedikit kepalanya, menekan sandi di kunci pintu yang ia hafal diluar kepala. Lalu mendorong terbuka benda yang terbuat dari besi dan kaca, yang suaranya sudah semakin berderit karena jarang digerakkan itu.

Kakinya yang terasa berat, memasuki klinik yang gelap gulita. Sama seperti hari-hari lainnya, sepulang kerja ia menyempatkan mampir untuk mengecek keadaan dan memastikan apakah harapannya sudah menjadi kenyataan. Tapi pada akhirnya terus menerus dipaksa sadar kalau semua keadaan masih sama seperti saat ia tinggalkan. Orang yang ditunggu, masih tak kunjung datang.

Ia menyalakan lampu sambil menyebarkan pandangan ke sekeliling. Dingin dan hampa menyeruak ke sanubari. Bau debu dan lembab sudah kembali menyebar di penjuru ruangan dan mulai menusuk hidung, padahal terbilang belum lama ini baru susah payah ia bersihkan setiap sudut klinik agar tak cepat muncul jamur di mana-mana.

Dalam kesunyian, ia melepas jaket dan menyampirkan di bahu sofa. Gerakannya hampir seperti otomatis, karena dilakukan berulang-ulang tiap kedatangan. Seperti biasa, ia langsung berjalan ke pantry, mengambil vacuum cleaner di pojok ruangan di samping lemari penyimpanan. Lalu sambil melamun, tangannya menekan tombol on di mesin itu, dengan mata menerawang, mulai mengelilingi tiap bagian ruangan, membersihkan debu yang kelihatan.

Sesekali ia berhenti, menghela nafas berat dan menyeka keringatnya yang mengalir di dahi. Tapi jeda itu tak terlalu lama, ia kembali bergerak membersihkan setiap sudut yang bisa terlihat, dalam diam, dalam senyap. Tak ada suara selain suara dari penyedot debu di tangannya.

Setelah merasa lantai satu sudah lebih bersih, Tami mengangkut vacuum cleaner naik ke lantai dua. Seiring langkah membawanya ke tangga teratas, makin berat dalam hati ia rasa. Dan setiap akhirnya ia sampai di depan kamar, saat tangannya yang mendadak dingin membuka pintu, ia langsung merasakan sesuatu dalam dadanya. Seperti batu besar mengganjal. Berat, sesak.

Tangannya yang kini mulai gemetar menggenggam gagang vacuum cleaner lebih erat. Rahangnya mengatup lebih rapat, tatapannya diperkuat, seolah sedang menantang ruangan kosong dihadapannnya dan mendeklarasikan kalau dirinya tak akan melemah.

Ia bergerak masuk, dan mulai membersihkan lantai kamar. Kali ini sambil mencoba untuk sedikit bersenandung, demi mengisi sepi yang terasa begitu dingin dan tak bersahabat. Tak tahu lagu apa yang dinyanyikan, pikirannya yang kosong membuat mulutnya bergumam dengan nada sembarang, sembari terus bergerak maju, ke kanan kiri, menyedot semua debu yang terlihat.

Namun ketika sampai di depan ranjang, kakinya berhenti, mendadak tak bisa digerakkan, air matanya mulai menetes. Dan genggaman tangannya makin lemah.

Ia lelah pura-pura baik-baik saja.

Ia kesulitan menanggung perasaan ini sendirian.

Setelah memandang ranjang, tenaganya yang sudah terkuras karena memaksa dirinya bekerja terlalu keras, langsung benar-benar menguap di udara. Dengan kakinya yang mulai lunglai, ia merambat, lalu duduk dipinggir kasur. Matanya menatap nanar ke sekeliling, tangannya tanpa sadar masih bertahan memegang vacuum cleaner yang menyala.

Kejadian di kamar ini terasa seperti baru kemarin, bagaimana Kavi mengungkapkan perasaannya, bagaimana mereka bercumbu hingga akhirnya ketiduran bersama, bagaimana akhirnya ia merasakan cinta tak bertepuk sebelah tangan untuk pertama kalinya. Semua ingatan itu, yang awalnya masih segar, kini perlahan namun pasti, pudar dan menjauh.

Kadang ia sulit mengingat ucapan Kavi saat menyatakan cinta, kadang ia ragu bagaimana cara Kavi memeluknya. Makin hari ia makin takut, bagaimana kalau dia akhirnya tak bisa mengingat setiap rinci kejadian itu? Bagaimana kalau ia sudah tak lagi merasa bahagia saat mengenang momen itu?

Pahit muncul di dalam mulutnya, dengan cepat menjalar ke seluruh tubuh. Sisa-sisa kenangan yang muncul dalam ingatannya menjelma menjadi racun yang menjerat batin. Pelan-pelan kehilangan keindahan itu dan berubah menjadi mimpi buruk.

Satu hari,

Dua minggu,

Tiga bulan,

Lima bulan sudah berlalu, sejak kepergian Kavi mencari orang tuanya.

Kavi memang sudah menjelaskan kalau dia kemungkinan akan sulit dihubungi, tapi Tami tak pernah menyangka pria itu malah seakan ‘menghilang’ dari permukaan bumi.

Lihat selengkapnya