AS YEARS GO BY

Arisyifa Siregar
Chapter #26

26. Pria yang Menemani

“Tami?” Julian sedikit menunduk untuk mengintip ke wajah gadis bertopi biru yang mengantri di depannya.

Meski sudah lama tak di dengar, Tami masih familiar dengan suara yang memanggil namanya dengan cara khas itu. Ia menengok dan tersenyum. Sekilas menangkap ekspresi pertama Julian saat melihatnya, kekhawatiran dan iba.

Dan memang begitu keadaannya, beberapa bulan tak bertemu karena dirinya sibuk berkeliling indonesia untuk healing dari patah hatinya, tak lama ia malah mendapat kabar yang kurang mengenakkan dari Tria tentang Tami.

Sekarang setelah melihat langsung, ia menyaksikan sendiri bagaimana perbedaan penampilan dari waktu terakhir kali mereka bertemu. Wajahnya tirus, lesu, dan ada lingkaran hitam di sekitar matanya. Tubuhnya kelihatan sangat kurus, penampilannya pun berantakan. Gadis ini sekarang bahkan hanya mengenakan sweater bertudung warna hitam, juga celana jeans belel selutut, juga sandal jepit yang kelihatan sudah tipis dan talinya hampir putus. 

“Mau nonton juga?” tanya Julian basa-basi, padahal jelas mereka sedang mengantri di loket tiket bioskop.

“Em,” Angguk Tami lalu menoleh ke belakang Julian. “Sendirian?” tanyanya karena melihat di belakang Julian hanya ada beberapa remaja berseragam SMA yang sedang asik mengobrol.

Julian menangguk, hendak menanyakan kabar namun giliran Tami membeli tiket sudah tiba. Gadis itu maju dan memesan satu tiket film horor, lalu langsung pamit dan berjalan ke arah studio tempat filmnya diputar. Julian menunggu Tami agak jauh, sebelum akhirnya melakukan pemesanan untuk film yang sama dengan tempat duduk tepat di sebelah Tami.

Mendapati Julian muncul dan duduk di sampingnya, Tami sedikit terkejut namun sudah menduga. Dari cara Julian menatapnya tadi, ia tahu pria ini akan berinisiatif menemaninya. Ketimbang protes, Tami lebih merasa bersyukur, setelah apa yang ia lakukan, Julian tetap menjadi orang baik seperti dirinya yang selalu Tami kenal. Menonton bersebelahan dengan pertemuan yang tidak direncanakan, sepertinya tak akan membuat salah paham apapun antara mereka. Jadi dia memilih diam dan menikmati film yang diputar.

Di sampingnya, Julian sesekali melirik, tidak, ia melirik terus menerus, tak bisa menikmati jalannya cerita di film karena horor bukanlah genre kesukaannya. Lebih tertarik memperhatikan Tami yang kelihatan lebih pendiam dan minim ekspresi.

Menghela nafas diam-diam karena rasa kesal dan sesal yang muncul di benaknya. Mulai berandai-andai jika saja ia lebih berusaha, jika dia tidak melepaskannya, maka Tami tak akan kesusahan seperti sekarang.

Kavi, si brengsek itu, umpatnya dalam hati. Bagaimana bisa meninggalkan Tami setelah baru beberapa waktu mereka balikan. Ia pura-pura tak tahu selama ini, padahal sudah banyak mendengar cerita dari Tria. Karena bagaimanapun dirinya sudah pernah ditolak, kalau mendekati Tami, sekalipun hanya untuk menghibur, ia takut dimata Tami dirinya seperti sedang merayu. Karena itu selama ini dia bertahan dalam diam, tapi ketika Duna memintanya untuk datang ke bioskop ini hari ini, agar bertemu Tami. Agar bisa mengalihkan perhatian Tami. Ia merasa tak ada alasan untuk menolak permintaan itu.

Ia memang sudah teramat merindukan Tami. Dan mungkin sudah waktunya ia menunjukkan perhatiannya lagi.

Film diakhiri dengan riuh tepuk tangan penonton. Julian yang semula sedang pura-pura ikut tepuk tangan, bergegas bangun begitu menyadari Tami beranjak meninggalkan studio. Ia mengekor sambil menjaga jarak. Memperhatikan Tami dari belakang, ragu-ragu ingin memanggil namanya.

Merasa diikuti, Tami menoleh, ia mendapati Julian terkesiap karena ketahuan membuntuti. Dengan ekspresi datarnya yang makin suram karena dilingkupi bayangan dari topinya, Tami memanggil Julian. Pria itu jelas langsung tersenyum dan mendekat.

“Mau makan?” tanya Tami.

Kedua alis Julian terhentak berbarengan, ia melirik ke jam di tangannya yang baru menunjukkan pukul tiga sore. Tak yakin makan siang atau makan malam yang sebenarnya Tami maksud. Tapi tanpa bertanya dan berpikir panjang, ia segera mengangguk dan berjalan di sebelah Tami. Gadis ini benar-benar kelihatan jauh lebih pendiam dari dirinya yang biasa. Sepanjang jalan berdampingan pun tak ada satu katapun yang keluar dari mulutnya.

Mereka duduk di food court yang cukup ramai. Tami memesan spaghetti carbonara sementara Julian yang belum merasa lapar memilih kentang goreng untuk disantap sembari terus memperhatikan Tami.

“Tanya aja,” ucap Tamj tiba-tiba, sadar kalau Julian terus menerus menatap wajahnya. “Aku tahu Kak Julian mau nanya sesuatu, tanya aja.”

“Ah,” Julian berdehem. “Dia belum pulang?” lontarnya ragu-ragu, tak ingin kelihatan ikut campur tapi juga tak bisa basa-basi.

Tangan Tami yang menggenggam garpu, berhenti memutar spaghetti, ia melirik Julian yang sekarang kelihatan bersalah setelah menanyakan hal barusan. Bukannya marah, Tami malah tersenyum. Ia menggeleng kepala lalu masukkan spaghetti ke dalam mulutnya.

Melihat Tami yang berusaha kelihatan tabah, Julian tak bisa menahan rasa kesalnya lagi. “Bisa gak kamu lupain aja dia?” Kedua tangannya mengepal di atas meja. “Dia udah pergi berbulan-bulan tanpa kabar, bukannya harusnya berarti kalian udah putus?” 

Meletakkan garpunya di piring, Tami menyunggingkan senyum sebelah. “Iya kan? Seharusnya putus kan?” Ia menyeringai sambil melihat ke langit-langit. “Iya harusnya udah putus.” Ia menjawab pertanyaannya sendiri, lalu kembali menatap Julian. “Baiknya diputusin aja kan? Gak peduli dia tahu apa nggak, itu masalah dia, aku berhak mutusin dia.”

Rahang Julian hampir jatuh, respon Tami membuatnya terperangah, dan tak bisa berkata-kata.

Matanya yang merah dan basah, ekspresinya mirip seperti orang menahan sakit, sama sekali tak sinkron dengan senyum lebar yang dibuat di bibirnya dan nada suara santai yang keluar dari mulutnya.

Kini Julian paham apa yang Tria maksud dengan adiknya kelihatan kurang waras setelah kepergian Kavi. Semula ia tak punya gambaran yang Tria ceritakan, namun setelah barusan melihat dengan mata kepalanya sendiri, ia mengerti kenapa Tria mendadak mendesaknya untuk mendekati adiknya lagi. Sahabatnya itu bahkan tak peduli jika dibilang tak tahu malu. Ia bilang ia lebih peduli dengan kebahagiaan adiknya meskipun harus memanfaatkan Julian.

Menghentikan santap pertamanya di hari ini, Tami mengambil tasnya di atas meja dan menyampirkan talinya ke bahu sambil bangkit dari tempat duduk. “Aku duluan ya, Kak.” Pamitnya meninggalkan Julian yang membeku di tempat.

Pria itu hampir mengulurkan tangannya untuk menahan dan hampir menyerukan panggilan, tapi ia merasa bersalah. Kata-katanya yang terlalu frontal barusan, membuat Tami langsung pergi dan tak menghabiskan makanannya.

“Bodoh banget sih lu!” Celanya pada diri sendiri. “Harusnya pelan-pelan ngomongnya!”

Lihat selengkapnya