Julian mengatakan yang sebenarnya. Begitu sampai di lokasi glamping, Tami menyaksikan kalau kamar mereka memang terpisah dan bersebelahan. Padahal sepertinya satu ruangan bisa dipakai sampai empat orang, tapi Julian tetap memesan dua kamar.
Begitu menaruh barang-barangnya, Tami keluar kamar. Di depan pintu ia menatap ke sandalnya, barang ini lagi-lagi menguji kesabarannya, tali belakangnya lagi-lagi lepas dan harus dimasukkan ke dalam tempatnya. Dan saat ini ia terlalu enggan untuk berjongkok, lalu merapikan tali itu untuk kesekian kalinya dalam beberapa jam terakhir, jadi dia langsung memakai sandal itu dan menyambangi Julian yang sedang berjongkok di depan sebuah kolam ikan.
“Wah gede-gede ikannya!” seru Tami.
Julian mengangguk setuju, ia sejak tadi sedang berpikir kalau bisa ditangkap kira-kira akan dimasak apa enaknya ikan-ikan ini. Lalu matanya beralih ke kaki Tami dan melihat tali sandalnya yang menjuntai mengenai tanah.
“Talinya lepas,” ucapnya, menggeser tubuhnya menghadap ke Tami.
“Oh, iya ini…” Tami berhenti bicara, karena Julian tanpa mengatakan apapun, tangan Julian langsung terulur dan membantu memasangkan tali sandalnya.
“Udah,” tuturnya kemudian, lalu mendongak. “Kamu udah laper belum?”
“Em.” Angguk Tami.
Julian kemudian bangkit. “Ayo ke resto, aku cari-cari kayaknya mereka punya masakan fusion yang best seller.”
Tami kembali mengangguk, setelah dia bergerak melangkah, barulah Julian ikut bergerak disampingnya. Pria ini tak pernah melangkah didepannya, jika bukan di samping, dia akan berada di belakang, seolah memastikan Tami selalu dalam keadaan aman dan tak pernah luput dari penjagaan.
Sesekali ia bergerak mendahului, bukan untuk meninggalkan, tapi bergegas melakukan sesuatu untuk Tami, seperti yang sedang ia lakukan sekarang, menyambangi meja kosong, dan menarik kursinya untuk mempersilahkan Tami duduk.
“Makasih, Kak,” ucap Tami sambil duduk. “Menurut Kakak aku harus mesen makanan apa?”
“Hm!” Gumam Julian sambil duduk, kelihatan berpikir keras ketika membolak-balik halaman buku menu.”
Tami menunggu dengan sabar, saat bersama Julian, dirinya yang selalu kebingungan memilih menu makanan tiap mendatangi restoran baru, dengan tenang akan mengikuti rekomendasi Julian untuknya.
“Gimana kalau kebab rendang?” Usul Julian kemudian.
“Em!” Tami langsung mengangguk setuju, puas dengan pilihan Julian.
Julian benar-benar memperlakukan Tami selayaknya ratu. Selama hari pertama liburan mereka, ia selalu memastikan kebutuhan Tami terpenuhi, bahkan disaat Tami sendiri tak sadar kalau ia perlu.
Seperti dirinya yang tak tahu kalau ia butuh jaket tebal untuk dikenakan, karena kondisi kawasan glamping yang ternyata cukup dingin di malam hari, sampai Julian memakaikannya jaket yang entah bagaimana ukurannya pas di tubuhnya padahal tubuh Julian jauh lebih besar. Seperti dirinya yang tak tahu kalau dia sedang ingin minuman manis sebagai penutup sarapannya, sampai Julian memberikannya segelas susu kedelai hangat. Juga ketika dirinya yang tak pernah tahu kalau dia lebih suka bunga warna merah ketimbang ungu atau pink, sampai Julian mengumpulkan semua bunga warna merah cerah saat mereka sedang berkegiatan memetik bunga, menyatukannya dalam satu ikatan besar, dan memberikan padanya, ketika dirinya sendiri sedang memegang bunga dengan warna-warni asal yang dipetiknya tanpa berpikir.
Dan begitu banyak hal lainnya, yang membuat Tami tertegun. Julian, seperti orang yang tahu segala yang baik untuk Tami, di saat Tami malah hampir tak pernah memperhatikan dirinya sendiri sampai sebegitunya.
Sekarang, saat mereka sedang duduk bersebelahan di depan kamar, di bangku lipat kecil sambil memandang ke arah kolam renang dimana banyak anak-anak sedang bermain dan tertawa riang, Julian tiba-tiba saja kembali ke dalam kamarnya, lalu keluar lagi dengan membawa selimut. Ia berjongkok di hadapan Tami yang menatapnya bingung, lalu memasang selimut itu menutupi kaki Tami yang kemungkinan merasa dingin karena hanya menggunakan celana pendek.
“Kak Julian,” panggil Tami pelan.
“Hm?” sahut Julian sambil merapikan ujung selimut di kaki Tami agar tak jatuh ke tanah.
“Kakak masih suka sama aku?”
Tangan Julian berhenti bergerak, jantungnya seperti jatuh ke tengah perut. Selama sepersekian detik ia terdiam, lalu perlahan tatapannya diangkat, hingga akhirnya bertemu dengan mata Tami. Ia berkedip lambat, ragu untuk menjawab.
Namun jika Tami sampai bertanya begini, itu berarti dia sudah menangkap sesuatu. Dan jika Tami menangkap sesuatu, itu berarti dirinya sudah gagal menyembunyikan perasaan dan keinginannya yang ia tekan kuat-kuat. Jadi pilihan yang ada sekarang hanya maju terus atau berbohong dan menyerah. Dan dirinya yang masih tak bisa menyingkirkan perasaan sukanya pada Tami ini, tak akan memilih untuk mundur tanpa berjuang.
“Em.” Angguknya, lalu mendongak dengan lebih percaya diri. “Aku suka sama kamu.” Sahutnya, masih sambil berjongkok. “Tapi aku nggak ngarepin apa-apa, dan aku ngehargain semua kemauan kamu. Jadi kalau kamu minta aku menjauh, aku bakal menjauh, tapi kalau kamu mau kasih aku kesempatan, aku janji gak akan ngecewain kamu.”