Julian keluar dari dapur sambil melepas celemeknya dan tersenyum simpul. Barusan dia sudah memastikan kalau semua makanan yang akan disediakan di meja Tami lengkap dan sempurna penampilan juga rasanya. Kini sudah waktunya untuk menemani Tami mengobrol dengan rekan-rekan kantornya, sekalian memperkenalkan diri secara lebih formal. Tapi begitu sampai di meja Tami, senyumnya menguap, menyisakan semburat ekspresi heran campur kaget karena Tami tak ada di mana pun dalam jangkauan pandangnya.
“Maaf, Tami kemana?” tanyanya ke Mia, satu-satunya wajah yang paling familiar baginya.
“Katanya keluar sebentar. Nggak tahu kemana,” Mia mengedikkan bahu.
“Hmm?” gumam Julian, sambil ponselnya dari dalam saku celana. Langsung menelepon Tami sambil bergerak ke arah pintu restoran “Kamu dimana? Makanannya udah siap.”
Sayup-sayup terdengar suara bising kendaraan bermotor dari sisi Tami, mata Julian memicing. “Kamu dimana?” ulangnya, bergegas keluar restoran.
Tami tertegun, bibirnya terasa terkunci. Pertanyaan mudah dari Julian tak mampu ia jawab karena otaknya mendadak kosong. Fokusnya kini tertuju pada sosok yang berdiri beberapa meter di depannya, seseorang yang sangat ia kenali namun dengan penampilan yang terlihat asing. Ia mengenakan jaket bertudung dengan celana jeans gombrong, juga topi kupluk yang tak lazim di mata tami.
“Tami…” Kavi mencoba mendekat, melangkah perlahan.
Tami refleks mundur. Wajahnya langsung tegang, matanya memancarkan rasa tidak suka. Ia menyilangkan tubuhnya, bersiap untuk menghindar jika Kavi melangkah lebih jauh.
Kavi menghentikan langkahnya. “Aku…” gumamnya, suaranya terdengar ragu.
“TAMI!” sebuah suara lantang memanggil dari kejauhan.
Tami menoleh cepat, mengenali suara itu. Kavi ikut menoleh ke sumber suara, dan saat melihat Julian, dahinya berkerut penuh tanda tanya.
“Tam,” panggil Kavi, mendekat lagi, menatap Tami penuh harap.
Namun, Tami tak memberinya kesempatan. Gadis itu langsung berbalik dan bergegas kembali ke restoran. Wajahnya memucat, langkahnya tergesa, seolah Kavi adalah mimpi buruk yang harus ia hindari. Sesuatu yang tak pernah dinanti kedatangannya, ataupun disyukuri keberadaannya.
Di depan restoran, Julian berdiri menunggu Tami tiba dihadapannya. Geraknya yang tergesa, wajahnya yang kehilangan rona merah, dan matanya yang gentar. Membuat hati Julian terasa diremat. “Kamu nggak apa-apa?” tanyanya sambil merangkul tubuh Tami, kulitnya terasa dingin.
“Nggak,” Tami membalas rangkulan Julian dengan merengkuh pinggang pria itu.
Sambil membimbing Tami masuk ke restoran, Julian menoleh ke arah jalan. Melemparkan lirikan tajam ke Kavi yang kelihatan bergerak makin dekat. Terang-terangan menunjukkan ketidaksenangan dan peringatan.
“Kamu makan dulu,” bisiknya kemudian ke Tami. “Nanti kita ngobrol lagi.” Ia mengusap punggung Tami beberapa kali sebelum melepaskan rangkulannya, dan mempersilahkan Tami duduk di kursinya lagi.
“Kenapa?” tanya Mia ke Tami, tapi gadis itu tak menjawab. Tatapannya kosong ke permukaan meja di hadapannya.
Di sebelahnya, Astrid menepuk-nepuk paha Mia yang ada di bawah meja. Dan saat Mia menoleh, ia menggedikkan kepalanya ke arah dinding kaca restoran. Melihat ke arah yang Astrid maksud, mata Mia langsung membuat kaget, ia kemudian melotot ke Astrid yang menanggapinya dengan anggukan tak kentara. Tanpa kata-kata pun, mereka bisa tahu isi pikiran masing-masing. Keduanya melihat Kavi saat ini sedang berdiri di depan restoran. Dan jelas sudah kenapa tadi gelagat Julian kelihatan seperti sedang memberikan perlindungan dan perhatian yang sedikit lebih kentara ke Tami, dan tentu, itu juga alasan kenapa Tami sekarang kehilangan fokusnya.
“Makan yang banyak, Mbak!” Astrid menyodorkan piring salad ke hadapan Tami.
“Ah, iya, makasih!” gumam Tami sambil berusaha menyantap makanan, meskipun sama telah kehilangan selera sama sekali. Posisi duduknya terlalu tegak, lehernya terlalu tegang, karena meskipun tak ada mata di belakang kepalanya, dia tahu saat ini tatapan Kavi sedang menusuk ke arahnya.
Di depan restoran, Kavi berdiri terdiam. Rahangnya mengejang, otot lehernya timbul, sementara telapak tangannya mengepal kencang di samping badan.
Ia tak menyangka, pertama kali menyambangi Tami yang ia dapatkan justru penolakan keras. Dan seakan itu masih jauh dari cukup untuk membuatnya terkejut. Dia dengan mata kepalanya sendiri harus melihat Tami dan Julian saling merangkul dengan jarak tubuh yang hampir tak ada.
Ingin rasanya ia menerobos masuk ke dalam restoran dan meminta penjelasannya.