AS YEARS GO BY

Arisyifa Siregar
Chapter #29

29. Keputusan Sepihak

Bel berbunyi beberapa kali tapi Astrid tak kunjung membuka pintu.

Tami coba memanggilnya lagi, selain karena dirinya sedang sibuk mengeluarkan baju dari mesin cuci, juga karena tak ingin membuka pintu sendiri. Takut orang yang ada dibalik pintu itu adalah Kavi.

Sayangnya gadis itu tak merespon panggilan, sepertinya ia sedang pergi entah kemana. Karena kalau ada di apartemen, biarpun sedang tidur, Astrid pasti menyahut. Tami ingin bertahan dalam diam, tapi bel pintu berbunyi makin nyaring, makin cepat, seolah orang yang ada diluar sedang mendesaknya untuk buru-buru membuka pintu. Jadi sambil menyiapkan mental dan hati, Tami keluar dari ruang cuci dan mendekat ke daun pintu. Tangannya bergerak ragu, menekan kenop pintu dengan detak jantung mulai berpacu, lalu menariknya sedikit, hanya beberapa sentimeter, sambil menyelipkan pandangannya dari celah pintu.

Surprise!!!” Seru Raina dan Duna, membuat senyum Tami seketika merekah.

“Aaaaa!” Pekiknya langsung membuka pintu lebar. Segera memeluk dua sahabatnya yang sudah lama tak ia temui. “Ayo, ayo masuk!” Matanya tertuju pada banyaknya kantong belanjaan yang dibawa oleh mereka ketika lewat di hadapan. “Duduk, gue bikinin minum dulu ya!” 

“Eh nggak usah!” Cegah Raina, “Kita tamu mandiri jadi udah bawa semua makan dan minumannya!” Ia mengangkat kedua tas belanja yang ada di tangannya lalu duduk di sofa.

“Udah jangan kemana-mana, sini tiup lilin aja!” Ajak Duna sambil membuka sekotak kue tart buah di atas meja. Perutnya sudah kelihatan mulai membuncit.

Bibir Tami mengerucut, “Kue buat siapa?” Tanyanya sambil mendekat heran.

Mengangkat pandangannya dari piring kertas dan sendok plastik yang sedang ia tata di atas meja, Duna melemparkan tatapan kaget ke Raina lalu ke Tami. “Ulang tahun lu.” Jawabnya kemudian.

Tami tercengang, hari ini ia sama sekali belum mengecek ponsel, jangan-jangan Julian juga sudah menelepon atau mengirim pesan ucapan tapi ia tak tahu. Pantas saja Raina dan Duna datang tiba-tiba. Ia lupa kalau tahun lalu di acara ulang tahun Raina mereka berjanji untuk datang ke apartemen untuk merayakan ulang tahun Tami yang ke dua puluh sembilan ini bertiga.

Sejujurnya ia tak tahu tanggal berapa dan hari apa ini. Setiap hari kerja ia hanya mengecek jadwal di hari berjalan untuk tahu ada meeting atau pekerjaan yang dilakukan hari itu. Sejak menunggu Kavi ia membiasakan diri untuk tak menghitung hari atau memperhatikan tanggal. Sampai-sampai menjadi kebiasaan dan pada akhirnya sekarang malah melupakan hari ulang tahunnya sendiri.

“Duh udah tua, gak usah dirayain!” Canda Tami sambil ikut duduk di sofa.

Duna dan Raina menggeleng berbarengan. “Harus!” Seru mereka juga berbarengan seperti anak kembar yang terikat pikirannya. Membuat mereka bertiga tiba-tiba tertawa geli.

“Perlu dinyanyiin juga gak nih?” Goda Duna.

Tami langsung mengernyit geli dan meniup lilin yang Duna nyalakan di atas kuenya tadi. “Gue laper,” katanya sambil mengambil pisau dan mulai memotong kue. “Mending langsung kita makan.” Tambahnya lalu menyerahkan potongan pertama ke Raina.

Melihat Raina menjadi penerima pertama Duna cemberut, “Kok Raina duluan?” Protesnya pura-pura kecewa.

“Soalnya lu kebanyakan ninggalin gue!” Balas Tami sambil memberikan potongan kue ke dua ke Duna.

Duna tak bisa mendebat, karena memang selama bersahabat ini tak terhitung sudah berapa kali dan berapa lama dia tak ada di sisi Tami. Ia pun nyengir kuda dan mulai menyantap buah-buahan di atas kuenya.

“Astrid kemana?” Tanya Raina sambil celingukan. 

“Nggak tau.” Jawab Tami sambil mengedikkan bahu sambil menjilat sendok kuenya. “Gue juga dari tadi nyariin.” Ia kemudian menatap Raina balik, “Anak lu gak dibawa?”

“Sama Yiran,” Riana menyuap sepotong besar. “Paling anteng kalo sama Papanya ketimbang sama gue.” Keluhnya, di lain waktu memang pernah bercerita bagaimana anak perempuannya itu mengambil alih Yiran darinya.

Tami beralih ke Duna, “Lu nggak sama Tria? Gak ngomel dia?”

Mendenguskan tawa dengan wajah merona. “Gak usah ditanya!” sahut Duna singkat, menyembunyikan fakta bahwa ia perlu merayu Tria habis-habisan agar boleh pergi dengan Raina ke apartemen Tami tanpa ditemani. “Lu tau sendiri kan sebawel apa dia!” Ungkapnya malu-malu.

Bisa membayangkan bagaimana ekspresi Tria saat melepas Duna pergi tanpa dirinya, Raina dan Tami tertawa geli.

“Lu sendiri?” Celetuk Raina ke Tami. “Gue denger Kavi udah balik?”

Duna berhenti mengunyah kuenya, Tami langsung meletakkan piringnya di atas meja. Ruangan mendadak hening selama beberapa saat, sampai terdengar helaan nafas keras dari Tami.

“Dia sempet dateng.” Ucapnya berat. “Gue usir. Gue gak mau denger alesan dia.”

Menelan kue yang ada di mulutnya lalu langsung membuka salah satu botol air mineral dan menenggaknya, Duna kebingungan menanggapi cerita Tami barusan. Sama seperti Tami yang berusaha untuk tak pernah ikut campur terhadap hubungan Duna dan Tria, riwayat kisah mereka juga membuat Duna selalu berhati-hati dan memilih diam kalau nama Kavi disebut di depan Tami.

“Lu sendiri gimana?” Tanya Raina kemudian.

Dalam diam Duna benar-benar bersyukur ada Raina, sebagai mantan pacar Kavi dan orang yang mendukung hubungan Kavi dan Tami dia satu-satunya orang yang bisa ikut campur secara mendalam ke kisah Tami yang ini.

Lihat selengkapnya