AS YEARS GO BY

Arisyifa Siregar
Chapter #30

30. Hati yang Digadai

Tami menyambut tangan Julian yang sudah terulur minta digenggam. Pria itu entah sudah berdiri berapa lama di depan mobilnya di parkiran, karena Tami telat melihat ponsel, jadi telat tahu kalau Julian sudah mengabari sampai. Tapi pria ini tak pernah menunjukkan sedikitpun kekesalan, tak peduli berapa lama Tami baru muncul di hadapannya.

“Kemana kita hari ini?” tanya Tami dengan senyum tipis dan tatapan mata cerah.

“Mmmm,” Julian pura-pura berpikir keras, padahal sudah jauh-jauh hari dia mempersiapkan tujuan. “Kemana ya?” guraunya, tahu Tami tak sabar menunggu jawaban keluar dari mulutnya.

“Ish!” Tami merajuk, melepaskan genggaman tangan Julian.

Terkekeh gemas, Julian buru-buru menggenggam tangan Tami lagi. “Aku punya sesuatu buat kamu, bentar,” ia memindahkan tangan Tami yang digenggamnya, dari kanan ke kiri, lalu merogoh saku celana jeansnya dan mengeluarkan sebuah kotak kecil.

“Happy birthday, Love!” ucapnya sambil menyerahkan kotak itu ke Tami.

Tami terdiam, menatap ragu. Tak bisa menyembunyikan ketakutannya di wajahnya, karena menduga di dalam kotak itu ada sebuah cincin.

Bagaimanapun juga Julian sudah menginjak usia tiga puluh lima tahun, dan dirinya sendiri tahun depan sudah memasuki kepala tiga. Bukan hal yang aneh jika tiba-tiba saja Julian melamar, meskipun hubungan mereka masih seumur jagung. Tapi tetap saja, ia tak siap. Ia tak tahu harus bagaimana merespon kalau di dalam kotak itu benar-benar cincin lamaran.

Memperhatikan semburat kekhawatiran di wajah Tami, Julian tersenyum tipis. “Tenang aja,” ia melepas genggaman tangannya. Lalu membuka kotak itu dengan kedua tangan, “Aku nggak bakal tiba-tiba ngelamar tanpa izin kamu.” Ia lalu memutar posisi kotak, membuat bagiannya yang terbuka menghadap ke Tami.

Ternyata yang ada di dalam kotak adalah kalung berwarna rose gold dengan liontin berbentuk bunga kecil. Julian langsung mengeluarkan kalung itu dengan tangan kanan, sementara tangan kirinya memasukkan lagi kotak gelangnya ke saku celana. Lalu bergerak lebih dekat beberapa sentimeter, menatap leher Tami dan memasang kalung itu dengan satu gerakan lembut yang gesit.

“Makasih, Kak.” Ucap Tami tulus sambil memegang liontin kalung. Merasa lega dan bersalah diwaktu bersamaan.

Julian memang tak pernah gagal dalam memahaminya, bahkan lebih dari ia memahami dirinya sendiri. Dan ternyata sama seperti ketika dia meminta izin untuk mengejar Tami sebagai pacar, pria ini ternyata juga sudah berpikir kalau dia akan butuh izin, sebelum memutuskan untuk membawa hubungan mereka ke jenjang yang lebih serius.

Julian mengangguk, ia mengulurkan tangannya dan merengkuh bahu Tami. Memeluknya erat-erat.

Gadis ini, tak peduli seberapa lama Julian telah mengenalnya, tak peduli berapa sering mereka bertemu, dan berapa hari yang sudah berlalu sejak mereka menjadi sepasang kekasih, dia selalu membuat jantung Julian dengan irama yang penuh lonjakan semangat. Selalu membuatnya merasa kalau saat-saat bersamanya adalah saat paling membahagiakan dalam hidupnya. Membuatnya merasa orang paling beruntung sedunia.

Meski ia juga tahu, kekhawatiran yang terpancar di mata Tami tadi, saat takut kalau yang ada di dalam kotak adalah cincin lamaran, bukan semata-mata karena dirinya belum siap menikah, tapi juga bentuk dari keraguan perasaan yang masih tertaut pada sosok Kavi. Akan tetapi, meski memang benar begitu adanya, Julian menerima dengan lapang dada. Apapun itu, bagaimana pun keputusan Tami nanti, ia tak ingin terlalu memikirkannya hingga menyia-nyiakan waktu yang sedang berlangsung saat ini.

Baginya, sesempit dan sesingkat apapun, kebersamaannya dengan Tami, harus dinikmati dan dihargai. Entah apa yang terjadi nanti atau besok, yang penting saat ini Tami ada di sisinya.

***

Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, saat Tami memasuki apartemen.

Ia menoleh ke pintu kamar Astrid yang tertutup rapat tanpa ada cahaya lampu terlihat dibawah celahnya, nampaknya gadis itu sudah tidur, dia memang tipe orang yang tidur tepat waktu. Tak seperti Tami yang sudah hampir setahun kebelakang menderita insomnia, yang meskipun tak begitu akut, tetap saja membuatnya dirinya hanya bisa tertidur tiga sampai empat jam setiap malam.

Langkahnya terhenti tepat saat dia hendak masuk ke kamar. Matanya tertuju ke sebuah kotak yang ada di atas meja di ruang tamu.

Ia bergerak mendekat, dalam temaram ruangan yang hanya disinari oleh terang bulan dan lampu-lampu yang cahayanya terbias di jendela, Tami melihat namanya tertulis di atas kotak berukuran sedang itu. Dengan ragu, Tami meraih. 

Lihat selengkapnya