AS YEARS GO BY

Arisyifa Siregar
Chapter #31

31. Penasaran yang Mencekik

Begitu membuka pintu apartemen, Tami langsung melihat Kavi yang lagi-lagi bersandar di dinding dengan posisi tubuh yang sama seperti hari sebelumnya. Ia bahkan sudah tak kaget lagi, sudah dua hari berturut-turut Kavi ada di depan pintu apartemennya pagi-pagi dengan gaya pakaian yang konsisten sama. Jaket bertudung lengan panjang, celana gombrong, juga topi kupluk, hanya warna nya yang berganti.

Satu-satunya hal yang membuat Tami gusar hanya, bagaimana kalau Kavi dan Julian sampai bertemu. Untung saja akhir-akhir ini Julian sibuk mengurus cabang baru restorannya di Bandung. Dan Julian tak akan tahu-tahu muncul tanpa mengabari. Jadi kemungkinannya lumayan kecil kalau keduanya bisa bertemu secara tiba-tiba di apartemennya.

Meski tetap saja Tami merasa bersalah, pada akhirnya dia gagal menepati janji untuk bercerita ke Julian kalau-kalau ada sesuatu. Bukannya murni ingin menutup, dia sendiri bingung, harus memberitahu dengan cara bagaimana. Lagipula, apa masalah akan selesai kalau bercerita pada Julian? Bukankah malah tambah runyam kalau Julian dan Kavi sampai bertengkar? Karena itu Tami memilih tetap bungkam, sembari terus khawatir kalau kedua pria ini akan bertemu.

“Hari ini ramalan cuacanya bakal hujan, kamu udah bawa payung belum?” tanya Kavi sambil mengekor Tami masuk ke dalam lift. “Kamu belum sarapan, kan?” Ia menyodorkan kantong plastik yang sejak tadi dijinjing. “Ini buat kamu sarapan di kantor.”

Tampaknya dia berniat konsisten melakukan hal ini setiap hari, mengatakan tentang ramalan cuaca, memberikan Tami sarapan, yang tak pernah sekalipun Tami terima, lalu dia akan mulai menanyakan kabar. 

“Kamu sehat, kan? Semalem tidur nyenyak?”

Sama persis seperti kemarin, Tami tak menggubris, diam seribu bahasa memandang pintu lift dan segera keluar saat pintu itu terbuka di lobi apartemen. Bertingkah seolah dia tak mendengar dan melihat Kavi, memperlakukan pria itu seperti hanya hantu gentayangan yang tak tertangkap oleh inderanya. Tapi yang lebih aneh, Kavi kelihatan sama sekali tak peduli diperlakukan seperti itu, dia hanya terus mengajak bicara, sambil terus mengekor. Tak keberatan separah apa Tami mengabaikannya.

“Taksinya belum dateng?” tanyanya saat melihat Tami yang biasanya langsung masuk ke mobil begitu keluar dari lobi apartemen, hari ini malah berdiri terdiam sambil mengotak-atik ponsel.

Ia bergerak mendekat, mengintip ke layar ponsel Tami yang ternyata sedang menampilkan aplikasi taksi online-nya.

Sadar Kavi terlalu dekat, Tami mendelik sinis, buru-buru menggeser tubuhnya dengan wajah merengut kesal, kemudian kembali mengotak-atik ponsel.

Kavi diam mengawasi, dia merasa sepertinya pesanan Tami terus menerus dibatalkan oleh pengemudi taksi online-nya. Sepuluh menit sudah Tami berdiri, gadis itu nampaknya mulai pegal, sekarang dia celingukan dengan tatapan gelisah ke sembarang arah, sepertinya sedang berpikir sesuatu sambil mencari alternatif transportasi lain untuk ke kantor.

Kavi melihat itu sebagai peluang. Tanpa bicara, dia segera putar balik, lalu berlari kecil pergi dari hadapan Tami tanpa berkata apapun.

Dahi Tami berkerut, heran kenapa Kavi tiba-tiba menghilang dari hadapan. Di satu sisi ia bertanya-tanya apa alasan Kavi yang biasanya baru pergi saat dia masuk ke dalam taksi, malah pergi begitu saja tanpa bicara apapun, disisi lain ia merasa lega, sesungguhnya mengabaikan Kavi setiap pagi begini, menguras energinya. Ia harus menahan diri untuk tak menatap Kavi, harus memaksa telinganya untuk tak mendengar suara Kavi, mulutnya agar tak menyahut untuk menjawab semua pertanyaan yang Kavi lontarkan, dan tangannya, untuk tak meraih sarapan yang selalu Kavi bawa.

Sebuah mobil SUV hitam tiba-tiba berhenti di hadapannya, bibir Tami mengerucut bingung, ia menggeser tubuhnya ke sisi lain, agar tak berhadapan dengan pintu mobil. Tapi mobil itu malah bergerak lagi, seperti mengikuti.

“Apaan sih!” gerutu Tami.

Lalu kaca mobil belakang mobil turun, dan Kavi terlihat duduk di dalamnya.

“Ayo aku anter aja!” seru Kavi dengan senyum cemerlang.

Tami melirik sinis, matanya memicing heran, kenapa Kavi duduk dibangku penumpang? Ia lalu menggerakkan kepalanya sedikit, menilik ke bangku supir. Ternyata ada orang lain yang mengemudi, kalau dari pakaiannya Tami bisa menebak itu adalah supir, tapi kenapa Kavi memakai supir bukan mengemudi sendiri? Mobil siapa juga ini? Ini bukan mobil Kavi. Tami penasaran tapi bersikeras menutup mulutnya rapat-rapat.

Sementara Kavi yang melihat ekspresi penasaran Tami, bergerak turun dari mobil dan menghampiri. “Udah, nanti kamu telat, aku anter aja.” Bujuknya.

Melirik enggan sambil berpikir, Tami merasa sebenarnya tak masalah kalau dia telat ke kantor, tak ada sesuatu mendesak yang mengharuskannya buru-buru sampai menerima tawaran Kavi. Tapi masalahnya sekarang dia sangat penasaran. Tentang mobil siapa ini sebenarnya, kenapa Kavi pakai supir, ada apa dengan gaya pakaian Kavi yang selalu seperti ini? Dan kalau ada kesempatan untuk mengetahui itu tanpa harus bicara, saat ini adalah jawabannya. Siapa tahu Kavi akan bicara dengan supir itu, siapa tahu ada petunjuk di dalam sana.

Jadi sekali ini, Tami membiarkan dirinya masuk ke permainan Kavi. Tanpa menyahut, ia bergerak maju mendekat ke mobil, membuka pintunya dan langsung masuk di kursi belakang.

Kavi tersenyum simpul, ia bergegas masuk ke dalam mobil dan duduk disebelah Tami. “Ke Gedung Horizon ya, Pak!” ujarnya ke sang supir yang langsung mengangguk dan menginjak pedal gas.

Lihat selengkapnya