“Hai, cantik!” goda Julian dari depan mobil. Ia sudah menunggu satu jam di halaman parkir gedung sampai akhirnya Tami muncul, dari langit masih berwarna oranye kemerahan sampai gelap pekat.
Tami tersenyum tipis dan menghampiri dengan berlari kecil, “Kenapa nggak bilang kalau udah sampe?” protesnya tak enak hati, menduga Julian pasti sudah menunggu lama.
Julian menggeleng sambil membelai rambut Tami lalu menyelipkannya ke belakang telinga. “Aku sekalian istirahat,” lalu mengambil alih tas yang Tami jinjing. “Yuk kita makan!” Ajaknya, langsung membukakan pintu penumpang depan untuk Tami.
Setelah menutup pintu untuk Tami, Julian malah terdiam, matanya tertuju ke sisi lain parkir, sedikit menyipit seperti tengah memperhatikan sesuatu sambil berpikir.
Menyadari Julian tak kunjung masuk ke mobil, Tami menurunkan jendela. “Kenapa, Kak?” tanyanya.
“Nggak,” Tatapan Julian melembut, “Kayaknya aku lihat mobil itu beberapa kali di parkiran apartemen kamu,” Ia mengedikkan dagu ke arah yang sejak tadi dipandang. “Kayaknya orang yang punya mobil kerja di kantor ini juga.”
Tami menjulurkan kepalanya keluar sedikit, melihat ke arah mobil yang Julian maksud.
Wajahnya menegang.
Itu mobil yang tadi pagi dia tumpangi, mobil Luna yang dipakai Kavi. Platnya cukup mudah dihafal, dan jenis mobil impor itu cukup jarang dipakai orang.
“M-mungkin,” tanggap Tami agak terbata, langsung menarik kepalanya masuk dan duduk tegak di kursinya, “Ayo kak, aku udah laper!” desaknya, berusaha mengalihkan perhatian Julian dan tentunya berhasil.
Julian langsung bilang, “Oh, iya, maaf, maaf.” Sambil buru-buru masuk ke mobil. “Kita makan sushi gimana?” Sarannya sambil memakai safety belt kemudian menyalakan mesin mobil.
“Em.” Angguk Tami, terus berusaha memasang ekspresi biasa saja, padahal sedang panik campur bingung.
Seiring mobil bergerak meninggalkan area parkir, diam-diam Tami mengawasi mobil Kavi dari spion. Mobil itu tak bergerak, jadi dia bukan ada disana untuk membuntuti. Jadi kenapa mobil itu ada di sana? Tami melirik tak kentara ke Julian yang fokus mengemudi. Ia dengar dengan jelas saat tadi Julian bilang kalau dia melihat mobil itu beberapa kali di parkiran apartemen, beberapa kali? Seberapa sering sampai menarik perhatian Julian seperti itu? Sebenarnya apa yang ada dipikiran Kavi, kalau dia benar-benar sering ada di parkiran seperti yang Julian bilang, untuk apa?
Tami merasa semakin pusing. Kenapa Kavi benar-benar melakukan semua hal diluar kebiasaan. Semua akan lebih mudah kalau pria itu menjadi dirinya yang dulu, yang menyerah saat diputuskan karena kesalahpahaman, pergi ke luar negeri, dan tak menaruh perhatian sama sekali dengan siapa Tami berhubungan.
Sial. Umpat Tami dalam hati, memejamkan matanya, berusaha menyingkirkan semua pikiran berisik di dalam kepalanya.
Diam-diam, Julian melirik mengawasi. Ekspresi wajah Tami saat melihat mobil itu, kelihatan kaget. Gadis ini juga bukan pembohong yang ulung, dia tak pernah mengatakan lapar sampai mendesak orang lain untuk bergerak. Jadi jelas, ada hal yang sedang ditutupi. Dan tak perlu banyak menduga-duga lagi, Julian tahu, hal apa itu.
Mereka sampai di restoran jepang yang Julian pilih setengah jam kemudian. Dekorasi dan suasananya kental dengan budaya jepang ini memanjakan mata. Sejak masuk sampai duduk di kursi yang sudah ia booking sebelumnya, Julian tak henti-hentinya menyapukan pandangan ke segala sisi, terpana dengan atmosfer yang hangat sekaligus elegan.
Tapi di hadapannya, Tami kelihatan tak terlalu memperhatikan betapa nyaman dan indahnya restoran ini. Ia sibuk membolak-balik buku menu dengan sorot matanya yang terlihat resah. Julian diam memperhatikan, ia sudah merasa selama beberapa waktu belakangan, tepatnya sejak kemunculan Kavi hari itu di dekat restoran, Tami kelihatan terus menerus resah.
Gadis ini masih tersenyum, masih bisa bercanda, tapi disela-sela keheningan, dia kelihatan termenung, matanya bergerak gelisah, seperti sedang berusaha memecahkan suatu persoalan rumit di dalam kepalanya.
Dan Julian selama ini mencoba untuk egois.
Selama ini dia membiarkan Tami terus menyembunyikan hal yang mengganggunya itu. Karena ia tahu, alasan Tami menyembunyikannya hal itu darinya adalah karena tak ingin menyakiti hatinya, dan itu berarti Tami menyayanginya. Atau kasihan? Atau apapun itu. Setidaknya Tami melakukan hal itu karena dirinya.
Katakanlah dirinya pengecut, atau menyedihkan. Pura-pura tak tahu kalau gadis yang sedang menjalin hubungan dengannya ini tak pernah mengatakan menyayangi apalagi mencintainya, karena masih ada pria lain di dalam hatinya. Pria yang tak pernah bisa ia kalahkan keberadaannya dengan usaha apapun. Pria yang bahkan dengan ketiadaannya selama beberapa bulan, bisa membuat Tami menjadi individu yang benar-benar berbeda.
Tapi selama Tami masih memilih disampingnya, selama dia masih menyembunyikan rahasia karena tak ingin hubungan mereka jadi renggang, menjadi pengecut dan menyedihkan tak seburuk itu. Ketimbang harus kehilangan Tami lebih cepat. Ketimbang melewatkan kebersamaan mereka. Lebih baik pura-pura buta dan tuli.
Tapi sejauh apa dia bisa bertahan?