AS YEARS GO BY

Arisyifa Siregar
Chapter #33

33. Yang Terjadi Hari Itu

Tami terperanjat, matanya mendadak terbuka, nafasnya terengah-engah dan dahi berpeluh dingin. Ia baru saja terbangun dari tidur singkatnya, ditengah-tengah mimpi yang bagi orang lain mungkin biasa saja, tapi nyata buruk baginya.

Semalam, gelisah yang ia dera lebih dari hari-hari lain. Upayanya untuk terlelap dan mengistirahatkan diri terus menerus gagal. Ia mencoba berbagai cara, mulai dari minum susu hangat, mengubah posisi, sampai berpindah-pindah tempat berbaring. Dan ketika akhirnya rasa lelah berhasil membawanya untuk rehat sejenak dari dunia nyata, alam mimpi malah menjerumuskannya kembali pada resah yang menggelayutinya selama berhari-hari.

Tatapan Kavi, sorot mata pria itu ketika melihatnya dengan Julian dari dalam mobil. Telah menjelma menjadi sesuatu yang menghantuinya siang dan malam.

Setelah mengetahui bahwa Kavi sering diam-diam mengawasinya dari dalam mobil, Tami dirundung rasa bersalah yang tak semestinya ia tanggung.

Semula saat termenung, ia tak sengaja mengira-ngira. “Bagaimana ekspresi Kavi saat melihat interaksinya dengan Julian, raut wajah apa yang pria itu buat saat melihat Julian memeluknya?” Lalu tanpa sadar, dirinya terperosok ke dalam suatu memori, kejadian setahun lalu yang hampir ia lupakan. Ingatan yang sudah lumayan kabur itu, tiba-tiba menyeruak dan kembali dengan sangat jelas, seolah baru terjadi kemarin.

Tatapan Kavi kala itu, saat pria itu berada di dalam mobilnya, di parkiran restoran, tempat Julian menyatakan cintanya untuk pertama kali. Sorot mata yang dalam dan dingin, raut wajah yang senyap namun menusuk, yang belakangan Tami tahu kalau semua itu ternyata berasal dari rasa cemburu dan ketidakrelaan Kavi melihat dirinya dekat dengan Julian, tergambar jelas dalam ingatan. Ia berpikir, ekspresi Kavi saat melihat dirinya dan Julian di parkiran apartemen, mungkin saja lebih parah dari ekspresi yang dia ingat itu. Benaknya lalu tanpa sadar terus menerus membuat sketsa dugaan tentang bagaimana ekspresi Kavi di dalam mobil, lalu semua dugaan itu, mengendap dan menetap dalam ingatan. Membuatnya selalu melihat ekspresi tak nyata yang hanya buatan dari imajinasinya sendiri itu, bahkan di dalam mimpi.

Kini, hari itu akhirnya tiba. Hari dimana ia akan mendengar penjelasan Kavi. Setelah hari ini ia seharusnya bisa terlepas dari mimpi buruk berkelanjutan ini.

Semalam, ketika bertemu dengan Julian, Tami memberanikan diri untuk mengatakan sejujurnya, tentang dirinya yang akan bertemu dan mendengar penjelasan Kavi hari ini. Sesuai dugaan, Julian menanggapi dengan senyuman rela, mengatakan agar Tami tak perlu khawatir berlebihan, dan dirinya siap datang kapan saja kalau-kalau Tami butuh bantuan.

Sekarang, setelah hanya tidur selama satu setengah jam, Tami turun dari kasur. Matanya berat, kepalanya pusing, tapi walau hanya memejamkan mata kurang dari dua jam, kantuk tak berbekas sama sekali. Ia berjalan keluar kamar tanpa menguap atau mengucek mata selayaknya orang yang bangun dari tidur yang kurang.

Begitu masuk ke kamar mandi, dia terdiam di depan kaca. Tangannya bertumpu pada ujung meja wastafel, dingin, dan sedikit gemetar. Darah mendesir di dada, jantungnya berdegup lebih kencang dan iramanya kurang nyaman. Ia gugup. Merasa cemas menghadapi hari ini.

Setelah penyangkalan berlarut, akhirnya ia akan segera mendengar alasan Kavi. Ia gusar, takut pada dirinya yang bisa saja goyah setelah mendengar semua penjelasan itu. Oleh karenanya, untuk sekali lagi, untuk terakhir kali, dia memantapkan diri. Mendoktrin diri sendiri dengan mantra: ‘Apapun alasan Kavi, keputusannya tak akan pernah berubah. Ia akan tetap bersama Julian.’

Setelah menarik nafas dalam dan membulatkan tekad. Ia bergegas mandi. Hari masih terbilang pagi untuk berkunjung ke klinik Kavi, tapi apa hubungannya waktu dengan kegiatan yang akan dia lakukan ini? Toh dia hanya akan datang ke klinik sebentar, mendengar penjelasan Kavi, lalu pergi dan menjalani sisa hari libur dengan perasaan tenang yang sudah ia dambakan.

Lebih cepat, lebih baik.

***

Satu jam kemudian...

Kavi berdiri di balik pintu, memandang Tami yang turun dari taksi online dan berdiri terdiam beberapa meter di depan ruko. Gadis itu, kelihatan makin kurus dari hari ke hari. Membuat hatinya remuk tiap kali membayangkan sesulit apa Tami menjalani hari-harinya selama ini. Menuntunnya untuk terus menerus menyalahkan diri. Semua karena tindakannya, semua karena kesalahannya. Kalau saja hari itu dia tak memilih pergi, Tami tak akan menderita, dan dia tak akan pernah berada di pelukan Julian.

Alasan itu juga yang membuatnya bertahan sejauh ini, meski rasa cemburu mendera tanpa ampun, merasa tidak adil dengan keadaan yang memojokkannya saat ini, dia tetap bertahan, tetap bersikap tak tahu malu, mengejar cinta Tami dengan membabi buta. Ia sadar, orang yang harus merasakan semua sakit itu untuk menebus dosanya ke Tami, memang dirinya.

Dan hari ini, adalah harapan terakhirnya.


Dari tempatnya berdiri, Tami samar-samar bisa menangkap sosok Kavi yang ada di balik pintu. Di bawah bayang-bayang yang menyelimuti ruangan karena sinar matahari tak langsung masuk ke dalam klinik. Meski tak terlalu jelas Tami bisa melihat, pria itu sedang mengawasinya.

Dengan penasaran, campur gugup dan takut, Tami bergerak. Selangkah demi selangkah ia mendekat, sedikit demi sedikit dadanya terasa sesak. Ruko ini, klinik ini, bagai penjara baginya.

Tempat ini pernah ‘mengekang’ dirinya selama berbulan-bulan, terkurung bersama rasa sakit yang ia tahan diam-diam, meledak lalu teredam dalam kesunyian. Hari demi hari ia mendatangi tempat kosong ini dengan berharap Kavi kembali, dan sekarang saat pria itu memang jelas ada di dalam sana, ketika harapannya dan penantiannya terbayarkan. Rasa pilu campur marah menggigit benaknya kencang.

Lihat selengkapnya