Kavi mengendarai mobil pick up milik Damar yang ia pinjam. Tangannya gemetar, tubuhnya panas dingin. Ia menatap nanar jalanan di depan mobil, sambil mengira-ngira seberapa jauh lagi ia harus berkendara untuk mendapatkan sinyal di ponselnya.
Ia tidak percaya dengan ucapan Damar. Bagaimana mungkin ia adalah anak dari kakeknya sendiri? Lalu, ibunya adalah Marina? Sekretaris kakeknya yang dijadikan istri kedua, dicerca sebagai perebut suami orang, dan meninggal setelah melahirkannya? Bagian mana dari cerita itu yang tidak konyol? Bukankah hal seperti ini hanya ada di opera sabun, sinetron TV?
Tapi Damar begitu sungguh-sungguh dalam ucapannya, ia bahkan bilang Mateo dan Diana tahu cerita ini, Kavi bisa langsung menanyakan pada mereka kalau tidak percaya. Jadi satu-satunya jalan untuk memastikan kebenarannya adalah dengan mengecek sendiri. Meski merasa ini konyol, dan meski mungkin akan dihardik atau ditertawakan, Kavi memutuskan untuk menanyakan hal itu langsung kepada ibu angkatnya, Diana.
Sekitar empat kilometer kemudian, ponselnya yang sengaja ditaruh di kursi penumpang mulai mendenting, notifikasi masuk satu per satu. Ia segera memperlambat laju mobil, meminggirkannya, lalu menginjak rem. Tangannya langsung meraih ponsel itu, memastikan bahwa sinyal akhirnya kembali.
Tanpa menunda, ia menghubungi nomor Diana, ibunya yang telah ia abaikan panggilan dan pesannya selama berbulan-bulan.
“Halo, Kavi?” sahut Diana setelah nada sambung keempat berbunyi.
“Ma, Mama kenal Pak Damar?” tanya Kavi tanpa basa-basi.
Diana terdiam sejenak. Antara sedang mengingat, atau menimbang jawaban. “Kamu di mana sekarang?”
Dahi Kavi berkerut. Ia merasa ada yang tidak beres dengan respon ibunya. “Mama kenal?” desaknya. “Apa bener semua yang Damar bilang? Soal Kakek, soal ibu kandung aku?”
Dalam hati, Kavi berharap ibu angkatnya ini akan tertawa atau membentaknya karena omongannya yang tidak masuk akal. Ia tidak ingin semua yang dikatakan Damar ternyata benar. Kenyataan itu terlalu pahit untuk diterima. Terlalu memalukan untuk diakui.
Namun, ia tidak mendengar tanggapan seperti yang diharapkan. Diana, yang biasanya cepat merespons dengan ceramah, kali ini diam seribu bahasa. Dan ketika membuka mulutnya lagi pertanyaannya konsisten sama. “Kamu di mana?” Nada suaranya tenang, tapi justru itu yang membuat Kavi semakin curiga.
Detik itu, Kavi tahu. Diamnya Diana bukan karena tidak tahu, melainkan karena ia tahu terlalu banyak, dan selama puluhan tahun, ia menyembunyikan semuanya. Ia menghindar untuk menjawab lewat telepon, dan terus menanyakan keberadaannya, semua jelas, karena apa yang mau dia sampaikan tak akan bisa lewat pembicaraan singkat.
“Kavi? Kamu di mana?” desak Diana, suaranya mulai terdengar tak sabar campur panik. “Jangan mikir macam-macam dulu. Pulang ke rumah sekarang. Mama bisa jelasin.”
Suara Diana menggema di telinga Kavi, tapi sampai masuk ke otak. Pikirannya kacau, kepalanya seperti berdenging. Perlahan, ia menjauhkan ponsel dari telinga. Sayup-sayup terdengar Diana masih memanggil-manggil namanya, masih menyuruhnya pulang, tapi Kavi tak merespon apa pun. Bayangan masa lalu yang ternyata lebih kelam dari yang ia duga membuatnya sesak napas.
Dengan satu gerakan cepat, ia memutar setir, menginjak gas, dan melaju kembali ke arah rumah Damar.
Kursi mobil terasa bergetar keras, tetapi Kavi sadar bahwa itu bukan berasal dari jalanan yang rusak, melainkan seluruh tubuhnya yang terguncang. Nafasnya tersengal-sengal. Kakinya lunglai, tidak stabil menginjak pedal gas, sehingga laju mobil tersendat antara kencang dan lambat tanpa pola yang jelas. Tangannya yang berkeringat dingin mencengkram setir dengan kaku, otot-otot lengannya menegang seperti mau putus. Tapi ia terus memaksa dirinya untuk kembali ke rumah Damar, untuk mendengar lebih rinci, untuk mengetahui semua yang sepatutnya ia ketahui sejak dulu.
Pandangannya kabur oleh air mata yang tak bisa dibendung. Ia menyeka matanya dengan kasar menggunakan punggung tangan, tetapi penglihatan tetap buram. Yang ia lihat hanyalah bayangan-bayangan samar yang seakan ikut bergetar mengikuti goncangan di dalam dadanya. Setiap guncangan terasa seperti pukulan yang menghantam rongga dada. Klakson mobil lain nyaris tidak terdengar, tenggelam oleh suara nafasnya sendiri dan aliran darah yang berdesir kencang di telinganya. Ia berkendara seperti robot yang rusak, instingnya memaksanya terus melaju, tetapi jiwa dan raganya hancur oleh kenyataan pahit yang baru saja diterimanya.