Di tempat tidurnya, Tami duduk bersandar. Kakinya sedikit menekuk, kedua tangannya di atas lutut, kepalanya menoleh, matanya terus menatap ke langit di luar apartemen yang nampak dari jendela kamarnya, berkedip lambat sesekali.
Ia tak memikirkan apapun, tak merasakan apapun, hanya hening dan hampa yang menyelimuti setiap relung hatinya. Tubuhnya tak lemas, namun dirinya merasa tak mampu bergerak. Entah sudah berapa malam ia terjaga, terbayang-bayang kejadian hari itu.
"Aku mohon, Tami, aku mohon," Kavi bersimpuh di hadapannya, tangannya menggenggam ujung jemari Tami dengan putus asa.
Tami masih menangis terisak, tubuhnya gemetar dan matanya tak sanggup dibuka. Dadanya sakit, seperti ditusuk ribuan duri. Perasaan yang ia tanggung setelah mendengar alasan Kavi, dan menyaksikan buktinya dengan mata kepalanya sendiri, terlalu berat untuk ditanggung. Bukan ini yang ia harapkan, bukan kenyataan seperti ini yang sanggup ia terima.
Wajah Kavi terus menengadah, menunggu Tami menjawab pertanyaannya, menunggu dia menganggukkan kepala. Menunggu gadis yang ia cintai ini memutuskan untuk kembali ke pelukannya. Meskipun dia saat ini tak punya apa-apa, dan tak tahu bagaimana masa depannya. Tapi hanya Tami yang ia butuhkan, cukup Tami, maka dia bisa melanjutkan hidup. Ini tindakan paling egois dalam hidupnya yang selama ini berjalan bukan atas kemauannya sendiri.
Tapi bahkan setelah ia menunggu cukup lama, setelah tangis Tami mulai mereda dan isakannya berganti tarikan nafas berat yang masih tersendat. Yang Kavi dapat malah sebuah gelengan. Bahkan setelah mendengar semuanya, setelah menangis tersedu dan menunjukkan dirinya memahami, Tami tetap menggelengkan penolakan. Ia teguh pada pendirian yang sebelumnya sudah dia sampaikan. Dirinya tak akan meninggalkan Julian.
"Gue, minta maaf," ucap Tami dengan suara parau. "Gue juga maafin lu, atas semuanya." Isakannya masih kental terselip diantara kata yang diucap. "Gue udah ngerti semuanya, tapi sekali lagi,” Ia menunduk dalam, matanya masih terpejam.
Ia menarik nafas, dengan gerakan seolah menelan pil pahit di tenggorokannya, kemudian perlahan mengangkat kepalanya lebih tegak. “Maaf, gue nggak bisa." Sambungnya sambil membuka mata. Ia menatap lurus ke depan, tak mampu melihat Kavi yang banjir oleh air mata penuh kesengsaraan.
"Gue harap lu bisa cepet pulih, dan bisa lebih bahagia." Tami menarik tangannya perlahan, membuat tangan Kavi yang menggenggam dengan sisa-sisa harapan tanpa kekuatan, jatuh ke udara, mendarat keras di samping tubuhnya.
"Maaf," ulang Tami, memejamkan matanya sekali lagi, menahan agar isakannya tak kembali pecah. "Tapi kita udah selesai. Terima kasih udah mau cerita, terima kasih udah berusaha." Kepalanya mendongak, matanya yang dibuka setengah menatap langit-langit, setelah menggigit bibirnya kencang, ia mengucap, "Gue pamit."
Ia membalikkan badannya, melangkah pergi sebelum dirinya berubah pikiran dan memilih untuk tinggal, untuk memeluk Kavi yang masih berlutut dengan tangisan perih, erat-erat.
Setelah meninggalkan Kavi dengan kata-kata yang dingin dan tega itu. Tami tak bisa beristirahat. Dalam gelap malam, dengan lampu-lampu kota yang mengintip lewat jendela yang tirainya ia biarkan terbuka lebar, ia terus menatap langit-langit kamarnya. Ia merasa kosong, merasa sebagian besar dirinya hilang, atau mungkin, tertinggal di tempat itu, bersama Kavi yang menangisi kepergiannya.
Ia bahkan tak tahu sudah berapa lama waktu berlalu, sampai sekarang, dimana matahari yang muncul perlahan naik hingga ke tengah langit, mulai tergelincir lagi dan menampakkan semburat warna-warna senja yang terlihat indah dipandang. Tapi bahkan pesona langit yang sedang berkarya itu tak menarik minatnya. Ia hanya memandang pergantian warna itu dengan tatapan kosongnya, hingga warna itu berganti lagi menjadi gelap yang pekat, hingga lampu-lampu kota itu kembali menyala, dan lagi-lagi, mati satu persatu, sampai matahari muncul lagi, kembali bersembunyi. Terus menerus.
Dunia sedang menunjukkan semua masih berjalan sesuai dengan tugasnya, tapi Tami seakan waktunya telah berhenti.
Pilihan yang ia buat, terlalu getir untuk diakui sebagai kebaikan. Kavi begitu tersiksa, dirinya pun tahu, hal yang paling ingin ia lakukan sekarang adalah memeluk dan menenangkan pria itu. Tapi ia sudah bertekad, dan tak mau menjadi manusia tamak yang dengan mudahnya membuang jauh prinsip yang sudah ditanamkan sendiri dalam pikiran dan berkali-kali ia ucapkan.
Ia tetap memilih Julian, ia tetap melakukan semua sesuai rencananya.
Mendengarkan alasan Kavi, memahaminya, memaafkannya, dan kembali ke Julian.
Tapi kenapa semua terasa begitu perih? Kenapa hidupnya mendadak hampa? Apa semua ini memang benar-benar untuk kebaikannya?
Ia mendengar ponselnya berdering beberapa kali tanpa henti, dentingan notifikasi masuk terus menerus, dan suara peringatan baterai lemah memekak hening, tapi semua diabaikan, sampai ponsel itu mati kehabisan daya sampai tak ada lagi yang bisa menghubunginya.
Pintu kamarnya pun diketuk beberapa kali oleh Astrid, tapi ia tak ingin menyahut. Gadis itu sudah berkali-kali bolak balik membuka pintu dan menyelipkan kepalanya di celah, memanggil, meminta Tami untuk makan dan minum. Tapi terus menerus diabaikan, tak punya pilihan selain menutup lagi pintu kamar rapat-rapat.
Saat Tami merasa matanya berat, ia bergerak merebahkan badannya, berbaring miring, masih menatap ke arah jendela. Perlahan-lahan kelopak matanya jatuh, ia terpejam untuk beristirahat memandang jendela. Tapi telinganya masih mendengar semua suara yang ada. Otaknya masih siaga. Ia hanya memejamkan mata, bukan benar-benar tidur seperti yang orang lain pikir saat melihatnya.