AS YEARS GO BY

Arisyifa Siregar
Chapter #36

36. Lubang Besar dalam Hati

Tami berlari kecil ke arah Julian, hari ini dia mengenakan dress motif bunga berwarna biru selutut, jaket jeans yang kebesaran dan sepatu bertali warna putih. Gadis yang seminggu penuh mengunci diri, tak merespon siapapun yang menghubunginya, hari ini muncul seperti tak terjadi apa-apa. Seperti tak pernah ada masalah berat yang mencengkram jiwanya.

Kemarin, dia menelepon Julian lebih dulu, tanpa menanyakan kabar, tanpa membahas apa yang terjadi seminggu kebelakang, seolah semua itu menghilang dari garis waktu hidupnya dan tak bisa dibahas karena tak ada yang ingat. Dengan nada suara ceria, mengajak Julian untuk berkencan di taman bermain hari ini.

“Kita naik apa lagi, ya….” gumamnya sumringah, menggelayuti lengan Julian dengan manja. “Bianglala aja gimana?” Cetusnya antusias. “Ayo!” Ia menarik lengan Julian dan berlari menuju wahana populer lain. 

Sesampainya di depan wahana, ia mendesah kesal, karena antrian di depannya lagi-lagi mengular seperti wahana lain. Datang dihari libur tampaknya memang bukan pilihan yang tepat, mereka menghabiskan lebih banyak waktu untuk mengantri daripada bermain.. “Kak Julian paling suka main apa kalau lagi kesini?” tanyanya, ingin mengisi waktu dengan obrolan.

“Hmm,” gumam Julian, “Aku jarang kesini, jadi nggak terlalu ada yang favorit.”

“Iya sih, aku juga terakhir kesini kayaknya SMP, makanya pengen aja.” Ungkap Tami, kemudian bibirnya mengerucut, lehernya celingukan mengecek gerak antrian. 

“Em.” Julian mengangguk setuju, menatap Tami yang kini sedang bersenandung.

Sepanjang kencan, Tami selalu kelihatan ceria, menyeret Julian kesana-sini dengan bersemangat dan tak sedikit pun menunjukkan lelah. Semua kalimat yang keluar dari mulutnya hanya obrolan santai tentang cuaca, tentang wahana permainan seperti barusan, atau tentang makanan dan minuman. Ia terlihat baik-baik saja untuk ukuran orang yang baru saja mengasingkan diri dari dunia selama berhari-hari.

Tapi Julian tak tertipu. Ia sudah mengenal Tami belasan tahun lamanya. Gadis ini pada dasarnya memang punya sifat ceria. Tapi seluruh gelagatnya hari ini, tak terlihat seperti dirinya. Semangatnya dipaksakan, manjanya berlebihan, dan gestur tubuhnya yang selalu menempel ke Julian, terasa asing dan menyesakkan.

Sekilas wajahnya yang ceria itu memang terlihat normal, tapi jika diperhatikan lebih dalam, sorot matanya yang kosong nampak jelas. Dia bukan Tami yang binar tatapannya mampu mencerahkan langit gelap. Dirinya kini menjelma menjadi mendung itu sendiri. Sekumpulan rasa sakit, bingung, dan tersiksa yang disembunyikan dengan senyum manis yang dipaksa. Membuat hari cerah dengan matahari terik ini, mendadak terasa berkabut tiap kali Julian menatapnya. Tami terlalu berusaha keras, terlalu memaksakan diri.

“Tam,” Julian menggenggam pergelangan tangannya, “Gimana kalau kita istirahat dulu?”

“Oh, Kak Julian capek ya? Ayo, ayo!” Lagi-lagi ia menanggapi ajakan Julian dengan perhatian berlebihan.

Selama tiga bulan mereka pacaran, Tami memang hampir tak pernah marah, tak pernah mengeluh, tak pernah meminta sesuatu. Hal-hal yang keluar dari mulutnya kebanyakan adalah kata maaf dan terima kasih. Dia selalu menunjukkan sikap pengertian dan perhatian yang terlihat seperti sedang berbalas budi. Bukannya Julian tak merasa pilu menyadari hal itu, tapi berusaha menahannya karena mungkin memang Tami belum bisa benar-benar menunjukkan hatinya. Namun hari ini, Julian mendapati semua sikap Tami dihadapannya, lebih-lebih dari sebelumnya. Dirinya diperlakukan selayaknya bola kaca tipis yang Tami peluk hati-hati, agar tak tergelincir dari tangannya dan pecah berkeping-keping.

Sepanjang hari, Julian menimbang lagi dan lagi. Terkadang, dorongan untuk bertahan itu masih muncul. Tapi setiap menatap Tami, dan ia makin yakin pada keputusan yang akan ambilnya. Jadi kini, ketika mereka duduk bersebelahan di bangku besi, beristirahat dan menikmati es teh, Julian memantapkan diri. Sudah saatnya.

“Tam,” panggilnya lembut. Meletakkan gelas es tehnya di kursi.

“Hm?” Tami mendelikkan mata sambil terus menyeruput es tehnya.

“Kavi bakal pindah ke Singapura sekeluarga,” lanjut Julian.

Tami refleks terdiam, mulutnya berhenti menyeruput es teh, matanya melebar siaga. “Oh,” sahutnya pura-pura santai, lalu segera memalingkan wajahnya ke arah lain. “Kak, kita naik arung jeram aja yuk?” Tunjuknya, buru-buru berdiri.

Tapi tangan Julian terulur menahan, pria itu menggenggam pergelangan Tami cukup erat, agar gadis ini tak menghindar lagi. “Cukup, Tam. Jangan maksain diri lagi.”

Rahang Tami mengeras, ia menelan ludah gugup. Matanya berkedip beberapa kali sebelum menoleh ke Julian dengan menyunggingkan senyum palsu. “Nggak kok aku nggak capek,” Kilahnya.

“Kamu tahu bukan itu yang aku maksud,” tegas Julian, ikut berdiri. “Kamu nggak usah pura-pura baik-baik aja.”

Tatapan Tami gentar, bola matanya bergerak panik menyadari Julian tahu perasaan yang susah payah ia sembunyikan. Tapi ia tetap berusaha menyunggingkan senyum. “Nggak kok, emangnya aku kenapa?”

Dada Julian terasa berat, sesuatu yang sejak seminggu ini menyesaki relung hatinya, meledak karena senyum palsu Tami. Sesuatu yang sejak awal hari sudah berada diujung mulutnya, mengalir keluar dan terucap lebih mudah dari yang ia kira. “Kita putus, Tam.”

Lihat selengkapnya