AS YEARS GO BY

Arisyifa Siregar
Chapter #38

38. Memilih Tinggal

Tami dan Luna duduk berhadapan lagi setelah setahun berlalu. Namun kali ini, suasana dan latarnya sama sekali berbeda. Bukan di ruang konsultasi rumah sakit yang sunyi dan beraroma disinfektan, melainkan di sebuah coffee shop yang ramai di dalam terminal bandara. Gemuruh suara announcer, dering telepon, dan bunyi mesin pembuat kopi menjadi soundtrack pertemuan mereka yang tak terduga.

Siapa sangka bahwa dua orang dengan jalan hidup yang telah berpisah jauh ini, yang kemungkinan bertemu di tengah keramaian ibukota begitu kecilnya, justru dipertemukan pada detik yang begitu kebetulan di persimpangan orang-orang yang sedang berniat keluar negeri. Luna, yang biasanya begitu lantang, kini duduk dengan secangkir latte di tangannya, menatap Tami yang terlihat lebih dewasa dengan poninya yang rapi. Senyum kecil mengembang di bibir mereka, campuran antara rasa kagok, bingung, dan sebuah kelegaan diam-diam karena ternyata ia masih punya kesempatan untuk mengakui kesalahan.

“Cowok tadi…” ucap Luna ragu-ragu, menyadari ini mungkin bukan pembuka obrolan yang tepat, tetapi rasa penasarannya mengalahkan pertimbangan lainnya. Ia ingin sekali tahu siapa pria yang sempat ia saksikan Tami peluk erat tadi.

Tami terdiam sejenak, memutar kata-kata di kepalanya. Jawaban apa yang paling tepat untuk mendefinisikan Julian? “Teman kakak aku,” ujarnya akhirnya, memilih jawaban yang singkat dan aman. Ia merasa tidak perlu membuka lembaran terlalu lebar untuk Luna.

Sebenarnya, sejak awal Tami ragu untuk menerima ajakan Luna berbicara berdua seperti ini. Baginya, mereka sudah tidak memiliki ikatan atau kepentingan apa-apa lagi. Pertemuannya dengan Julian, yang baru saja terputus terlalu cepat, justru lebih berarti. Ia masih ingin mencuri waktu lebih lama untuk bercengkrama, melepas rindu pada sosok yang selalu menjadi ‘malaikat pelindung’-nya itu.

Namun, tatapan Luna yang dipenuhi rasa bersalah dan keraguan berhasil meluluhkan hatinya. Akhirnya, Tami memutuskan untuk mengikuti Luna ke coffee shop ini, bukan karena ingin mengobrol, tetapi lebih untuk meringankan beban yang ia lihat di mata perempuan di hadapannya.

“Oh gitu,” Angguk Luna mafhum. “Sorry ya aku jadi ngeganggu waktu kamu.”

“Nggak apa,” jawab Tami lalu menyeruput es americano di gelasnya.

“Maaf aku waktu itu nggak ngabarin kamu,” Luna tertunduk sesal. “Aku tahu keadaan Kavi setelah kamu nemuin aku.”

Tami terdiam. Ucapan Luna yang tiba-tiba itu menggantung di udara, menciptakan keheningan yang sedikit membebani. Ia sendiri tidak mengharapkan permintaan maaf itu, bahkan sudah lama melupakan masa-masa di mana ia menanti-nanti kabar dari Luna dengan hati dipenuhi harap dan keraguan yang bergantian menyiksa.

Tapi saat matanya menangkap sorot harap dan penyesalan yang mendalam di pandangan Luna, yang jelas-jelas menunggu semacam respons, pengampunan, atau setidaknya pengakuan, Tami tidak ingin mengecewakan. Dengan halus, ia mengangguk. Sebuah anggukan sopan yang tidak berlebihan, cukup untuk memberi Luna sedikit ketenangan, tapi juga cukup sederhana untuk menjaga batas bahwa ia tidak ingin mempermasalahkan lebih jauh apa yang terjadi dimasa lalu itu.

“Aku nggak tahu kamu udah denger sejauh mana tentang Kavi, tapi aku bisa nebak, kalau dia udah ceritain semuanya ke kamu kan?” Luna mengangkat wajahnya, menatap sungkan.

Tami mengangguk.

“Oh,” kini Luna menggosok-gosok telapak tangannya ke pahanya sendiri, mengusir gugup. “Waktu kamu bilang Kavi pergi cari orang tua kandungnya, aku khawatir, aku takut dia akhirnya tahu cerita yang sebenernya.”

Ah, sekarang Tami ingat. Pikirannya langsung tersambung, seperti kepingan puzzle yang akhirnya jatuh pada tempatnya. Ia langsung mengerti apa yang coba disampaikan Luna.

Waktu itu, ketika ia menyambangi Luna untuk mencari tahu tentang Kavi, ia memang menangkap sesuatu yang tidak beres. Kekhawatiran di wajah Luna terlihat jelas, seperti sedang memikul beban yang terlalu berat untuk diungkapkan. Ada sesuatu yang ditahan-tahan, sesuatu yang tercekat di kerongkongan yang tak mampu diluncurkan menjadi kata-kata.

Rupanya ini alasannya. Sekarang segalanya menjadi jelas. Pantas saja saat itu Luna memilih menutup mulutnya rapat-rapat, matanya menghindar, dan setiap jawabannya terasa seperti di sensor oleh sebuah tanggung jawab yang terlalu besar untuk dibagikan.

“Sebelumnya mama aku sempet pergi keluar kota, anehnya, dia gak balik-balik berminggu-minggu. Waktu aku tanya ke papa aku, dia selalu jawab gak jelas. Makanya pas kamu ke rumah sakit, aku curiga, jangan-jangan kepergian Mama ada hubungannya sama Kavi.” Luna menghela nafasnya berat, mengingat kejadian kala itu yang begitu mengejutkan dan tak pernah terbayangkan. “Ternyata Mama aku udah sebulan ngerawat Kavi di sana.”

Luna menjelaskan dengan rinci bagaimana Kavi akhirnya dipindahkan dari NTT ke Jakarta setelah dua bulan tertahan. Proses evakuasinya sangatlah kompleks dan melelahkan, mengingat kondisi Kavi yang masih sangat kritis dengan luka-luka serius di sekujur tubuhnya. Luna menggambarkan betapa panjang dan berlikunya proses penyembuhannya, setiap hari adalah pertaruhan, setiap terapi adalah perjuangan.

Lihat selengkapnya