AS YEARS GO BY

Arisyifa Siregar
Chapter #39

39. Deja Vu

“Mbak!” Astrid menahan lengan Tami begitu mereka berdua keluar dari ruang rapat. “Boleh minta tolong bawa pulang mobil aku gak?” pintanya.

“Hm?” badan Tami berbalik, menghadap ke Astrid lagi. “Kenapa?”

Bukan langsung menjawab Astrid malah senyum malu-malu. Membuat Tami langsung memicing mata sambil mengecap bibir dan bergeleng. “Mau nge-date ya?” tebaknya.

Astrid langsung mengangguk-angguk. “Boleh gak?”

Dahi Tami berkerut, “Ya boleh lah! Mana kuncinya?” Ia menadahkan telapak tangan dan menerima kunci mobil Astrid. Sekarang paham kenapa saat berangkat kerja tadi pagi Astrid berdandan sedikit lebih heboh daripada biasanya. Mulai masuk akal karena ternyata hari ini dia menggantikan Mia, pergi menemui Lucas untuk membahas perkembangan situs web rumah sakit. Dan ternyata, mereka akan kencan setelah ini.

“Yaudah have fun, gue duluan ya!” pamit Tami.

“Eh Mbak!” Panggil Astrid lagi. “Jangan lupa bilang ke pengelola perihal renov apartemen sebelah.” Ia mengingatkan.

Tami mengangguk, “Oke!” sahutnya lalu melambaikan tangan dan berjalan ke arah lift.

Kalau tak Astrid ingatkan, bisa saja dia lupa. Padahal dia dan Astrid sudah merasa terusik selama beberapa hari terakhir. Unit apartemen sebelah mereka sepertinya punya penghuni baru dan sedang direnovasi. Tapi yang paling menjengkelkan adalah cara renovasinya yang tidak tuntas sekaligus. Pekerjaannya dilakukan sedikit-sedikit, hanya berlangsung beberapa jam di sore hingga menjelang malam hari. Alhasil, prosesnya molor lama dan bunyi bising itu tak kunjung berhenti, padahal sudah hampir dua minggu berlalu. Benar-benar mengganggu ketenangan.


“Nanti sampai apartemen langsung ke pengelola, deh,” gumamnya.

Saat ia masuk ke dalam lift, dirinya sendirian di ruang sempit itu. Matanya tanpa sengaja tertuju pada papan petunjuk di dinding lift yang mencantumkan departemen dan ruangan di setiap lantai rumah sakit. Pandangannya tertahan pada tulisan yang menunjukkan letak poli penyakit dalam.

Dia berkedip lambat, bola matanya bergerak perlahan ke sudut, dan saat pintu lift terbuka di lantai lobi, dia sempat ragu untuk melangkah keluar. Nafasnya tertahan sesaat, tapi akhirnya kakinya tetap melangkah, meninggalkan lift dengan perasaan mengganjal.

Sepanjang ia melangkah, hatinya terus resah. Ia melirik ke jam tangannya, mengecek waktu, ia tahu ia masih sempat untuk mengecek sesuatu, tapi keraguannya menahannya untuk berbalik. Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri sambil pikirannya terus berkecamuk antara ingin pergi atau menuruti rasa ingin tahunya.

“Ah!” keluhnya hampir tanpa suara, tak tahan lagi dengan ganjalan di hatinya. Tami pun berbalik badan, bermaksud untuk kembali ke arah lift dan meninggalkan niat awalnya.

Namun, sesaat kemudian, matanya menangkap sesuatu. Langkahnya terhenti mendadak, tubuhnya membeku di tempat. Dunia seakan berhenti berputar.

Di ujung koridor yang remang-remang, berdiri seseorang yang memang ingin dia pastikan keberadaannya.


Di sisi lain, Kavi Praditto yakin, dirinya adalah pria tiga puluh tahun yang telah mencapai titik ketenangan tertinggi dalam hidupnya. Badai kehidupan yang dijalaninya, kecelakaan, koma, patah hati, telah mengembalikan kemampuannya untuk tetap dingin dan tak terguncang saat menghadapi situasi apapun, kembali seperti dirinya yang dulu. Penuh pengendalian diri yang matang dan tak terguncang oleh apapun. Ia mengira tak ada lagi di dunia ini yang mampu membuat detak jantungnya berdegup kencang tanpa izin, tak ada lagi kejutan yang bisa meluluhlantakkan benteng ketenangannya yang sudah begitu kokoh dibangun, dikembalikan dari pelajaran panjang di masa lalu.

Tapi semua keyakinan itu runtuh dalam sekejap.

Di sana, di tengah lobi rumah sakit yang terang benderang, berdiri seseorang dari masa lalunya yang paling indah sekaligus menyakitkan. Tami.

Kavi termangu, tubuhnya membeku di depan ruang dokter. Seluruh kemampuannya untuk mengenakan topeng ketenangan, menguap begitu saja. Ekspresinya saat ini, pasti terlihat sangat bodoh, tapi ia tak kuasa untuk mengontrol. Dunia seakan menyempit hanya kepada sosok wanita itu. Senang, kaget, bingung, semua rasa bergejolak menjadi satu pusaran emosi yang mematikan semua fungsi logikanya. Terpancar jelas lewat wajahnya.

Lihat selengkapnya