AS YEARS GO BY

Arisyifa Siregar
Chapter #40

40. Dalam Genggaman

Sepanjang jalan, hampir tak ada obrolan yang terjadi. Tami fokus mengemudi dengan kedua tangan erat memegang setir, sementara Kavi diam-diam mengamati setiap gerakannya. Di balik sikapnya yang terlihat tenang, matanya tak pernah lepas dari wajah Tami, memandangi setiap ekspresi kecil, setiap gerak matanya yang fokus pada lalu lintas di hadapan. Dalam diam itu, hatinya dipenuhi oleh rasa rindu yang akhirnya terobati, dan kebahagiaan sederhana yang terasa begitu besar.

Namun begitu mereka sampai di depan klinik, suasana berubah. Begitu Kavi turun dari mobil, Tami terdiam. Tangannya masih menggenggam setir, matanya menatap plang klinik yang terkena sinar matahari sore. Hatinya bergerak dengan sedikit kecamuk. Tempat ini bagai memiliki empat musim baginya.

Ada musim panas, saat api asmara antara dia dan Kavi mulai membara lagi, setelah perpisahan lima tahun yang panjang, dipenuhi tawa dan harapan yang hangat. Lalu berubah menjadi musim gugur, ketika dirinya mulai hancur berkeping-keping menunggu Kavi yang hilang tanpa kabar, bagai daun-daun keraguan berjatuhan dan mengering, dirinya luluh lantak oleh takdir yang lagi-lagi tak bersahabat.

Setahun kemudian, tempat ini berubah bagai musim dingin, karena dirinya, yang sudah tahu alasan Kavi menghilang selama setahun, yang tahu penderitaan apa yang pria itu alami, memilih menolak perasaan Kavi dan meninggalkannya begitu saja, tepat ketika pria ini sedang terluka dan paling membutuhkannya. Hawa dingin penyesalan menyelimuti sepanjang tiga bulan ini.

Dan sekarang, di depan klinik yang kembali beroperasi, plang yang bersih tergantung, pot tanaman yang tertata rapi, dan pintu kaca yang mengkilap, Tami merasa ada sesuatu yang baru. Udara segar yang ia hirup seakan membawa kehangatan yang berbeda. Apakah ini tanda musim semi tiba? Musim dimana yang beku mulai mencair, tunas-tunas harapan muncul perlahan, dan ia berdiri di sini, tidak kabur, memutuskan untuk turun dari mobil dan menghadapi semua ini, memulai dari awal lagi?

Kavi ikut terdiam, terus menatap Tami yang kelihatan sibuk dengan pikirannya sendiri.

“Kamu gak mau makan malem dulu?” tanya Kavi memecah hening, suaranya lembut bersama angin sore yang mengusap pelan.

Tami menoleh. Di antara sisa-sisa cahaya senja, mata mereka bertemu dan saling mengunci. Tidak ada ledakan emosi, tidak ada drama yang berlebihan. Hanya ada tangan Kavi yang perlahan terulur, meraih tangan Tami dengan hati-hati, seperti menyentuh sesuatu yang sangat berharga dan tak boleh tergores. Ujung jari mereka bersentuhan dan mulai bertaut, dan dalam keheningan itu, seluruh rindu yang tertahan selama berbulan-bulan seakan menemukan bahasanya sendiri.

Apakah ini benar untuk dilakukan sekarang? Tami tidak tahu. Tapi bukankah kebenaran itu relatif tergantung dilihat dari sisi mana? Dan saat jari-jari mereka semakin erat bergenggaman, Tami memutuskan untuk berhenti memikirkan tentang penilaian benar salah. Tiga bulan lalu, memang dia masih menangis karena hubungannya dengan Julian berakhir, tapi sekarang ia mengerti bahwa yang ia cari selama ini bukanlah tindakan paling benar untuk dilakukan apalagi persetujuan orang lain untuk melakukannya, melainkan kejujuran pada dirinya sendiri. Melakukan apa yang paling ingin ia lakukan.

Ya, Tami lelah berlari dari perasaannya. Ia lelah menyangkal bahwa di balik semua kekurangan dan luka, Kavi adalah bagian dari dirinya yang tak tergantikan. Hari-hari tanpa Kavi terasa hampa. Ia bisa hidup mandiri, tapi hidup tanpa Kavi terasa seperti kehilangan separuh jiwanya. Kavi, bukan lagi seorang pria, atau sosok pribadi berbeda, ia menjadi kebutuhan dalam hatinya, sesuatu yang bahkan alam bawah sadarnya tahu, tak bisa dipisahkan dari dirinya sendiri.

Dengan keyakinan yang pelan namun pasti, Tami mengaitkan jarinya lebih erat pada genggaman Kavi. Ia menarik tangan pria itu dengan lembut, membuat tubuh Kavi membungkuk sedikit. Kemudian, Tami berjinjit, mengecup pipi Kavi dengan penuh kelembutan manis.

"Aku juga kangen," bisiknya, memberikan jawaban yang sempurna untuk semua pernyataan beberapa waktu lalu. Bukan pertanyaan Kavi barusan.

Senyum Kavi merekah lebar, matanya berbinar seperti anak kecil yang mendapat hadiah terindah. Tanpa basa-basi, ia merengkuh Tami dalam pelukan erat, menenggelamkan wajahnya di bahu wanita itu, menghirup dalam-dalam wanginya yang sangat ia rindukan.

"Aku masakin spaghetti mau?" tawarnya, suaranya tertahan oleh bahu Tami.

"Em," gumam Tami, masih tidak mau melepas pelukan, wajahnya tetap tersembunyi di dada Kavi yang hangat.

Dan untuk pertama kalinya dalam tiga bulan terakhir, keduanya merasa bahwa segala luka dan rindu akhirnya mulai menemukan jalan pulang. Bahwa tak ada lagi yang bisa menahan mereka untuk meluapkannya.

***

Tami duduk di pinggir kasur di kamar lantai dua klinik, jari-jemarinya asyik menggeser layar ponsel sembari membaca ulang webcomic karya Duna yang sedang hiatus karena si pemilik karya sedang sibuk mengurus bayinya. Sesekali ia terkikik geli, meski bukan kisah nyata sepenuhnya, webcomic itu terinspirasi dari cerita cinta sahabatnya itu dengan kakaknya, Tria, jadi ada sensasi menggelitik setiap kali ia menyelami panel-panelnya. Membayangkan kakaknya sendiri bertindak romantis seperti itu ke Duna. Ia tak bisa berhenti tertawa.

Dan tentu saja, ada karakter versi dirinya di sana, menyenangkan sekaligus aneh melihat diri sendiri dari kacamata orang lain.

Matanya sesekali mencuri pandang ke jam dinding. Saat dia datang tadi, Kavi memintanya untuk langsung naik ke atas karena pegawainya akan segera datang dan dia tak ingin Tami merasa risih dipandangi. Alhasil Tami duduk sendirian di dalam kamar yang familiar dengannya ini, sudah satu jam lamanya, menunggu Kavi kembali setelah selesai jam prakteknya. Kini, di balik kesendiriannya, ia mulai menyadari sesuatu yang janggal.

Ia menurunkan ponselnya, tatapan perlahan menyapu ruangan. Ranjangnya masih ada, tapi tak ada koper, tak ada tumpukan buku atau barang-barang pribadi Kavi seperti dulu. Ruangan ini terasa kosong. Terlalu bersih, terlalu steril, seperti kamar tamu yang jarang dipakai, bukan kamar seseorang yang benar-benar tinggal di dalamnya.

Dimana Kavi tinggal sekarang, kalau bukan di sini? Keluarganya sudah pindah ke Singapura, dan selama ini Tami berasumsi ia masih menetap di klinik. Tapi ruangan ini bicara lain, tidak ada jejak kehidupan sehari-hari di sini.

Tami mengambil sepotong buah yang disuguhkan Kavi untuk menemaninya menunggu, mengunyahnya pelan sambil pikirannya berputar cepat. Menerka-nerka dimana pria itu tinggal sekarang, ketika pintu mendadak terbuka.

“TAMI!” seru Kavi tiba-tiba, suaranya menggema di ruangan yang sunyi.

Tami terkejut hingga tersedak potongan buah yang sedang dikunyahnya. Ia batuk-batuk sambil memukul-mukul dada, wajahnya merah menyala.

Lihat selengkapnya