Tami terpaku di depan pintu apartemen yang bersebelahan dengan unitnya sendiri. Mulutnya menganga, sementara kedua matanya berkedip pelan, tak percaya dengan apa yang baru saja disaksikannya. Rangkaian kejutan yang diciptakan Kavi hari ini bagai tak ada ujungnya. Dan inilah puncaknya.
Setelah pertemuan tak terduga di rumah sakit, pernyataan rindu yang disampaikannya secara spontan, ajakan makan malam yang mendadak, kejutan di depan pintu, ciuman yang tiba-tiba, hingga kenyataan bahwa dia sudah mampu kembali mengemudi, terbukti dengan dia yang menyetir sendiri kesini tadi, semuanya berlangsung bak rangkaian fiksi.
Kini, setelah Tami sempat dibingungkan oleh alasan mereka justru menuju apartemennya, ke lantai yang sama, dan sempat mengira Kavi mengurungkan niat untuk menunjukkan tempat tinggal barunya karena larut malam, jadi mungkin memutuskan untuk mengantarnya pulang, ternyata, apartemen sebelah yang selama dua minggu direnovasi itu adalah kediaman barunya.
“Kapan kamu pindah kesini?” tengok Tami, mencoba mencari raut bercanda di wajah Kavi, tapi tak ada.
“Hari ini,” sahut Kavi, ditambahkan senyum.
“Ha?” Tami tak percaya. Meski tak kelihatan sedang bercanda tapi keadaan ini dan jawaban Kavi sulit untuk dianggap serius.
“Serius!” ujar Kavi seperti tahu isi pikiran Tami, lalu mengeluarkan kunci dari saku celananya, dan membuka pintu apartemen di hadapan mereka. “Kamu orang pertama yang aku undang!”
Tami masih tertegun, masih tak percaya, tapi di hadapannya, Kavi kini sedang bergerak masuk, melepas sepatunya dan menaruhnya di rak yang ada dibalik pintu.
“Ayo masuk!” ajaknya, lalu menyalakan lampu ruang tamunya.
Tami masih dalam kondisi setengah tak percaya ketika ia melangkah masuk ke dalam apartemen Kavi. Matanya yang besar semakin membulat, menyapu setiap sudut ruangan dengan pandangan yang penuh decak kagum dan rasa penasaran. Nafasnya hampir tertahan di tengah kerongkongan.
Interior apartemen itu jauh melampaui ekspektasinya. Desainnya modern-minimalis namun terasa hangat, didominasi palet warna earthy tone yang cerdas dipadukan dengan aksen kayu dan tanaman hias di sudut-sudut strategis. Pencahayaan yang hangat dan terukur menyinari setiap bagian ruangan dengan sempurna, menciptakan bayangan-bayangan lembut yang menari di dinding.
Perabotan yang dipilih pun tidak main-main, sofa kulit lembut berwarna taupe, meja kayu solid, rak buku tinggi yang dipenuhi koleksi literatur dan beberapa figurine, serta karya seni abstrak yang digantung dengan penuh perhitungan di atas panel dinding. Semuanya berpadu dalam harmoni yang elegan, mencerminkan selera seorang Kavi yang sophisticated dan penuh perhatian pada detail.
Dibalik kekagumannya, Tami merasakan denyut kebahagiaan yang pelan namun pasti. Ada sesuatu yang menggembung di dadanya, rasa haru karena Kavi ternyata akan tinggal begitu dekat, secara harfiah hanya sepetak dinding yang membatasi mereka. Ia juga merasa sedikit malu, karena selama ini mengira unit sebelahnya hanya sedang direnovasi biasa, tanpa pernah menyangka bahwa calon penghuninya adalah orang yang paling ia rindukan.
Dan ketika matanya akhirnya bertemu dengan pandangan Kavi yang sudah mengamatinya dengan senyum kecil puas, Tami sadar: ruang ini bukan hanya sebuah apartemen. Ini adalah bagian dari perasaan Kavi padanya. Dan entah mengapa, ia tidak bisa menahan senyum lebar yang akhirnya merekah di bibirnya, melebur menjadi satu dengan perasaan hangat yang tiba-tiba membanjiri seluruh tubuhnya.
“Kamu sengaja milih apartemen ini?” Tanya Tami.
“Em!” Angguk Kavi penuh semangat, seperti sudah menunggu-nunggu untuk ditanya.
“Kenapa?” Alis Tami naik sebelah.
“Ya karena kamu lah!” sahut Kavi sambil mengusap pipi Tami. “Aku sebenernya udah beli dari dua bulan lalu, tapi baru aku putusin buat aku tempatin dua minggu lalu, abis ngobrol sama Luna di telepon.”
“Beli?” pekik Tami. “Kamu beli? Bukan sewa?”
Melihat tanggapan Tami, Kavi menyemburkan tawa. “Iya, aku udah bilang kan uang aku banyak!”