Tami membuka kelopak matanya secara perlahan, seiring dengan kesadarannya yang berangsur pulih setelah terlelap delapan jam dalam tidur yang nyenyak, sebuah kemewahan yang kini kembali ia rasakan setelah sekian lama.
Pancaran cahaya pagi menyelinap lembut dari balik tirai jendela, menyapa pupil matanya yang masih beradaptasi. Hidungnya menangkap aroma familiar yang melekat pada bantal, wanginya Kavi, sebelum beralih pada harum menggoda yang menyelinap melalui celah pintu, aroma sarapan yang sedang dimasak. Perlahan, tangan dan kakinya mulai bergerak, dan telinganya menangkap suara desisan samar-samar dari arah dapur. Bibirnya secara otomatis membentuk senyum manis, sementara imajinasinya sudah membayangkan rasa makanan yang sedang diolah.
Dia lalu bangkit dan duduk di tepi tempat tidur, mengikat rambutnya yang terurai dengan karet gelang yang melingkar di pergelangannya. Dengan kaki telanjang, ia berjalan keluar kamar. Di ambang pintu, ia langsung berbelok dua kali ke kiri, menuju sumber suara, dan menemukan Kavi yang tengah asyik berdiri di hadapan kompor, begitu fokus hingga tidak menyadari kehadirannya.
Tami mendekat dengan jinjit, senyum mengembang, lalu kedua tangannya meraih pinggang Kavi dari belakang. Dipeluknya erat tubuh itu, wajahnya menempel pada punggung Kavi yang bidang, menghirup dalam-dalam kehangatannya.
Kavi tersenyum, tangan kirinya bergerak memegangi lengan Tami yang melingkarnya. Api kompor dikecilkannya, lalu ia berbalik badan perlahan. "Kok udah bangun?" tanyanya lembut.
Tami mendongak, matanya berbinar penuh keceriaan. "Kamu masak apa?" ujarnya dengan nada manja.
"Pancake sama omelette," jawab Kavi sambil memeluknya balik. "Kamu mau makan yang lain?"
Tami menggeleng. "Tapi aku mau minum teh tawar," pintanya.
"Nanti aku buatin," Kavi mengecup dahi Tami. "Kamu mandi dulu aja."
Tami mengangguk, melepaskan pelukannya perlahan. "Aku pulang dulu, ya!" ucapnya sebelum berbalik. Namun, baru beberapa langkah, ia kembali mendatangi Kavi, berjinjit dan mengecup bibirnya dengan cepat.
Saat Kavi mencoba merengkuh dan mendekatkannya lagi, Tami dengan sigap menempatkan telapak tangannya di antara kedua bibir mereka. "Aku mandi dulu!" tekannya, berhasil mengendalikan situasi.
Kavi tertawa tanpa suara, matanya berbinar. "Oke, oke," ujarnya sambil mengacak-acak rambut Tami dengan lembut.
"Daaah!" ucap Tami sambil melambai, kali ini benar-benar berjalan keluar dari apartemen Kavi dan kembali ke tempat tinggalnya sendiri.
Sesampainya di apartemennya, Tami langsung disambut sorot mata tajam penuh selidik dari Astrid yang sedang duduk di ruang tamu sambil asyik menyantap roti panggangnya. Gadis itu memandangnya dengan pandangan menyamping yang sarat makna, campuran antara rasa penasaran dan sikap menggoda yang khas. Tami hanya bisa terkekeh geli, merasa seperti remaja yang ketahuan pulang larut malam dan berusaha tampak wajar agar lolos dari interogasi.
"Nginep lagi, Mbak?" tanya Astrid, suaranya berhasil dibentuk semirip mungkin dengan tone seorang ibu yang sedang memergoki anaknya, iseng tapi penuh arti.
Sekali lagi Tami terkekeh, tak bisa menyembunyikan senyum kecut. "Ketiduran lagi," jawabnya jujur, sambil melepas sandal.
Memang belakangan ini ia beberapa kali bermalam di apartemen Kavi, tapi selalu tanpa direncanakan. Setiap kali ia berada di sana hingga larut, kantuk selalu datang menyergap tiba-tiba, entah karena kenyamanan yang ia rasakan di dekat Kavi, atau memang tubuhnya sengaja menolak pulang saat rasa lelah itu datang.
Ia masih ingat persis pertama kali ia ketiduran di sana. Keesokan paginya, Kavi bercerita dengan wajah lucu bagaimana ia berusaha menggendong Tami yang sudah lelap untuk dibawa pulang. Tapi Astrid, dengan disiplin tidurnya, tak kunjung membuka pintu meski bel sudah ditekan berulang kali. Akhirnya, dengan susah payah, Kavi membawa Tami kembali ke apartemennya dan membaringkannya di kasur. Sementara ia sendiri rela tidur di sofa. Saat Tami bertanya kenapa, Kavi menjawab dengan kombinasi kelakar dan kejujuran, "Aku gak percaya sama diri aku sendiri. Tar malah kamu yang aku ganggu."