AS YEARS GO BY

Arisyifa Siregar
Chapter #43

43. Hari-Hari yang Biasa

Kavi terbaring santai di atas sofa, kedua tangannya mencengkeram erat ponsel yang diposisikan horizontal. Sorot matanya tertancap tajam pada layar, sepenuhnya terserap dalam pertempuran virtual yang sedang ia jalani. Jari-jemarinya menari lincah menyentuh layar, sesekali menggeram kecil ketika strateginya berhasil atau ketika nyaris dikalahkan lawan. Ia sengaja menghabiskan waktu dengan game online sembari menunggu Tami menyelesaikan pekerjaannya, menikmati momen tenang bersama dalam keheningan yang nyaman.

Di lantai, Tami baru saja mengirimkan email terakhirnya. Dengan letih ia menutup laptop di atas meja. Tubuhnya yang bersandar pada kaki sofa berputar perlahan, matanya mengintip layar ponsel Kavi. Senyum kecil mengembang di bibirnya saat melihat api kompetitif yang berkobar di mata Kavi. "Lagi main sama Yiran?" tebaknya lembut, sudah hafal betul bagaimana semangat pertarungan Kavi mencapai puncaknya hanya ketika berhadapan dengan rival abadinya itu.

Tanpa mengalihkan pandangan dari layar, Kavi mengangguk singkat. "Dia kali ini pake karakter baru," gumannya, jari-jemarinya tetap menari dengan gesit. "Tapi kayaknya masih belum bisa ngalahin combo attack aku."

Tami mengamati dengan penuh kasih, memperhatikan bagaimana alis Kavi berkerut ketika konsentrasinya memuncak, bagaimana bibirnya mengencang ketika pertarungan semakin sengit. Dalam diam, ia merasa terharu melihat bagaimana pria ini bisa begitu bersemangat pada hal-hal yang tampak sederhana, namun berarti baginya.

"Menang?" tanya Tami setelah melihat layar ponsel Kavi menunjukkan tulisan "VICTORY".

Kavi akhirnya menurunkan ponselnya, wajahnya merekah menjadi senyum lebar yang penuh kemenangan. "Iya dong," jawabnya bangga, sebelum meregangkan tubuhnya yang kaku. "Dia emang jago, tapi masih perlu latihan lagi untuk ngalahin aku."

Tami tersenyum, lalu bangkit dan duduk di tepian sofa, tangan mungilnya dengan lembut merapikan rambut Kavi yang berantakan akibat aksinya bermain game tadi. Matanya kemudian beralih menatap jam dinding yang berdetak konsisten. “Kamu mau makan apa malam ini?” tanyanya kemudian, suaranya berbinar penuh perhatian.

Dengan alis yang terangkat penuh rasa penasaran, Kavi bangkit dan duduk lebih tegak. “Kamu mau beli makan di luar? Aku masak aja,” tawarnya ramah, siap menyambut kesempatan untuk memamerkan keahlian memasaknya.

“Bukan,” sanggah Tami dengan gelengan kepala, senyum kecil mengembang di bibirnya. “Aku yang mau masak.”

Mata Kavi membulat tak percaya, “Kenapa? Aku aja yang masak. Aku bikinin steak favorit kamu...” ujarnya sambil beranjak berdiri, namun tangan Tami tiba-tiba menarik pergelangan tangannya dengan lembut hingga tubuhnya terjatuh kembali ke sofa.

“Aku aja!” tekad Tami terdengar jelas, matanya berbinar dengan semangat yang tak terbantahkan. “Sesekali biar aku yang masak.” Ia segera bangkit dari sofa dan berjalan mantap menuju dapur.

Saat melangkah, jari-jari Tami merogoh saku celana cargo hitamnya, menyentuh sesuatu yang tersembunyi di dalamnya sebelum akhirnya menarik tangannya kembali. Dengan hati-hati ia membuka pintu lemari es, mengeluarkan bahan-bahan makanan yang tertata rapi, sementara pikirannya terus berkecamuk. Di antara bayangan sayuran dan bumbu dapur, ada tekad bulat yang mengeras dalam hatinya, malam ini, ia akan memberikan sesuatu yang spesial untuk Kavi, lebih dari sekadar hidangan makan malam.

Beberapa hari yang lalu, Tami menyempatkan diri menemui Duna dan Raina. Sebagai satu-satunya di antara mereka yang masih belum juga melangkah ke dalam ikatan pernikahan, ia merasa perlu meminta pandangan dan wejangan dari kedua sahabat yang paling memahami perjalanan hidupnya itu. Dengan suara yang kadang tercekat, ia mengungkapkan segala perasaan yang bergejolak dalam dadanya, tentang kehidupan barunya bersama Kavi, tentang kebahagiaan yang kembali ia rasakan, namun juga tentang keraguan dan kekhawatiran yang sesekali menyusup di tengah malam.

Ia mengira akan mendapat ceramah panjang lebar, atau mungkin teguran halus, atau setidaknya nasihat berbentuk daftar yang harus ia ikuti. Namun, yang ia terima justru dua pertanyaan pendek yang menyentak kesadarannya.

Duna, dengan gayanya yang penuh kehati-hatian, bertanya, “Ini bukan soal nikah atau gak nikah, bukan juga soal status dari pacar jadi istri. Tapi, menurut lu, apa Kavi adalah seseorang yang benar-benar lu butuhin dalam hidup lu?”

Sementara Raina, dengan blak-blakan khasnya jika sudah berhubungan dengan masalah Kavi, menambahkan, “Di luar keinginan Kavi, di luar tekanan sosial tentang pernikahan, di luar segala hal yang lu rasa ‘harus’ lu lakukan, apa lu sendiri, dalam hati, pengen ubah kehidupan lu yang sekarang ini, dari yang bebas sendiri menjadi berbagi hidup sepenuhnya sama Kavi?”

Dua pertanyaan itu menggelayut dalam pikiran Tami, bergema di setiap sudut kesadarannya, mengusik zona nyaman yang selama ini ia jaga. Dan kini, sambil mempersiapkan makan malam untuk mereka berdua, ia merasa sudah mantap dengan jawaban atas kedua pertanyaan itu.

Kavi mendekat dengan langkah senyap, hingga tanpa disadari Tami, ia sudah berdiri tepat di belakangnya. Pelukannya yang hangat tiba-tiba melingkari bahu Tami dari belakang, disusul dengan ciuman lembut di ubun-ubun kepalanya. "Kenapa tiba-tiba mau masak?" bisiknya, suaranya bergetar rendah di dekat telinga Tami, seolah menyentuh ruang-ruang sunyi yang baru saja ia renungi.

Lihat selengkapnya