“Masih sakit nggak?” tanya Tami, suaranya lirih bagai desahan angin malam, sementara ujung jari-jarinya menjelajah dengan amat hati-hati di atas kulit Kavi. Sentuhannya ringan, nyaris tak berani menekan, menyusuri garis bekas jahitan di bahu dan dadanya yang masih nampak jelas. Keduanya terbaring dalam kelegaan, hanya diselubungi selimut tipis, hampir tanpa sehelai benang pun membatasi kulit mereka yang saling bersentuhan. Kehangatan tubuh mereka melebur menjadi satu, menciptakan sebuah ruang privat yang hanya berisi desah nafas dan detak jantung yang beriringan.
Minggu lalu, mereka telah menyatukan janji. Sebuah pernikahan yang jauh dari hingar-bingar, tanpa upacara megah atau pesta yang meriah. Keduanya sepakat untuk menolak segala bentuk kemewahan yang tak perlu. Pernikahan mereka lebih menyerupai sebuah jamuan makan akrab bersama keluarga, diselenggarakan di Singapura, sebuah titik netral yang mempertemukan keluarga angkat Kavi dan ibu Tami. Sederhana, singkat, namun sarat dengan makna dan kehangatan yang justru itulah yang mereka dambakan.
Setelah tiga hari berada di Singapura, mereka pun kembali ke apartemen Kavi, yang kini telah resmi beralih status menjadi rumah mereka. Hari-hari sisa cuti pernikahan itu direncanakan, atau lebih tepatnya, tidak direncanakan, untuk dihabiskan hanya dalam pelukan satu sama lain di dalam tembok apartemen yang nyaman itu. Setiap detik adalah tentang merajut kembali kedekatan, tentang menjadi lengket dan tak terpisahkan, mengejar semua waktu yang sempat hilang dalam kecemasan dan keraguan.
“Nggak,” jawab Kavi kemudian, suaranya dalam dan bergetar halus oleh luapan rasa syukur. Tangannya yang besar dan hangat menggenggam erat jemari Tami, menariknya perlahan ke arah bibirnya. Ia lalu menciumnya dengan lembut, “Rasanya… justru lebih baik sekarang. Selalu jadi lebih baik setiap kali kamu sentuh.”
“Ish! Mulai lagi deh!” protes Tami, suaranya setengah tertahan tawa, meski pipinya memerah. Tangannya mencoba melepaskan diri dari genggaman Kavi, tapi itu hanya setengah hati.
Kavi tak menggubris protes kecil itu. Dengan lembut tapi pasti, ia menarik tangan Tami yang tergenggam, mendekatkan wajahnya hingga napas mereka nyaris berbaur. “Selamanya nggak akan cukup,” bisiknya serak, sebelum menutup jarak yang tersisa.
Ciuman itu tidak lagi selembut tadi. Dalam, penuh hasrat yang lama tertahan, membakar setiap sudut bibir mereka. Lidah Kavi menari dengan lidah Tami dengan kenikmatan yang membuat Tami merinding, tangannya merayap ke punggung Kavi, menariknya lebih dekat, hingga hampir tak ada celah di antara tubuh mereka yang hanya dibalut selimut. Dunia seakan lenyap, hanya tersisa desahan dan erangan kecil yang saling bersahutan.
Namun suara getaran muncul.
Keduanya terkejut, berpisah secara reflek. Suara dering ponsel mereka berbunyi benar-benar bersamaan, memecah kesunyian yang baru saja dipenuhi gemuruh nafas.
Tami meraih ponselnya di meja samping tempat tidur. Matanya membesar membaca pesan dari Duna: “Tam, gue lagi jalan ke apartemen lu. Ada yang mau gue omongin.”
Hampir bersamaan, Kavi mendecak heran melihat layarnya. Pesan dari Yiran: “Kav, urgent. Ketemu sekarang. Gue bentar lagi sampe di klinik lu.”
Mereka saling memandang, sama-sama bingung. “Kebetulan banget,” gumam Tami, mengusap bibirnya yang masih basah.
“Iya,” Kavi mengangguk, meski sedikit heran, tak ada kecurigaan khusus. Bagaimanapun, Duna dan Yiran tak saling terhubung.
Setelah menukar satu ciuman pendek lagi yang penuh janji dan kehangatan, mereka akhirnya beranjak dari kelembutan tempat tidur. Kavi melangkah terlebih dahulu menuju kamar mandi, meninggalkan Tami yang masih terbungkus aura mesra. Sementara menunggu giliran, Tami mengambil ponselnya dan membalas pesan Duna yang telah menunggu.
Tak lama berselang, setelah Kavi bergegas keluar dengan alasan menemui Yiran untuk urusan ‘bisnis yang mendesak’, bel apartemen berbunyi memecah kesunyian.