Asa

Anjas Saputra
Chapter #1

BAB 1 : Semua bermula

“Vivi? Nduk?” sahut suara ibu-ibu sayup-sayup dari luar kamar. Ketukan pintu turut yang berulang kali terdengar membuat amarah dari perempuan itu makin menjadi jadi.

Dia ambil bantal putih yang sedari tadi ada di sampingnya, lalu ia menyumpalkannya di kepalanya. Dia posisikan bantal itu akan sebisa mungkin menutup kedua daun telinga, seolah-olah dirinya berharap pada saat itu juga dirinya tuli.

Perempuan itu sedang tidak dalam kondisi baik-baik saja. Rambutnya acak-cakan bak orang bangun tidur. Bahkan rambut singa pun apabila dibandingkan dengan rambut perempuan itu saat ini, rasanya jauh lebih mulus dan elegan milik sang singa. Raut mukanya kecut pasi, matanya memerah akibat menahan isak tangis sedari tadi.

Sudah ada berapa jam rasanya perempuan itu mengurung diri di kamarnya. Dirinya mengisolasi keberadaannya dari dunia luar, dari keluarganya, dari teman-temannya dan orang-orang ia kenal. Fitrah manusia yang merupakan mahkluk sosial ia buang jauh-jauh waktu itu. Dirundung badai masalah yang baru saja ia timpa, membuat perempuan itu seolah kehilangan asa dalam hidupnya.

Bagaimana tidak? Hidupnya yang dia pikir akan berubah layaknya seorang princess, tiba-tiba saja musnah begitu saja bagai kastil pasir di pinggir pantai yang dilalap ombak. Segalanya langsung hilang sekejap mata, tak bersisa. Sungguh kacau balau rasanya hati Vivi saat ini. Sekali lagi, air mata mengucur dari kelopak matanya.

Tangannya menggenggam kuat-kuat bantal yang sedari tadi dia pegang. Kali ini, tidak hanya untuk membuat telinganya serasa tuli, tapi juga ingin sesenggukkannya tidak terdengar oleh orang-orang di luar kamarnya. Vivi tahu pasti, orang-orang sudah berjejer menunggunya di luar sana, ingin mengetahui keadaannya saat ini bagaimana.

Tetapi, tidakkah mereka paham? Siapa coba orang yang bisa tenang, kalem dan happy ketika tahu dirinya gagal bertunangan dengan pujaan hatinya? Perempuan mana yang bisa menerima kenyataan kalau hubungan yang selama ini dia pertahankan, bertahun-tahun lamanya dengan harapan agar bisa langgeng, harus sirna dalam hitungan hari bahkan jam? Terlebih lagi, semua rencana dan angan-angannya untuk bisa lepas dari “nasib malang” nya ini kandas semua karena adanya orang ketiga.

Sungguh rasanya Vivi mau ngamuk dan membanting segala benda yang ada di hadapanya pada sat itu. Namun, akal sehatnya masih jalan dan mengontrol decision making nya sehingga dia bisa menahan amarahnya untuk tidak menghancurkan benda-benda kesayangannya. Terlebih lagi, barang-barang itu juga ia beli dengan harga yang yang terbilang tidak murah. Harga mahal rasanya menjadi sesuatu yang terasa mewah bagi dirinya dan keluarganya.

Vivi datang dari keluarga yang bisa dibilang tidak beruntung. Dia tidak seberuntung teman-teman di sekitarnya, sedari dirinya mengenyam pendidikan dasar hingga di usianya yang sudah mendekati kepala tiga ini. Dia tidak beruntung bisa terlahir dan hidup di keluarga yang berkecukupan. Bahkan terkadang, untuk memenuhi kebutuhan dasar bagi manusia pada umumnya saja keluarganya begitu kesulitan.

Sebagai anak tunggal, rasanya menjadi kewajibannya untuk bisa menaikkan harkat dan martabat keluarganya yang bisa dibilang sudah terlampau jauh dibanding dengan orang-orang sekitarnya. Terkadang rasa iba muncul dari ornag-orang yang bersimpati pada dirinya dan keluarganya. Namun, entah mengapa rasa simpati itu berubah makna menjadi sebuah pandangan sinis dan terkesan merendahkan terhadap keluarga Vivi. Seolah-olah mata mereka menipu dan batin mereka berkata yang lain.

Vivi sungguh ingin keluar dari nasib malang yang ia terima. Dia terkadang tidak terima kalau dia terlahir di keadaan semacam ini. Serasa dia ingin mengutuk orang tuanya atau siapapun yang telah menaruh nasib seperti ini padanya. Tetapi, ia tak bisa begitu saja melontarkan perkataan tersebut begiu saja. Bagaimana tanggapan orangtuanya mendengar ucapan tersebut keluar dari mulut anaknya? Bagaimana tanggapan orang-orang sekitarnya melihatnya layaknya orang gila? Dia tentu masih sayang pada orangtuanya, cuman mungkin bisa dibilang Vivi masih berada pada fase denial.

Dan semua penderitaan yang rasanya Vivi topang selama ini, berada di titik puncaknya ketika seseornag yang ia kira akan menjadi jalan keluar dari kenestapaannya, ternyata malah meninggalkannya begitu saja. Rendy, itulah nama lelaki bajingan tersebut. Sebenarnya, Rendy justru adalah lelaki yang begitu dicintainya.

Kisah romansa Vivi selama dia hidup tidaklah berjalan semulus kisah FTV di siang bolong, yang seringkali ia tonton di layar tv. Beberapa kali dia telah menjalin asmara dengan beberapa laki-laki. Namun entah kenapa, ada banyak halangan dan rintangan yang ia temui. Ketidakcocokan diantara keduanya membuat Vivi kadang memutuskan untuk menghentikan hubungannya dengan mantan-mantannya dulu.

Tetapi, terkadang dia juga berfikir apakah keputusannya untuk putus itu sudah benar? Apa jangan-jangan itu hanyalah dorongan implusif dari dalam batinnya yang spontan semata? Atau dirinya yang bisa saja terlalu halu dan berekspektasi lebih terhadap calon-calonnya tersebut.

Tidak banyak sebenarnya yang dia pinta. Hanya seseorang yang kiranya bisa bertutur kata dan tindak tanduk baik kepada dirinya dan juga keluarganya. Itu bare minimum bare minimum yang kiranya Vivi terapkan tiap kali dia bertemu dnegan lelaki baru di kehidupannya. Apabila disuruh menambah, mungkin beberapa kriteria seperti tidak merokok, mabuk, bertanggungjawab (atas diri sendiri dan Vivi nantinya) bisa menjadi pertimbangan lebih lanjut bagi Vivi.

Lihat selengkapnya