Ketika teman-teman kuliahnya memberikan Poppy julukan si mulut besar, itu karena dia memang suka bicara besar dan memang benar-benar memiliki mulut besar. Bibirnya begitu lebar sehingga rasanya jika memandang Poppy, orang tidak melihat mata, hidung dan bibir, melainkan satu bibir besar.
Sebagian besar orang percaya bahwa bibirnya merupakan hasil suntikan, tetapi Poppy selalu bersikeras bahwa bibir tebalnya itu alami. Dan tentu saja sebagian besar orang tidak memercayai hal itu, kecuali kalau dia bersikeras bahwa waktu kecil bibirnya disengat satu batalion lebah.
Poppy yakin bibirnya dipermasalahkan orang karena mereka iri akan hidupnya. Mungkin itu benar. Hidup Poppy nyaris sempurna. Dia menikah dengan Teddy, salah satu cowok idola kampus, memiliki karier bagus sebagai wartawan majalah wanita ternama dan dikaruniai putri cantik. Satu-satunya yang membuat hidupnya tidak sempurna adalah, rumah bagusnya di pinggiran Jakarta masih berstatus kontrakan.
Dan itu adalah situasi di mana Ayuni bisa mengalahkan Poppy.
“Halo, Poppy.” Dengan satu senyuman lebar, Ayuni membukakan pintu untuk sahabat lamanya. Seorang perempuan muda dengan potongan rambut bob tepat di bawah telinga melepaskan kacamata hitamnya. Meski Ayuni tidak menyukai Poppy, dia harus mengakui gaya busana Poppy selalu bagus. Hari ini, perempuan itu mengenakan blus merah bergaya kimono dipadukan dengan pencil skirt putih. Sebuah mini shoulder bag berwarna merah berpadu cantik dengan sepatu pump putih dari Jimmy Choo di kakinya. Dia menggandeng seorang anak perempuan sebaya Aldi dengan rok terusan berwarna merah.
“Halo, Saskia, kamu makin lucu aja,” puji Ayuni pada putri Poppy. Anak perempuan bergaun lilac itu hanya menunduk malu dan berpegangan pada ujung blus mamanya.
“Poppy! Kamu terlambat!” seru teman-teman Ayuni lain dari dalam rumah.
“Sori, guys. Aku harus menyelesaikan koreksi artikel yang mau naik cetak,” kata Poppy.
Poppy menatap seisi rumah Ayuni, mulai dari sofa panjang berwarna cokelat tua yang bergaya minimalis.
Ayuni memadukannya dengan karpet putih dan bantal electric pink sehingga membuat ruangan itu terkesan chic tanpa terkesan terlalu feminim.
“Gimana menurutmu, Poppy?” tanya salah satu teman Ayuni. “Rumah Ayuni bagus, kan?” Poppy tidak menjawab. Ayuni tahu Poppy tengah menilai rumahnya. Dia menatap kertas pelapis dinding ruang makan Ayuni yang berwarna merah muda, kemudian ke arah meja putih dan lampu klasik yang tergantung di langit-langit. Kalaupun rumahnya terlihat bagus, Ayuni yakin Poppy tidak akan mengakuinya.
“Omong-omong, berapa cicilannya, ya?” sambung yang lain. “Pasti besar sekali, ya?” Dia melirik Ayuni.