Asa, Cinta, dan Realita

Nurmaisyah
Chapter #2

RALLY IS NOT ONLY A RALLY

Pukul 15.30.

Alarm latihan berbunyi. Aku bergegas salat asar kemudian bersiap untuk latihan. Anak-anak sudah menungguku untuk streching. Hari ini kami memiliki waktu 2 jam untuk berlatih. Aku mempersiapkan lapangan. Sebuah jaring yang lebarnya sama dengan meja tenis ditempatkan dibelakangku untuk menampung bola yang dipukul anak-anak.

Aku berdiri di sisi kiri dengan keranjang berisi 300 bola di atas meja dan bersiap melepar bola untuk anak-anak didikku. Enam orang anak didik yang berasal dari kelas berbeda mengantre untuk melakukan pukulan. Mereka tampak menikmati saat kubiarkan melakukan pukulan forehand dan backhand selama 300 kali tanpa berhenti. Meskipun ada beberapa pukulan yang melesat, namun mereka tidak putus asa. Latihan bola banyak adalah dasar dari rally.

Kali ini aku mengadakan perlombaan kecil untuk memicu semangat mereka. Kami menghitung semua bola yang berhasil masuk ke dalam keranjang. Menjadikannya sebagai poin. Barangsiapa yang bolanya paling banyak, dia akan mendapat hadiah berupa gantungan kunci. Tentu saja mereka sangat senang mendapat tantangan itu. Inilah salah satu caraku agar pelatihan tidak membosankan.

“Latihan bola banyak itu sangat bermanfaat. Coba siapa di antara kalian yang tahu apa saja manfaat latihan bola banyak?” tanyaku di akhir sesi latihan.

“Melatih konsentrasi,” ucap Putri, murid yang paling rajin dalam latihan.

“Betul. Ada lagi yang tahu?”

“Melatih kecepatan.” Rangga, si tubuh kecil namun lincah, menambahkan.

“Bagus. Ada lagi?”

Mereka diam.

“Melatih kesabaran. Ingat dalam tenis meja, sabar adalah kunci agar kita bisa melakukan pukulan dengan cepat dan tepat,” jelasku dengan penuh semangat.

“Riany, kenapa bolamu paling sedikit?” tanyaku.

Anak yang ditanya hanya diam. Raut wajahnya terlihat sedih. Dia adalah murid yang paling senstif. Aku mendekatinya.

“Lihat Bapak!”

Riany menatapku. Sorot mata polosnya membuatku merasa tenang. Bukan hanya Riany, tetapi Putri, Rangga, Sania, Helmi, dan Alamanda. Mereka selalu membuatku merasa damai. Entah kenapa aku sangat menyayangi mereka.

“Kamu selalu terburu-buru dalam memukul. Saat bola jatuh di mejamu, lihat putaran bola dan taksirlah arah bola meluncur. Kemudian pukul dengan teknik yang sudah kamu kuasai. Ingat dalam latihan bola banyak sekali pun setiap bola yang kamu terima memiliki putaran, arah, dan jarak yang berbeda. Mengerti?”

“Mengerti, Pak,” jawabnya.

“Ada yang mau menambahkan lagi apa manfaat latihan bola banyak?” tanyaku.

“Melatih refleks kaki dan dan tangan,” jawab Putri. Dia memang murid yang paling cerdas.

“Ada lagi?”

Mereka menggeleng.

“Bola banyak mengajarkan kita tentang kegagalan dan bagaimana bangkit dari kegagalan dengan cepat,” ucapku.

Anak-anak itu termenung. Aku yakin mereka tidak mengerti dengan ucapanku. Tapi tanpa dimengerti pun mereka akan menguasai ini dengan sendirinya. Saat mereka berhasil di pukulan pertama hingga sepuluh ada kalanya di pukulan ke sebelas mereka gagal. Tetapi tidak akan ada waktu untuk menangisi kegagalan karena mereka harus bersiap untuk pukulan keduabelas dan pukulan-pukulan selanjutnya.

“Jadi siapa yang dapat gantungan kunci hari ini?”

“Putri!!!” jawab mereka bersamaan.

“Bagus. Untuk yang lain jangan pernah menyerah. Besok kita akan berlatih lagi, dan bersiaplah untuk memperebutkan hadiah selanjutnya,” ucapku.

“Apa hadiah selajutnya, Pak?” tanya Rangga penasaran.

“Rahasia. Pulanglah! sudah sore.” Aku meninggalkan ruangan latihan.

Lihat selengkapnya