Asa, Cinta, dan Realita

Nurmaisyah
Chapter #3

Bertukar Peran

“Pak Yusril, apa bapak sudah tahu atlet nasional kita ada yang mengundurkan diri? Padahal tahun depan dia harusnya ikut ASEAN Games, lho,” ujar Pak Ahmad seraya menyerahkan jurnal tenis meja.

“Oya, siapa?”

Pertanyaanku terhenti saat melihat wajah orang yang tidak asing terpampang di koran.

“Aris Hadi Wijaya, terpaksa mundur dari tim ASEAN GAMES, pegurus PTMSI pusat kecewa.” Aku membaca headline koran yang ditunjukan Pak Ahmad..

Ternyata Aris baru saja mengalami patah tulang pergelangaan tangan. Tentu saja dia tidak akan bisa bermain tenis meja karena kondisi tangannya yang sakit.

“Aneh, Pak. Padahal, kan, dia masih punya banyak waktu untuk sembuh. ASEAN GAMES bukannya tahun depan,” ucap Pak Ahmad lagi.

“Dia tidak mungkin ikut pertandingan karena meski bisa sembuh, tapi waktu latihannya sangat terbatas. Jadi dia lebih baik melimpahkan kehormatan itu pada orang lain dari pada tidak maksimal dalam latihan, lagi pula dia tidak benar-benar ingin menjadi atlet,” jawabku seolah mengerti dengan perasaan atlet nasional itu.

Aku mengenal Aris dengan baik. Pecinta tenis meja yang semangat, rajin, dan penuh dengan target adalah sifatnya yang terpublikasi. Namun aku lebih mengenal dia dari pada semua orang yang dekat dengannya.

“Sayang sekali, ya, Pak. Padahal dia atlet berbakat.”

“Ya. Begitulah, Pak. Bakat tidak menentukan seseorang bertahan di bidangnya,” timpalku. Pak Ahmad membereskan mejanya kemudian pamit pulang lebih dulu. Sementara pikiranku masih tertuju pada Aris Hadi Wijaya.

Aris adalah sahabatku. Aku bahkan tidak yakin apakah hubungan kami bisa disebut sebagai persahabatan. Selama bertahun-tahun kami saling memanfaatkan identitas satu sama lain. Hingga akhirnya kami sampai di satu titik di mana komunikasi kami terputus. Sejak kejadian menyakitkan itu, aku tidak berani menghubunginya. Terlebih aku merasa lebih banyak dirugikan.

Aku tidak membencinya, tidak bisa. Hanya saja aku bertanya-tanya kenapa dia bisa melanjutkan hidup dan berprestasi. Sementara aku berada dalam keterpurukan. Aku bahkan kehilangan duniaku.

***  

Aku lelah mendengar kebisingan di luar kelas. Sudah malam, tetapi pentas seni belu juga selesai. Semua orang meneriakan namaku. Ya, namaku memang sangat populer di kalangan para murid. Semua orang menyebutku penyanyi berbakat. Suaraku selalu menggemparkan seisi sekolah di setiap pentas.

Namun itu hanya namaku. Kenyataannya aku hanya diam di kelas dengan bosan di setiap pentas. Sahabatku, Aris, yang ada di atas panggung. Dia tampil dengan penuh percaya diri. Kemampuannya dalam seni musik memang tidak diragukan lagi.

Lihat selengkapnya