Langit malam itu menggantung kelabu seperti hati yang enggan berharap. Hujan turun bagai butiran harapan, bukan seperti badai, tapi seperti tangisan—lirih, namun tak bisa dihentikan.
Di sudut kota yang tak pernah disebut dalam peta pariwisata dan tersisih dari sentuhan kemewahan, lorong-lorong sempit menjadi tempat lahirnya banyak kisah yang tak pernah ditulis, apalagi dibacakan. Salah satunya adalah kisah tentang seorang perempuan yang tak pernah benar-benar hidup, tapi juga belum mati. Namanya Asih.
Asih bukan nama yang asing di tempat itu. Ia dikenal bukan karena kebaikannya, tapi karena tubuhnya yang diju~al seperti barang obral. Ia berjalan setiap malam dengan langkah yang tak pernah ringan, menyusuri jalan berlubang dan genangan air, membawa tubuhnya yang letih sebagai satu-satunya barang daga~ngan yang ia punya.
Tidak ada yang tahu siapa pelanggan terakhirnya malam itu, sama seperti tidak ada yang tahu siapa ayah dari a~nak yang sedang tumbuh dalam rahimnya.
Ia tidak menangis saat tahu ia hamil. Tidak ada air mata yang tersisa untuk ditumpahkan. Tangis sudah lama tak ia kenali, sesuatu yang hanya dimiliki mereka yang masih punya harapan. Asih merasa sudah tidak punya harapan, hanya perut yang makin membesar dan napas yang makin pendek.
Ia tinggal di sebuah kamar kecil di ujung lorong sempit yang dindingnya berjamur, atapnya bocor, dan lantainya dingin seperti hati dunia terhadap orang-orang sepertinya. Tempat tidur dari tikar usang dan selimut tipis menjadi satu-satunya benda yang bisa memeluknya. Tak ada suami, tak ada keluarga. Hanya dirinya, dan a~nak yang belum lahir di dalam perutnya.
"Aku minta maaf..." bisiknya malam itu pada langit-langit reyot kamar. Bukan kepada seseorang tertentu, tapi kepada hidup, kepada a~nak yang mungkin akan membenci dunia sejak lahir, kepada dirinya sendiri yang tak tahu caranya berhenti bertahan.
Hari demi hari dilalui dalam diam. Ia tidak lagi keluar malam. Tubuhnya sudah tak sanggup. Beberapa pekerja a~susila lain menyindirnya, ada yang mengejek, ada pula yang peduli dalam bentuk makanan sisa atau sekadar sapa basa-basi. Tapi tak ada yang benar-benar tahu apa yang dirasakan Asih: ketakutan, kelelahan, dan rasa bersalah yang menumpuk seperti debu di sudut kamar.
Lalu malam itu datang. Gerimis turun seperti taburan kesedihan dari langit. Tubuh Asih menggigil hebat. Kontraksi datang lebih cepat dari yang ia bayangkan. Tidak ada yang menolong. Tidak ada ambulan. Tidak ada bidan. Ia berjuang sendirian di lantai kamar, menggigit ujung selimut sambil menahan rasa sakit yang seperti ingin merobek dirinya dari dalam.