ASA CITA - Harapan Diatas Hinaan

Dadang Darmawan
Chapter #2

Tersisih

Waktu terasa bergerak begitu lambat bagi mereka yang terus menerus terluka. Hari berganti bukan untuk memberi harapan, melainkan untuk menumpuk letih yang belum sempat reda sejak lama. Seperti itulah hidup Asih. Sebuah nama yang tak pernah tercatat dalam buku manapun, tak pernah disebut dalam doa siapapun, dan tak pernah dirindukan oleh apapun.

Asih tidak pernah tahu siapa ayahnya. Ia lahir di tengah rumah reyot dengan atap seng karatan dan lantai tanah becek, di pelukan seorang perempuan miskin yang lebih sering marah daripada tersenyum. Ibunya bekerja sebagai buruh serabutan, kadang ‘menerima tamu’ jika beras sudah benar-benar habis. Ayahnya hanya legenda samar yang tak pernah muncul kecuali sebagai alasan untuk kemarahan yang meledak tiba-tiba.

“Kamu a~nak h*ram yang bahkan tak pernah aku harapkan.” Begitu kata ibunya yang sering Asih dengar ketika Ibunya marah.

Masa kecil Asih adalah kumpulan dari hari-hari lapar, malam-malam dingin, dan suara makian yang tak pernah hilang dari pendengarannya. Tidak ada mainan, tidak ada sekolah, tidak ada senyuman dan pelukan hangat. Setiap hari ia disuruh membersihkan rumah, menimba air, atau berlari ke warung mencuri satu dua butir telur untuk makan malam. Ia tidak tahu apa itu baik dan buruk, apalagi cinta. Tidak tahu bagaimana rasanya senang dan merasa aman.

Ketika a~nak lain yang seusianya belajar membaca, Asih sibuk mencuci piring dan menyapu halaman rumah orang. Ketika teman-teman sebaya mengenakan seragam sekolah dan menyanyikan lagu kebangsaan, Asih menyanyikan doa di dalam hati agar ibunya tidak pulang dalam keadaan m~abuk dan mem~ukulnya lagi. Dunia tak pernah memberinya kesempatan untuk tahu bahwa ia juga berhak belajar, berhak bermain, berhak bahagia.

Malam-malam baginya adalah musim dingin yang tak pernah selesai. Tidur di atas tikar berlubang, tubuh dibalut sarung tipis yang berbau apek, dan pikiran selalu cemas. Kadang terdengar suara tetangga mem~ukul istrinya, kadang suara tangisan a~nak kecil di rumah sebelah, kadang suara tawa keras dari lelaki-lelaki yang datang dan pergi tanpa nama.

Ketika beranjak remaja, tubuh Asih mulai menarik perhatian. Tidak karena ia cantik, tapi karena ia adalah perempuan miskin tanpa penjaga. Dunia ini kejam terhadap perempuan seperti itu. Pria-pria tak bermoral mulai menawarinya makanan, lalu uang, lalu kesempatan untuk “membantu” ibunya yang sedang sakit. Tak satu pun dari mereka datang dengan niat baik. Tapi Asih terlalu lapar, terlalu bingung, dan terlalu sendiri untuk bisa membedakan mana bantuan, mana jebakan.

Dan begitulah ia masuk ke dalamnya. Dunia yang dingin, lembab, dan mematikan dari dalam. Dunia yang disebut dengan banyak nama: pel*curan, pemuas nafsu, atau ladang dosa. Tapi bagi Asih, itu hanyalah satu-satunya cara untuk tetap makan dan bbernafas. Ia tak merasa hina, karena ia tak tahu apa itu kehormatan dan kebenaran. Ia tak merasa berdosa, karena tak tahu apa itu benar dan salah. Ia hanya ingin hidup. Itu saja.

“Kenapa kamu lakukan ini, Nak?”

tanya seorang perempuan tua yang melihatnya suatu malam, duduk di trotoar sambil menunggu pelanggan.

Asih hanya menjawab pelan,

“Karena kalau saya berhenti, saya m~ati.”

Lihat selengkapnya