ASA CITA - Harapan Diatas Hinaan

Dadang Darmawan
Chapter #3

Cahaya Kecil

Tidak semua yang tua berarti usang. Kadang, di balik raga yang renta dan langkah yang perlahan, tersembunyi cahaya yang tenang—tak menyilaukan, tapi menenangkan. Cahaya seperti itu tinggal di rumah kecil di ujung gang sempit, berwarna hijau pudar, dengan pagar kayu rapuh yang selalu terbuka: rumah Bu Nurhayati.

Ia adalah guru mengaji. Bukan guru besar di universitas, bukan ustazah yang ceramah di televisi. Ia hanya perempuan tua yang mengajar anak-anak mengenal huruf hijaiyah dan berdoa dengan benar. Tapi rumahnya adalah tempat pulang bagi jiwa-jiwa yang lelah, termasuk Asih.

Asih bertemu Bu Nur saat usia kehamilannya memasuki bulan ketujuh. Waktu itu ia hampir pingsan di dekat warung kelontong, setelah berdiri terlalu lama menunggu beras yang sedang didiskon. Bu Nur menghampirinya, tanpa tanya, tanpa curiga. Dipegangnya lengan Asih yang gemetar, dituntunnya pelan-pelan ke dalam rumah.

“Asih ya?” tanya Bu Nur setelah membuatkan teh hangat. Suaranya pelan, seperti angin sore yang menyapu debu di teras.

Asih hanya mengangguk sambil menahan sakit dan rasa lapar. Tak biasa dilihat seperti manusia.

“Ibu sering lihat kamu duduk sendirian malam-malam. Saya tahu kamu perempuan kuat dan hebat. Tapi kuat bukan berarti bisa hidup sendiri terus.” Bu Nur dengan wajah ramah tanpa menghakimi dan penuh ketulusan.

Hari itu Asih menangis. Bukan karena dipu~kul, bukan karena lapar, tapi karena untuk pertama kalinya ada seorang manusia yang tak melihatnya sebagai dosa berjalan dan sampah yang bernafas. 

Sejak saat itu, ia sering datang ke rumah Bu Nur. Kadang hanya duduk diam di teras. Kadang membawa semangkuk sayur. Kadang hanya menumpang diam dan hanya untuk melihat Bu Nur tersenyum padanya. Sebuah senyum dari seorang ibu yang tak pernah ia dapatkan.

Ketika Asa lahir, Bu Nur datang membawa selimut kecil dan doa panjang. Ia mengusap kepala bayi itu seolah sedang mengusap sejarah baru. Dan sejak itu, Asa mulai mengenal rumah kedua dalam hidupnya: rumah Bu Nurhayati.

Mereka tak punya ikatan darah. Tapi cinta tak selalu harus diwariskan lewat darah. Kadang cukup lewat bubur tawar hangat di pagi hari, atau suara lembut yang mengucap, “Yuk, belajar doa hari ini.”

Lihat selengkapnya