Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif, silakan mencoba kembali beberapa saat lagi.
Ellen menghembuskan napas dalam.
Genap tujuh hari sejak panggilan terakhirnya, nomor handphone Eveline selalu tidak aktif, padahal jika dihitung ulang saudara kembarnya itu berangkat ke New York dua hari lagi, lalu bagaimana bisa Eveline yang tak pernah menyembunyikan rahasia itu tiba-tiba hilang begitu saja.
Ellen yakin jika Eveline seharusnya masih di Indonesia. Pikiran buruk pun mulai memenuhi kepala, membuat Wiryo menatap curiga.
“Ada apa?” Tanya Wiryo, Ibu asuhnya.
Ellen menggeleng sambil menatap layar handphone sejenak, berharap ada notifikasi pesan masuk dari nomor Eveline.
“Sarapan dulu, nanti telat!” Imbuh Wiryo sambil tetap sibuk menyiapkan menu sarapan.
Beberapa menit kemudian harapannya terwujud begitu sebuah pesan masuk muncul ditogle notifikasi.
Kakakmu telah menjadi abu, turut berduka atas kepergiannya.
Ellen menatap lagi layar yang penuh makna duka itu. Pandangannya kosong, tubuhnya gemetar, beberapa air mata yang tertahan hingga menyesakkan dada akhirnya lolos juga. Apa yang terjadi? Batinnya masih tak percaya dengan itu semua.
Bagaimana bisa kakaknya yang begitu hidup di matanya telah dinyatakan meninggal dunia, apa penyebabnya? Bukankah terakhir kali Ellen masih melihat Eveline semangat untuk hidup dan menepati janjinya bertemu kembali di Kemiliteran? Lantas kenapa Eveline tiba-tiba jadi pengecut!
Ellen menarik tubuhnya dari tempat duduk, lalu beranjak ke arah bingkai kecil yang memperlihatkan dua gadis identik yang terlihat hidup dalam bingkai itu, menatap lekat ke arah sosok kembar yang hampir tak pernah menampakkan kesedihan.
"Eveline gadis yang baik, mana mungkin seseorang tega membunuhnya," cetus Wiryo setelah membaca pesan di handphone Ellen.
Ellen memalingkan muka, tak ingin Wiryo menganggap cengeng. Tapi sekuat tenaga Ellen menyimpan air mata, bulir bening itu tetap saja jatuh.
Bagi Ellen semua ini terlalu menyakitkan.
"Semoga semua baik-baik saja," kata Wiryo menenangkan.
"Lalu siapa yang harus bertanggung jawab atas kematiannya?"
"Len-" Wiryo menahan kata, sambil menyeka pipi Ellen yang basah dengan air mata.
"Tuhan maha baik, ia tak mungkin membiarkan anak-anaknya menderita. Relakan dan antar mendiang ke tempat peristirahatan terakhirnya."
Ellen menuruti perintah Wiryo.
Sampai di sana, Ellen masih menunggu seorang pria yang tengah mematung di depan bingkai kaca di mana tempat abu Evelin diletakkan. Dari sana, Ellen melihat kesedihan mendalam.
Siapa dia? Batinnya.
Sejauh ini, ia tak pernah tahu wajah pria yang mengencani Eveline, pun meski nama pacarnya sering disebut-sebut, Eveline masih merahasiakan soal asmaranya.
Selang beberapa saat pria itu pergi, beranjak beda arah sambil mengusap mata yang penuh air. Rasanya Ellen ingin menghentikan pria itu, namun urung.